Jika ada non Muslim mengatakan bahwa orang Palestina itu TIDAK ADA, apakah anda percaya? Cenderung tidak, bukan?! Untuk itu, sebelum mulai, silakan simak Video menteri dalam negeri kelompok Hamas, Fathi Hammad, yang mengakui bahwa ORANG PALESTINA ITU TIDAK ADA:
“..Kita semua punya akar Arab dan setiap Palestina di Gaza dan seluruh Palestina, bisa buktikan akar Arab-nya – baik itu dari Arab Saudi, Yaman, atau mana saja.
Kita berhubungan darah.
Secara pribadi, setengah keluarga saya adalah Mesir. Kami semua seperti itu. Lebih dari 30 keluarga di Jalur Gaza disebut Al-Masri (“Mesir”). Saudara-saudara, setengah dari orang Palestina adalah Mesir dan setengahnya lagi Saudi.
Siapa orang Palestina?
Kami punya banyak keluarga yang disebut Al-Masri, yang akarnya adalah Mesir. Mesir! Mereka bisa dari Alexandria, Kairo, Dumietta, Utara, Aswan, dari Mesir atas. Kami adalah orang Mesir. Kami adalah orang Arab. Kami adalah Muslim…”
Palestina tampaknya hanya label namun apakah Palestina itu?
Palestina BUKAN berasal dari bahasa Arab dan bahasa Yahudi. Juga, tidak pernah disebutkan bahwa salah satu turunan Abraham/Ibrahim adalah Palestina.
Kata ini misalnya muncul sebagai nama yang dipilih Kaisar Romawi Hadrian (Publius Aelius Hadrianus) untuk menggantikan nama daerah Yudea, setelah memadamkan pemberontakan Yahudi atas Romawi pada tahun 135 M.
Ben-Gurion (PM pertama Israel) dalam dengar pendapat di UNSCOP, tanggal 07 Juli 1947, mengutip Philip Khuri Hitti (kelahiran kristen Moronit Libanon, Ulama Islam, Profesor literatur Semitic, Ketua Bahasa Oriental, Peneliti, dan Bidang studi Budaya Arab):
… bukti yang kita miliki dari sejarawan Arab, Hitti, bahwa sama sekali tidak ada “Palestina” itu: Palestina bukanlah nama Arab. Palestina juga bukan nama Yahudi. Ketika kaum Yunani adalah musuh kita, agar tidak dipusingkan kaum Yahudi, mereka memberi nama berbeda untuk jalan-jalan..
Selama perdebatan di PBB, yaitu tanggal 9 Mei 1947, mengenai disposisi Mandat Palestina, Komite Tinggi Arab (AHC) yang mewakili kepentingan masyarakat Arab di Palestina, melalui salah satu perwakilan AHC, pengacara dan sejarawan Henry Kattan, menyatakan:
Palestina adalah … bagian dari provinsi Suriah, tetapi hal ini tidak dengan cara apapun mengubah atau mempengaruhi karakter Arab Palestina. Secara politis orang-orang Arab Palestina tidak independen dalam artian membentuk sebuah entitas politik yang terpisah.(Dikutip dalam “British Rule in Palestine”, Bernard Joseph, 1948; juga lihat tafsiran kesaksian Kattan di buku taunan PBB, 1946-1947)
Ahmad Shuqairi, salah satu pendiri dan juga ketua pertama PLO, dalam kapasitasnya sebagai duta liga Arab untuk PBB, di Dewan keamanan PBB di tahun 1956, menyampaikan:
“Sesuatu yaitu Palestina tidak pernah ada sama sekali. Tanah ini semata-mata bagian Selatan Suriah Raya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Palestina tidak lain hanyalah Suriah Selatan“
Berikut beberapa dugaan tentang asal-usul “Palestina”:
- Di Perjanjian Lama: terdapat 280 X (P@lishtiy, dilafalkan: pel-ish-tee) dan 8x (P@lesheth, dan dilafalkan: pel-eh’-sheth), sebuah bangsa yang menetap di 5 kota: Ashkelon, Ashdod, Ekron, Gat dan Gaza (Yosua 13.3). Kata Ibraninya adalah ‘פלשת’ = “Pleshet“, pendapat para ahli Biblikal tentang akar kata semitik ‘pl-š’ (פלש, atau “membagi, melalui, berguling, menutup dan menyerbu”) diartikan: “tanah yang diduduki”. Pendapat ini jelas hanyalah cocoklogi paksa belaka, karena TIDAK MUNGKIN bangsa itu sendiri menamakan diri mereka dengan konotasi negatif. Namun pastinya, kata Pleshet (bukan Palestina) telah berumur tua. [Lihat: di sini, di sini dan di sini].
- Rujukan kata “Peleset” yang lebih tua lagi terdapat dalam 4 tempat teks temuan arkeolog di Mesir, yaitu pada jaman Ramses III (1186-1155 SM): (1) prasasti di Medinet Habu dan (2) Stela di Deir al-Madinah. Kemudian pada setelah wafatnya Ramses III: (3) Papirus Harris I dan (4) Onomasticon dari Amenope. Pada prasasti Medinet Habu menyebutkan tentang kemenangan Ramses III terhadap koalisi orang perahu, yaitu: Peleset, Tjeker, Shekelesh, Deyen, Weshesh, Teresh, Sherden, dan PRST. Kemudian, di Papirus Haris menyebutkan Peleset, sebagai salah satu diantara kota-kota: “Ashkelon, Ashdod, Gaza, Asyur, Shubaru […] Sherden, Tjekker, Peleset, Al-Khurmah […]“.
- Palestin adalah pemuja Pales: Dewa androgini Pales (Setengah manusia dan keledai, setengah pria dan wanita), yang dipuja di area itu sehingga pemujanya disebut Palestina [“Tom Robbins: A Critical Companion”, Catherine Elizabeth Hoyser, Lorena Laura Stooke hal. 130]
- Pernyataan Henry McMahon di The Times, 23 Juli 1937: “yang dimaksudkan Palestina adalah eks daerah Ottoman Turki yaitu Vilayet Suriah“. Pernyataan ini menunjukan bahwa pengunaan kata ‘Palestine” di saat itu, hanyalah sebuah ide penamaan belaka, sebuah judul iseng tentang sebuah area tertentu!.
- Siapa “so-called Palestine“? Mereka ternyata merupakan imigran dari sekian banyak negara: “Balkan, Yunani, Suriah, Latin, Mesir, Turki, Armenia, Italia, Persia, Kurdi, Jerman, Afghanistan, Druze, Circassia (Kaukasus), Bosnia, Sudan, Samaria, Aljazair, Motawila, Tartar, Hongaria, Skotlandia, Navarese, Breton, Inggris, Perancis, Ruthenia, Bohemia, Bulgaria, Georgia, Persia Nestoria, India, Koptik, Maronit, dan banyak lagi.” [“Fast Facts on the Middle East Conflict”, Randall Price, hal.62; “Understanding the Arab-Israeli Conflict: What the Headlines Haven’t Told You”, Michael Rydelnik, hal.73]
Sehingga para pendatang yang mengklaim dirinya berdarah Arab dan menggunakan label “Palestina” agar mendapatkan bantuan dan/atau agar dapat dianggap sah mengklaim wilayah, jelas sesuatu yang mengada-ada, bukan?!
Mari kita mulai artikel ini dengan peta wilayah kekuasaan Kekhalifahan Utsmaniyah /Ottoman Turki.
SIlakan lihat daerah dalam kotak bergaris merah! Beberapanya (atau seluruhnya) kelak akan memerangi Israel (Merdeka: 14 Mei 1948), yaitu:
Libanon (Merdeka: 22 Nov 1943), Mesir (Yordania (Merdeka: 25 Mei 1946), Suriah (Merdeka: 17 Apr 1946), Irak (Merdeka: 3 Okt 1932), Kuwait (Merdeka: 19 Juni 1961), Arab Saudi (menjadi kerajaan utuh: 23 Sep 1932), Sudan (Merdeka: 1 Jan 1956), Libya dan Aljazair (Merdeka: 5 Juli 1962)
Semua daerah (yang kelak akan menjadi banyak negara) itu ternyata dulunya sama-sama BERADA DALAM JAJAHAN Kekhalifahan Utsmania, Turki! Jadi, semua klaim wilayah yang bersandar pada argumen sejarah lampau hingga ditarik sampai ribuan tahun ke belakang ternyata hanya sebuah impian usang di siang bolong, bukan?!.
Mereka yang ada di wilayah itu, baik itu kaum Arab maupun bukan, selama berabad-abad menjadi kaum jajahan kekhalifahan Turki, maka keputusan wilayah bagi mereka di saat tertentu, sangat tergantung dari para tuan penguasa tanah tersebut.
Jerman, Tanpanya, Tak-kan Ada Kemerdekaan Banyak Bangsa
Dokumenter BBC, “The Age of Terror: In TheName of Liberation”, menyatakan bahwa perjuangan Yahudi mencapai kemerdekaan, menginspirasikan banyak kampanye kekerasan untuk dapat memperoleh kemerdekaan di banyak negara di dunia pada saat itu, misalnya Partai Komunis Malaya di Malaya Darurat dan di Aljazair
Statement BBC ini hanya 10% benarnya. Mengapa?
Adalah benar bahwa Inggris mendapatkan kesulitan dalam menekan pemberontakan akibat taktik hit-and-run mereka dan juga sedikit mengalami kemunduran mengatur negeri akibat banyak dokumen hilang dan hancur sejak pemboman hotel Raja Daud di Yerusalem (oleh para pejuang kemerdekaan kaum Yahudi) namun salinan dokumen tersebut tentunya juga ada di Inggris.
Adalah benar terjadinya hambatan mobilitas pengamanan dan ketentaraan akibat hancurnya banyak kendaraan, jembatan dan jalur kereta oleh para pejuang kemerdekaan kaum Yahudi. Namun peralatan perang Inggris ini (demikian pula Perancis dan banyak negara eropa) kebanyakannya adalah hasil pinjam sewa dari Amerika, yang bisa dikembalikan jika rusak.
Malah faktanya, saat itu, Inggris sedang bermesraan dengan kaum Arab, populasi mayoritas di Palestina dan sangat banyak dipekerjakan di kepolisian yang juga secara alami keagamaan, kaum ini, sangat memusuhi kaum Yahudi!
Lantas apa yang paling signifikan?
Adalah Faktor kesulitan perekonomian Inggris di setelah perang dunia ke-2, yang menuju kebangkrutanlah jawabnya.
Grafik rasio HUTANG terhadap Pertumbuhan Pendapatan bruto (GDP: jumlah semua transaksi di dalam negeri x harga) di samping ini memberikan gambaran betapa besarnya hutang yang harus dibayar Inggris. Menteri Keuangan Inggris, Hugh Dalton (1945-1947) menyatakan bahwa persoalan terberat problem ekonomi Inggris adalah membayar hutang.
Di tahun 1941, rasio Hutang-GDP Inggris melonjak terus hingga mencapai puncak pada tahun 1947 menjadi sebesar 250%!.
Mengapa?
Setelah pecah perang ke-2, di September 1939 (Inggris vs Jerman), Inggris menggunakan cadangan emas dan cadangan dollarnya secara tunai untuk membayar amunisi, minyak, bahan baku dan mesin (sebagian besarnya berasal dari Amerika Serikat). Pada akhir tahun 1940, cadangan emas dan dolar Inggris mendekati habis, untuk itu, Pemerintah Roosevelt, agar tetap dapat mendukung perang tanpa terlibat langsung, maka di awal tahun 1941 mengeluarkan kebijakan Lend-Lease, yang memungkinkan pinjaman kepada beberapa negara (Amerika mempersiapkan $ 50,1 miliar, ini setara 17% dari total pengeluaran perang AS), yaitu: $31.4 M (untuk Inggris), $11.3 M (untuk Soviet), $3,2 (untuk Prancis), $1.6 M (China), dan $2,6M (pada negara sekutu lainnya). [Lihat juga Wikipedia: Economic history of the United Kingdom]
Di tahun 1945, 55% GDP Inggris telah diarahkan pada produksi perang sehingga ekspor menjadi berkurang karenanya, Inggris mengandalkan pinjaman dari Lend-Lease untuk melakukan impor komoditas makanan, yang saat itu, Inggris sudah tidak lagi mampu membayarnya melalui keuntungan ekspor. Jadi, ketika pemerintah AS pada tanggal 2 September 1945, menghentikan Lend-Lease, maka jalur kehidupan keuangan Inggris agar tetap dapat membeli minyak, perangkat keras militer, makanan dan barang-barang penting lainnya untuk upaya perang secara kredit menjadi terhenti.
Alasan Amerika menghentikan Lend-Lease sederhana saja, yaitu karena perang telah berakhir (Resminya pinjaman berakhir: 12 Mei 1945, Italia menyerah: 2 Mei 1945, Jerman menyerah: 7 Mei 1945, Jepang menyerah (pada Amerika): 2 September 1945), maka perjanjian juga diakhiri.
Situasi perekonomian Inggris yang oleh ekonom dan penasihat pemerintah Inggris, Lord Keynes, mengatakan: Inggris berada di situasi “Keuangan Dunkirk” dan Ia mengingatkan: “KECUALI Inggris mendapatkan pinjaman US$ 5 Milyar, maka Inggris tidak akan mampu mempertahankan kekaisaran SELAIN “melakukan penarikan tiba-tiba dan memalukan dari tanggung jawab berat kita dengan kerugian besar pada prestise“. [Lihat: “At last, Britain will pay off its war debt”, telegraph.co.uk,18 Desember 2005].
Note:
John Maynard Keynes, 23 Agustus 1945: “..sebuah Keuangan Dunkirk. Kondisi-kondisinya adalah (a) konsentrasi intens pada perluasan ekspor, (b) ekonomi drastis dan langsung pada belanja luar negeri dan (c) bantuan besar dari Amerika Serikat dengan persyaratan yang mampu kita terima. … Apa yang akan terjadi jika tidak cukup berhasil? Ini sulit diramalkan. Luar negeri memerlukan penarikan tiba-tiba dan memalukan terhadap tanggung jawab berat kita dengan kerugian besar pada prestise dan penerimaan sementara posisi kekuasaan kelas ke-2, agak seperti Perancis saat ini. Dari koloni dan lainnya harus kita peroleh bantuan yang bisa didapat. Di rumah kita, perlu sejumlah besar penghematan dari yang kita alami selama Perang.” [lihat: “Decolonisation: The British Experience Since 1945”, Nicholas White, hal.107. “Reform and Reconstruction: Britain After the War, 1945-51”, Stephen Brooke, hal.42]
“keuangan dunkirk” adalah frase yang meminjam keadaan berbahaya pasukan Sekutu di tanggal 26 Mei – 4 Juni 1940, yaitu ketika pasukan sekutu terjebak 2 pasukan besar Jerman di daerah Dunkirk, yang jika saja saat itu Jerman terus maju membombardir, maka 330.000 pasukan Sekutu akan musnah, namun Jerman, saat itu, hanya berdiam diri selama 3 hari, sehingga memberikan cukup waktu bagi Sekutu untuk mengevakuasi pasukan mereka melarikan diri di bawah hidung tentara Jerman tanpa diganggu
Untuk membantu ini, pada tanggal 15 Juli 1946, Amerika memberikan pinjaman sangat lunak pada Inggris melalui perjanjian pinjaman Anglo-Amerika, yang dirancang untuk mendukung pengeluaran luar negeri Inggris pada tahun-tahun awal seusai perang dan bukan untuk penerapan reformasi kesejahteraan pemerintah partai Buruh. Dari Amerika, Inggris, dapat pinjaman: US$ 4.3M (US$ 0.586M + pinjaman darurat US$ 3.7M), bunga 2%/tahun, dibayar mulai tahun 1950 dengan masa pelunasan: 50 tahun (berakhir di tahun 2006), dengan syarat: Di tanggal 15 Juli 1947, Poundsterling harus dapat ditukar bebas dengan Dollar AS. Sementara dari Kanada, Inggris mendapat pinjaman: US$ 1.19M.
Apa untungnya bagi Amerika?
Selama perang dunia ke-2 dan segera setelah selesai perang, mata uang Poundsterling sangatlah tidak lunak. Setiap negara yang melakukan perdagangan dengan Inggris, hanya dapat membelanjakan sterlingnya di Inggris atau di koloninya atau di ex-koloninya (yang juga mengkaitkan mata uang negaranya dengan sterling. Inilah yang disebut sebagai blok ekonomi sterling). Jadi, dengan Sterling dapat ditukar bebas, maka semua negara blok sterling akan dapat membeli mata uang dan barang Amerika. [“Decolonisation: The British Experience Since 1945”, Nicholas White, hal.6-10]
Apakah setelah itu perekonomian Inggris membaik?
Tidak. Grafik PSNB (ukuran selisih pendapatan dan pengeluaran pemerintah dan perusahaan publik) menunjukan telah terjadi penurunan drastis pada tahun 1946-1950, dari 6% hingga menjadi mendekati -3%!
Maksudnya?
Penurunan drastis tingkat cadangan negara yang membuat nilai mata uang Inggris menjadi jatuh secara drastis!
Mengapa?
Sekurangnya terdapat tiga sebab:
- Krisis stok batu bara di tahun 1946 diperparah musim dingin terburuk di Inggris pada Desember 1946 – Maret 1947, terutama di bulan Februari 1947 yang diikuti banjir parah di bulan Maret 1947, Keadaan alam ini membuat perekonomian Inggris makin terpuruk, Untuk kejadian di Februari 1947 saja, output industri ditahun itu turun sebesar 10%. Dua kejadian ini, mengakibatkan hingga bulan Juni 1947 1/2 pinjaman dari Kanada dan Amerika menjadi habis terpakai [Lihat juga wikipedia: Winter of 1946-1947 in UK]
- Ketika kebijakan tukar bebas Poundsterling dan dollar diberlakukan pada tanggal 15 Juli 1947, maka terjadi penarikan di negara-negara dalam koloni Inggris. Ini mengakibatkan 4/5 dari pinjaman habis sehingga di tanggal 20 Agustus 1947, kebijakan itu dihentikan sementara waktu [UN Economic Report: Salient Features of The World Economic Situation 1945-47, hal.18]
- Pada konferensi para Gubernur koloni di Afrika, tanggal 12 November 1947, Menteri urusan perekonomian Inggris, Stafford Cripps menyampaikan bahwa segera setelah tahun 1945 defisit dollar/tahun di area perekonomian Sterling: £0.6M – £0.7M
Pada akhir tahun 1947, dari total pinjaman sebesar US$ 5M yang didapat Inggris, tersisa hanya US$ 0.4M saja! Padahal biaya per tahun untuk menjaga pasukan Inggris di India: US$ 0.5M dan Timur tengah: US$ 0.3M, sehingga sangat tidak mengherankan jika Perdana Menteri Inggris Clement Attlee terpaksa harus menandatangani perjanjian kemerdekaan Burma dengan Jenderal Aung San pada 27 Januari, 1947, diikuti India, Pakistan, Srilanka, Israel dan satu demi satu pilar kekuasaan imperium Inggris runtuh.
Anti Semitis di Quran dan Alkitab
Sentimen ANTI YAHUDI oleh kaum ARAB-PALESTINA dilakukan BUKAN hanya oleh para MUSLIM Arab namun juga para NASRANI Arab.
Mengapa?
Karena INJIL dan QURAN, memuat hasutan kebencian yang keras kepada kaum Yahudi, alasan utamanya adalah bahwa kaum Yahudi/kaum Israel sebagai pembunuh para NABI.
- ALKITAB: Matius 23.30-31, 34-37; Lukas 11.47-51, 13.34; 1 Tesalonika 2.15; Roma 11:3; Wahyu 16:6; KPR 7:52, contohnya pada tuduhan Paulus, “‘Bahkan orang-orang Yahudi itu telah membunuh Tuhan Yesus dan para nabi…’
- AL QURAN: AQ 2.61, 87, 91; AQ 3.21, 112, 181, 183; AQ 4.155; AQ 5.70, misalnya …karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi…“(Aq 2.61) dan lebih jelasnya di, “Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, sebagian rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian lain mereka bunuh” (AQ 5.70)
Kitabiah Abrahamik memuat banyak Nabi yang muncul sejak Adam. Dikenal umum bahwa keturunan Sem disebut Semit, keturunan Abraham disebut Ibrani, keturunan Yakub disebut Israel dan keturunan Judah/Yehuda disebut Yahudi. Jadi, seluruh Yahudi adalah Israel namun tidak semua Israil merupakan Yahudi. Karena Islam dan Kristen sama-sama menuduhkan “kaum Yahudi Israel” sebagai pembunuh para nabi, maka pembunuhan haruslah terjadi setelah Yakub dan utamanya setelah Musa, bukan? Di setelah jaman Musa terdapat sekurangnya 30an nabi (termasuk yang dianggap minor) dan Nabi mana sih yang dibunuh kaum Yahudi Israel?
- Yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Muhammad SAW dalam literatur Islam ada dua versi
- Versi ke-1, diracun perempuan Yahudi [Musnad Ahmad no.2648, 2649, 3925, 3679, 3435, 3545, 3546, 3589. Sunan Abu Dawud no.3287, 3090, 3910, 3911, 3912, 3913. Bukhari no.2424, 5332, 2933, 3918. Hadis Muslim no.4060. Ibn Sa’d, Vol. 2, hal 251, 252, “The Life of Muhammad: al-Maghazi, Al-Waqidi, hal.677-679]
- Versi ke-2, diracun Istri Nabi sendiri, yaitu: Aisyah dan Hafsa
Detail ulasan kedua versi itu menurut Quran, hadis dan ulama Muslim, lihat di Pojokan Wirajhana.
Jika Muslim sepakat bahwa perempuan Yahudi bukan Aisha dan Hafsa yang bertanggung jawab terhadap wafatnya Muhammad, maka pembunuhan ini hanya pembunuhan biasa dari seorang perempuan Yahudi kepada seorang penjajah dari ras Arab. Mengapa? Alasan pembunuhan ini disebutkan jelas di hadis, “Kami ingin terbebas jika tuan seorang pembohong dan jika benar seorang Nabi maka (racun itu) tidak bakalan mencelakai tuan“, Ini adalah alasan wajar karena TIDAK PERNAH kitab Yahudi dan Nasrani menyebutkan bahwa Nabi berikutnya adalah Muhammad dan berasal dari ras Arab.
Di samping itu, karena Quran dalam konsensus para Muslim, merupakan ucapan Muhammad SAW ketika masih hidup, maka tuduhan kaum Israel membunuh para nabi harusnya terjadi sebelum Muhammad, bukan?
- Pelaku yang bertanggung jawab terhadap wafatnya Yesus di Alkitab jelas dituliskan yaitu BUKAN oleh kaum Yahudi melainkan pengadilan Romawi. Pengadilan Romawi hanya akan menghukum mati yang terbukti melakukan tindak pidana dan/atau tindak subversif terhadap pemerintahan romawi menurut hukum-hukum mereka, untuk detail ulasannya silakan lihat di Pojokan Wirajhana.
Jadi kaum Yahudi tidak dapat dituduh sebagai pembunuh Yesus, bukan?!
- Tuduhan membunuh Yohanes Pembaptis adalah tidak berdasar, disamping beliau bukan nabi juga tidak dibunuh oleh orang Yahudi. Herodes Antipas yang memenggal Yohanes adalah keturunan Edom dan Samaria, demikian pula Herodias yang meminta agar Yohanes di penggal juga bukan Yahudi
- Bileam dibunuh atas perintah “Tuhan” kepada Musa. Bileam sendiri bukan Nabi [Bilangan 31:8. juga lihat: Bilangan 31:16; Wahyu 2:14, Yudas 11; 2 Petrus 2:15]
- Uria dibunuh oleh Raja Yoyakim sendiri (Jeremia 26:20-23), yang dalam tradisi Yahudi, raja adalah Mesias. Jadi, Tuhan sendiri yang menginginkan dia mati.
- Juga terdapat peristiwa saling bunuh nabi, yaitu Elia membunuh 450 nabi Baal (1 Raja-raja 18:40) vs Izebel, Istri Ahab, membunuh 100an Nabi Israel (1 Raja-raja 18:13). Izibel adalah putri Sidon (1 Raja-raja 16:31), orang Fenisia, bukan orang Yahudi.
- Yeremia jelas-jelas mendapatkan perlindungan Tuhan (Yer 1.8) tidak wafat karena dibunuh (jelas bukan dibunuh Yahudi)
- Yesaya diisukan digergaji (oleh mesias raja Manasye), namun isu ini hanya muncul di kitab NON kanonik (misal: “Martirdom Yesaya” 5.14, yang dibuat setelah abad masehi, setelah kematian Nero, atau lihat: ini) dan di “sejarah nabi”, versi Islam (Ibn kathir). Sementara itu, Kitab kanon Nasrani perjanjian lama sendiri TIDAK ADA yang menyatakan Yesaya mati digergaji (bahkan dengan mereka yang mengklaim ada di perjanjian Baru, Ibrani 11.37 jelas-jelas TIDAK ADA 1x pun menyebutkan nama Yesaya). Klaim hanyalah perluasan dari komentator setelah abad masehi 🙂
- Lucunya, Yesus, yang diakui Tuhan oleh kaum Nasrani, kebingungan sendiri membedakan: Zakharia bin Berekhya bin Ido, (Matius 23:35; Lukas 11.50-51, hidup di jaman Darius) vs Zakharia Ben Yoyada (2 Taw. 24:20-22, hidup di jaman Nebudkanezar). Zakahria bin Berekhya, tidak wafat ditangan Yahudi manapun, sementara Zakaria bin Yoyada (bukan nabi) tewas ditangan Raja Yoas dan sudah kita ketahui bahwa Raja adalah juga mesias 🙂
Lantas nabi yang mana yang dibunuh kaum Yahudi? Jika tidak ada, mengapa masih saja mau percaya fitnah keji yang dituduhkan kepada kaum Yahudi?
Kemudian,
kebencian terhadap kaum Yahudi diajarkan Allah SWT via Nabi SAW yang muncul di surah pertama Quran, yaitu AQ 1.7:
shiraatha alladziina an’amta ‘alayhim ghayri almaghdhuubi ‘alayhim walaa aldhdhaalliina(Jalan mereka yang diberikan nikmat pada mereka, bukan mereka yang dimurkai dan bukan mereka yang sesat).
Siapakah mereka yang dimurka Allah?
Dalam sunan Tirmidhi no.2878, dari riwayat (Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basyar) – Muhammad bin Ja’far – Syu’bah – Simak bin Harb – ‘Abbad bin Hubaisy – Adi bin Hatim – Nabi SAW bersabda: “Yahudi dimurkai dan Nasrani sesat”. (lihat juga tafsir: Jalalyn, Ibn Abbas dan Ibn Kathir)
Kebencian dahsyat ini telah diucapkan 17x setiap harinya saat shalat oleh milyaran muslim sejak permulaan Islam muncul untuk mendoakan kehancuran kaum Yahudi dan herannya 1400 tahun lebih TELAH berlalu namun kaum Yahudi malah tetap jaya dan baik-baik saja, entah mengapa, doa itu tak kunjung manjur.
Bahkan, terdapat hadis yang menyampaikan bahwa orang yang MASIH HIDUP namun SUDAH mendapatkan JATAH quota surga muslim yang jumlahnya terbatas, justru seorang YAHUDI. Orang ini adalah Abdullah Ibn Salam (saksi turunnya AQ 46.10 dan AQ 2.97), yang berasal dari kalangan Yahudi pertama yang masuk Islam (ketika pertama kalinya Muhammad mencapai Medina saat hijrah, namun ada yang menyatakan bahwa ia masuk Islam BUKAN di tahun awal Medinah tapi di tahun ke-8 H).
- Abdullah ibn Salam disebutkan sebagai orang ke-10 yang masuk surga, sebagaimana hadis riwayat Mu’adz bin Jabal, “Carilah ilmu pada 4 orang: Uwaimir Abu Darda’, Salman Al-Farisi, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Salam yang dahulunya Yahudi kemudian masuk Islam, karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda tentang Abdullah bin Salam: “Ia adalah orang ke-10 dari 10 orang penghuni surga” [Tirmidzi no. 3804, An-Nasai dalam as-sunan al-kubra no. 8253, Ahmad no. 22104, Al-Hakim no. 334, dan Ibnu Hibban no. 7165, hadis shahih].
- Namun dalam hadis lainnya Abdullah bin Salam disebutkan sebagai SATU-SATUNYA orang yang selagi hidup dan berjalan telah mendapatkan jaminan masuk surga, sebagaimana disampaikan hadis riwayat Sa’ad bin Abi Waqash: “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda tentang seseorang yang masih hidup dan berjalan: “orang itu berada di surga”, KECUALI Abdullah bin Salam” [Bukhari no. 3812, Muslim no. 2483 dan Ahmad no. 1453]
Membingungkan, bukan? 🙂
Baiklah kita tinggalkan klaim membingungkan kitabiah ini. Sekarang mari kita nikmati tur singkat seputaran benang kusut Palestina dan Israel.
- Periode Kekhalifahan Turki: Awal Sutan Turki menjadi Khalifah, Penghianatan kaum Arab dan internal Turki pada kekhalifahan, perang sesama Arab berebut daerah yang dikemas dalam nuansa religi berikut perang Fatwa antar mereka [↓]
- Periode Mandat Inggris Untuk Rumah Nasional Bagi Kaum Yahudi (Baca: Mandat Inggris Untuk Palestina): Protokol Damaskus; Surat menyurat Husein-McMahon; Perjanjian Sykes-Picot; Deklarasi Balfour; Organisasi Zionis Dunia dan Imigrasi Yahudi ke Rumah Nasional bagi kaum Yahudi; Perjanjian Faisal Ibn Husein Ibn Ali Pasha – Chaim Weizmann; Liga Bangsa-Bangsa dan Perjanjian Liga Bangsa-Bangsa tentang Eks-Ottonom Turki: Konferensi Perdamaian tahun 1919, Pertemuan London, Konferensi San Remo, Memorandum untuk Yordania, Perjanjian Sèvres, Perjanjian Lausanne [↓]
- Konflik di Rumah Nasional Bagi Kaum Yahudi: Sentimen Anti Yahudi, yaitu kerusuhan terawal; Klaim Mesjid Buraq, Tanah Waqaf dan Kekhalifahan; Partisi wilayah Komisi Peel 1937; Komisi Woodhead (Plan A, B, C); British White Paper 1939; Komite Penyidikan Anglo-Amerika 1946; Komite Morrison-Grady 1946; Konferensi Palestina 1947; Komite Khusus PBB tentang Palestina (UNSCOP) 1947; Resolusi PBB no.181 tentang partisi wilayah negara Arab-Palestina vs negara Yahudi tahun1947 [↓]
- Perang Arab-Israel ke-1: Berdirinya negara Israel (1948), Perjanjian genjatan senjata 1949 dan pertambahan luas negara Yahudi setelah perang kemerdekaan Israel (Nakbah), Jumlah pengungsi Arab dan Yahudi dan taksiran kerugian material pengungsi Arab dan Yahudi dan perbandingan perlakuan pada pengungsi Arab Palestina di Negara Arab vs pengungsi Yahudi di negara Israel [↓]
- Perang Arab-Israel ke-2: Krisis Suez (1956) dan pengembangan senjata nuklir Israel[↓]
- Perang Arab-Israel ke-3: Penambahan Luas Israel (1967) [↓]
- Perang Arab-Israel ke-4: Penambahan Luas (1973) dan Pengembalian Sinai kepada Mesir dan Pemberian Gaza kepada PLO sebagai kado Perdamaian (1978, 2005) [↓]
- FATAH, PLO, HAMAS, PKS dan Hubungannya Dengan Ikhwanul Muslimin, berikut Fatwa Ulama tentang Mereka [↓]
Semoga bermanfaat.
Mau traktir Wirajhana, kopi? Kirim ke: Bank Mandiri, no. 116 000 1111 591 |
—–
Kekhalifahan Utsmaniyah/Ottoman Turki
Selim I setelah sukses melawan saudara-saudaranya dalam menduduki takhta kekaisaran Ottoman, Turki, perhatiannya kemudian mengarah ke Persia, kepada Shah Isma’il ( Pemimpin Syiah Safawi, diyakini pendukungnya sebagai turunan Nabi dan penerus Islam Syiah). Syah Ismail berdarah Turki, oleh karenanya, Ia bersimpati pada para turunan Turki di kawasan kekaisaran Ottoman, menyebarkan paham Syiahnya dan mendapat sambutan cukup baik sampai kemudian terjadilah pemberontakan Shakulu di Anatolia, tahun 1514.
Dalam upaya menyetop penyebaran paham Syiah di kawasan Ottoman, Selim I meminta fatwa para ulama Sunninya dan didapat fatwa: “Ismail dan Qizilbash adalah kafir dan sesat”. Menanggapi fatwa ini, Syah Ismail bersurat kepada Selim bahwa agresi terhadap sesama Muslim adalah melanggar aturan agama karena menumpahkan darah sesama muslim.
Namun Selim I tidak mempedulikannya maka ditahun 1514/15 Masehi, Turki menyerang Persia dan Syah Ismail berhasil dikalahkannya. Walaupun Ismail kalah dan ibukotanya jatuh, namun kerajaan Safawi selamat. Perang antara dua kekuatan dilanjutkan turunan mereka: SyahTahmasp I vs Sultan Ottoman Suleiman I dan pada tahun 1602, di jaman Syah Abbas, Persia merebut kembali daerah yang pernah dirampas kekaisaran Ottoman.
Di tahun berikutnya (tahun 1515/16) sultan Mamluk Mesir, yaitu Sultan Al-Ashraf Qansuh al-Ghawri, yang bersekutu dengan Persia, dengan dalih menengahi perselisihan antara Turki-Persia bergerak ke Aleppo bersama Khalifah Abbasiyah terakhir yaitu Al Mutawakil III.
Note:
Ke-Khalifahan Abbasiyah di Kairo-Mesir, hanyalah ke-khalifahan boneka yang berada di bawah pengawasan para sultan Mamluk Mesir. Ini bermula di jaman Al Ma’mun (813-842 M) yang menciptakan para tentara yang hanya setia kepada khalifah. Tentara ini terdiri dari orang-orang non-Arab dan dikenal sebagai para Mamluk (dalam bahasa arab artinya: budak). Kekuatan Mamluk terus tumbuh sampai berkuasa di Mesir. Pada 1261, setelah kehancuran Baghdad oleh Mongol, penguasa Mamluk Mesir mendirikan kembali kekhalifahan Abbasiyah, di Kairo dengan Al-Mustansir sebagai Khalifah pertama dari Kairo. Khalifah-khalifah Abbasiyah Mesir kewenangannya dibatasi hanya pada keagamaan dan pembuatan surat pengangkatan sultan Mamluk. Khalifah Abbasiyah Msir terakhir dijabat Al-Mutawakkil III.
Disamping Abbasiyah (750-1258 dan berlanjut sampai 1517), juga terdapat keKhalifahan lainnya, misalnya Khalifah Umayyah (661 – 1031) dan Fatimiyah (909 -1171)
Pada tanggal 24 Agustus 1516, di area Marja Dabik, Utara Aleppo terjadi pertempuran, Al Ashraf kalah dan dibunuh Selim I, sedangkan Khalifah boneka Al Mutawakil III ditawan. Selim I kemudian menuju kekaisaran Mamluk Mesir dan menaklukannya. Dalam penaklukannya itu, Selim membunuh seluruh garnisun Sirkasia, jalan-jalan di sana menjadi sasaran kemarahannya.
Kemudian,
Selim I menaklukan Najed, Makkah dan Madinah. Setelah Mekkah dan Madinah ditaklukkan, Selim I menggunakan gelar Khadimul Haramayn (Pelayan Dua Kota Suci). Ia menunjuk Barakat Efendi sebagai Sharif Mekah yang ditugasi untuk melayani kota Mekah dan Medina, melindungi kota dan keselamatan para penziarah Haji. Selim I kembali ke Konstantinopel dengan membawa tawanannya, Khalifah Al Mutawakil. Ia meminta Al Muntawakil melepaskan jabatan kekhalifahan dengan menyerahkan Burdah Nabi berupa pedang dan juga selendang. Peristiwa ini terjadi di Masjid Hagia Sophia (yang saat ini telah berubah fungsi menjadi Musium).
Sejak saat itulah maka Turki menjadi ke-Khalifahan dan sultan-sultannya pun menjadi Khalifah.
Note:
Sharif Mekah mengakui supremasi keKhalifahan Ottoman dan mempunyai sejumlah level otonomi sendiri. Selama era Ottoman, para sharif meluaskan otoritasnya ke Utara termasuk Medina dan ke Selatan sampai perbatasan Asir dan secara berkala menyerbu Najd yang sejalan dengan pelebaran sayap oleh kekuasaan ke-khalifatan Ottoman, misalnya pengganti Selim, yaitu, Sulaiman 1, sekurangnya di tahun 1552, menambahkan Laut Merah dan pantai Teluk Persia (Hijaz, Asir dan Al-Hasa) ke dalam kekuasaannya. Di awal 1578, Sharif Mekah meluncurkan beberapa penggerebegkan ke padang gurun untuk menghukum suku Najdi dan suku-suku di Hijaz.
Penerus Selim I, melebarkan sayap kekhalifahan Usmaniyah dengan memerangi sejumlah wilayah non muslim ataupun muslim, tidak peduli apakah sesama sunni atau bukan, hingga kemudian luas wilayah kekhalifahan bertambah luas (seperti terlihat pada peta di atas).
Fase kemunduran ke-Khalifahan Ottoman mulai di akhir jaman Mehmed IV (1648-1687), ditandai kekalahannya pada Pertempuran Turki Besar (1683 – 26 Januari 1699) yang berakhir dengan perjanjian Karlowitz, di mana kekhalifahan kehilangan beberapa wilayah. Sejak itu, pamor kekhalifahan makin menurun. Ketika Turki kalah melawan Rusia (1768-1774), muncul-lah fase “Pertanyaan Timur”, yaitu keyakinan keruntuhan kekhalifahan sudah dekat dan akan terbagi menjadi banyak partisi. Di tahun 1853, dalam surat Sir George Hamilton Seymour (Duta besar Inggris untuk St. Petersburg) kepada John Russell (Sekretaris Negara untuk Urusan Luar Negeri Inggris) munculah ungkapan “orang sakit Eropa” dengan mengutip ucapan Tsar Nicholas I (1796 -1855) dari Rusia tentang Kekaisaran Ottoman: “seorang yang sakit, sakit sangat parah”, “yang jatuh menuju kehancuran” atau “orang sakit…yang mendekati liang kubur” [“The Sick Man of Europe”, de Bellaigue, Christopher. New York Review of Books, 48:11]. Ini ungkapan untuk Turki yang semakin jatuh di bawah kendali kekuatan keuangan Eropa, yang telah kehilangan wilayah dalam serangkaian perang dan puncaknya di perang dunia ke-1, kekhalifahan Turkipun bubar
Provinsi Suriah dan Jazirah Arab
Saat menjelang Perang Dunia ke-1, Libanon, Palestina, Israel, Suriah, dan Yordania masih merupakan bagian Ottoman Suriah. Di tahun 1877, Kekhalifahan Ottoman membagi wilayah yang disebut Syria/Suriah menjadi Vilayet/wilayah/provinsi: Aleppo, Sanjak Zor, Mutasharif: Lebanon, Beirut, Jerusalem dan Damaskus. Vilayet Damaskus (nama lain dari Vilayet Suriah) areanya di Selatan berbatasan dengan Hijaz dan Mesir yaitu Maan (sejak 1890) dan Aqaba (Sejak 1910) [Britain and Saudi Arabia, 1925-1939: The Imperial Oasis, Clive Leatherdale, Hal.41].
Di Jazirah Arabia, terdapat beberapa wilayah diantaranya Hijaz (Tabuk, Yanbu, Jeddah, Medina, Mekah dan Asir), Area Najd (Riyadh, Al khurma dan lainnya) yang saling berebut wilayah dan berkembang menjadi kerajaan yang kemudian terkait dengan perubahan di Vilayet Damaskus/Suriah

Saudi Arabia: Kerajaan Saud ke-1
Pada tahun 1744, di Najd, Arabia tengah, Muhammad bin Saud bergabung dengan para ulama sekitar Riyadh menaklukkan Najd, kemudian ke pantai timur dari mulai Kuwait ke perbatasan utara Oman dan dataran tinggi ‘Asir. Saud wafat di tahun 1765, penerusnya, Abdul Aziz Bin Muhammad kemudian menaklukan Karbala di tahun 1801/1802 (melakukan pembantaian pada penduduk muslim di sana dan menghancurkan kuburan Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad), Taif (juga penangkapan muslim kota suci Mekah) dan di tahun 1804, menaklukan Medina, sehingga Pada tahun 1805, Mekah dan Medina berada di bawah kendali Abdul Aziz bin Muhammad. Abdul Aziz kemudian mengganggu kafilah-kafilah perdagangan Ottoman, mengecam Sultan, mempertanyakan klaimnya sebagai khalifah dan penjaga tempat-tempat suci dari Hijaz.
Tahun 1807/1808, Kekhalifahan Ottoman mengirimkan wali Mesir (Muhammad Ali Pasha dan anaknya, Ibrahim) untuk menaklukan kerajaan Saud. Satu persatu kota kerajaan Saud jatuh dan pada tahun 1818, ibukota kerajaan Saud ke-1, yaitu Diriyah, setelah berbulan-bulan lamanya dikepung, Penerus dari Abdul Aziz bin Saud, yaitu Abdullah bersama sejumlah pengikutnya akhirnya menyerah dan ditawan. Di tahun 1819, sebelum kembali ke Konstatinopel, dilakukanlah penghancuran sistematis atas Diriyah. Di Konstatinopel, Abdullah bin Abdul Aziz bin Saud dibunuh.
Kerajaan Saud ke-2
Gerakan Salafi dan anggota keluarga klan Al Saud yang tersisa, yaitu Turki bin Abdullah bin Muhammad berhasil meloloskan diri ke padang gurun dan berlindung pada Suku Tamim. Pada tahun 1821, Ia keluar dari persembunyian memimpin pemberontakan melawan Mesir dan di tahun 1824 menjadi penguasa Diriyah dan sekitarnya.
Ia adalah pendiri negara Saudi Ke-2 yang areanya jauh lebih kecil dari Saud ke-1. Ibukota negara ini adalah di Riyadh.
Di tahun 1821, Sepupu Turki bin Abdullah yaitu Mushari bin Abdul-Rahman memberontak, saat itu Turki Bin Abdullah berhasil selamat namun di tahun 1834, Ia akhirnya dibunuh sepupunya. Anaknya, yaitu: Faisal bin Turki, menggantikannya dan berhasil balas membunuh Mushari bin Abdul-Rahman.
Kerajaan Ottoman, yaitu wali Mesir, rupanya lebih menyukai keluarga Al Saud lainnya (Khalid bin Saud) untuk memimpin, ini membuat Faisal bin Turki harus melarikan diri berkali-kali hingga kembali ke Riyadh di tahun 1843, Ia kemudian bersekutu dengan Al Rashid melalui pernikahan dan sebagai imbalan, Faisal dinobatkan menjadi pemimpin Hail. Dari perkawinan ini, Faisal mempunyai 4 anak dan wafat di tahun 1865. Sepeninggalannya, ke-4 anaknya saling bertikai dan akhirnya si bungsu, yaitu Abdul Rahman bin Faisal, berhasil menjadi penguasa terakhir dinasti Saudi ke-2.
Sepanjang sisa abad ke-19, Klan Al Saud saling berebut kontrol dan saling bunuh dengan keluarga penguasa Arab lainnya, yaitu Al Rashid juga. Pada tahun 1890/91, Keluarga Al Rashid memerangi AbdulRahman bin Faisal dan menduduki Riyadh. Keluarga AbdulRahman bin Faisal melarikan diri ke pengasingan, pertama ke Bahrain, kemudian ke Qatar dan Kuwait dan di tahun 1893, Ia berlindung di daerah Ottoman Irak yang menandakan akhir dari kerajaan Saud ke-2.
Selama di Kuwait, AbdulRahman berusaha dengan tekun menyebarkan paham Islam Wahabi dan berusaha menciptakan ulang kerajaan Saud ke-2 namun kekalahan pemimpin Kuwait pada pertempuran Sarif di tahun 1901, memadamkan ambisinya dan membuatnya menjadi berkonsentrasi sebagai ulama, sedangkan anaknya, yaitu Abdul Azis bin AbdulRahman bin Faisal bin Turki Bin Abdullah meneruskan cita-citanya membangun negara berdasarkan paham Wahabi.
Kerajaan Saud ke-3/Saudi Arabia
Abdul Azis, bermodalkan bantuan tenaga dan perlengkapan dari Emir Kuwait (Mubarak Al Sabah), di tahun 1901, bersama beberapa kerabat melakukan penyerangan ke area Najd yaitu pada suku-suku yang terkait dengan Al Rashid.
Serangan itu menarik banyak pengikut dan di musim gugur, mereka membuat kamp di Oasis Yabrin.
Pada bulan Ramadan tahun 1902 menyerang Riyadh dan berhasil merebutnya kembali dari Al Rashid. Dalam penyerangan itu, pengikut Saud membakar lebih dari 1200 orang yang menandai awal berdirinya negara Saudi ke-3. [“The Direct Instruments of Western Control over the Arabs: The Shining Example of the House of Saud”, Dr. Abdullah Mohammad Sindi, hal.3. Peta di atas adalah dari buku: “World and Its Peoples”, Marshall Cavendish, hal.80]
Di tahun 1904, Ibnu Rashid memohon perlindungan dan bantuan militer pada Khalifah Ottoman dan berhasil mengalahkan Abdul Azis. Selama 2 tahun kemudian, Abdul Aziz melakukan gerilya sampai berhasil memaksa Ibn Rashid mundur.
Di tahun 1912, Abdul Azis menaklukan Najd dan pantai timur Arabia serta mendirikan Ikhwan (Dengan persetujuan para ulama salafi lokal, terbentuklah persaudaraan militer-agama yang kelak akan banyak berguna dalam penaklukannya). Di tahun 1913, dengan bantuan Ikhwan Najdi, Saudi menaklukan Al-Hasa dan Qatif.
Selama Perang Dunia I, pemerintah Inggris menjalin hubungan dengan Ibn Saud dan di Desember 1915, melalui Kapten William Shakespear, mereka melakukan perjanjian Darin, yang diantaranya berisi batas-batas wilayah bakal negara kerajaan Saudi yang berada di bawah perlindungan/kontrol Inggris dan sebagai imbalan Ibn Saud harus memerangi Al Rashid yang bersekutu dengan Ottoman/Utsmaniyah. Pada tahun 1916, Inggris mengirimkan 1000 pistol Mauser, 200.000 amunisi dan 20.000 pound dan bagian keuangan Inggris, di 2 Januari 1917, mencatat bahwa imbalan untuk Ibn Saud adalah £ 5.000/bulan [£ 60.000/tahun]. [hal.5-6. Juga lihat: “Saudi, Yaman, dan Irak 1700-1950“, Sanderson Beck].
Note:
Pada tahun 1908, Anglo-Persia Oil Company (Kelak British Petroleum) menemukan minyak di Masjid-i-Sulaiman, di pegunungan barat laut Persia dan rumor ada rembesan minyak di Qatif, pesisir timur Al-Hasa tetapi konsensus pendapat para geolog saat itu menyatakan tidak ada minyak di jazirah Arab. Walaupun demikian, Holmes Frank, insinyur perminyakan yang bekerja diketentaraan Inggris percaya bahwa ada timbunan minyak di Jazirah Arab, sehingga Ia meminta konsensi minyak di Hasa (dekat Irak) kepada Ibn Saud namun karena tekanan Percy Cox konsesi itu tidak diberikan. Ketika Inggris di tahun 1923 menghentikan bantuan £ 60.000/tahun pada Ibn Saud, maka Holmes diberikan konsesi itu namun gagal memenuhi kontrak memberikan £ 2.000 dalam emas/tahun kepada Ibn Saud, maka di tahun 1928, Ibn Saud memutuskan kontraknya.
Sementara itu,
pada tahun 1908 terdapat beberapa peristiwa yang saling berkait yang akan merubah peta Jazirah Arab dan juga kekhalifahan Turki untuk selamanya:
- Bangkitnya nasionalisme Turki melalui tangan informalnya, CUP (Committee of Union and Progress) yang awalnya bertujuan untuk menumbangkan Abdulhamid II. Gerakan ini memuncak di tahun 1908 melalui revolusi pemuda Turki yang berujung kudeta di tahun 1913.
- Sebelumnya, Husein Ali Pasha (1854 – 1931) dan keluarga ada dalam pengasingan di bawah pengawasan ketat petugas keamanan Sultan di Istanbul. Anak Husein Ali Pasha adalah: Ali, Abdullah dan Faisal.
Kekhalifahan Ottoman, Abdulhamid II, di tahun 1905, mengangkat sepupu Husein, yaitu Ali bin Abdullah Pasha sebagai Sharif Mekkah, namun di Oktober 1908, setelah revolusi konstitusional ke-2 tanggal 23 Juli 1908, CUP (Committee of Union and Progress) mencopot Ali bin Abdullah dari jabatan Sharif Mekkah dan rencananya akan digantikan oleh paman tuanya, Abdullah, yang juga keluarga dari Husein Ali Pasha [hal. 149].
Ali bin Abdullah dibantu oleh Abdullah bin Husein Ali Pasha, melarikan diri ke Kairo dan hidup dalam perlindungan Pemerintah Inggris. [Memoirs, Abdullah bin Husein, hal. 40-41; Rulers of Mecca, Gerald de Gaury, Harpe & co., London, 1951, hal. 261]. Mesir sejak tahun 1882, adalah koloni Inggris.
Husein bin Ali Pasha menghadap Wazir Agung Turki, Kamel Pasha, untuk meminta jabatan sharif Mekkah dengan klaim bahwa Ia adalah “anggota tertua keluarga Bani Hasyim”, Kemal Pasha setuju dan mempertemukannya dengan Sultan Abdulhamid II yang kemudian mengangkatnya menjadi Sharif baru kota Mekkah di 24 November, 1908 [Memoirs, Abdullah b. Husein, hal. 20-21]
Walaupun telah mendapat bantuan kekhalifahan Turki dan juga CUP Turki, Husein Ali Pasha tidak merasa perlu untuk bersetia kepada Turki dan main mata dengan Inggris untuk menikam Turki:
- Anak Husein, yaitu Abdullah bin Husein Ali Pasha, pernah bertugas di parlemen Ottoman hingga 1914 yakin bahwa perlu untuk memisahkan diri dari pemerintahan Ottoman yang semakin nasionalis.
- Tanggal 11 November 1914 Turki menyatakan jihad melawan Sekutu dan mendesak Husein untuk mendukungnya dengan memberikan kontribusi pasukan bagi Turki. Husein menerimanya dan di akhir tahun 1914 mengirimkan putra tertuanya, Ali beserta pasukannya. Salah satu anak buah Ali, dikabarkan merebut koper anggota CUP yang berisi korespondensi rahasia antara Vehip Paşha (Gubernur Hijaz) dan İstanbul tentang perlunya mencopot Sharif Husein dari Hijaz.
Karena hal ini, Faisal, putra Husein, di musim semi 1915, berbicara dengan para pemimpin CUP di İstanbul agar mereka mencopot Vehip Paşha. Permintaan Faisal disetujui dan ditanggal 06 Juni 1915, Turki menugaskan Galip Pasha menjadi gubernur baru Hijaz, konsekuensinya di tanggal 10 Juli 1915, Husein harus menyatakan kesetiaannya dan mengirim Ali beserta pasukannya dan menetap di Medinah.[Lihat: “Turning Point of Turkish-Arab Relation: A Case Study On The Hijaz Revolt“, Prof. Nuri Yesilyurt, 2006, hal.104-105]
- Panggilan Jihad Turki mendapatkan propaganda balasan negara sekutu bahwa panggilan jihad tidak punya legitimasi karena Khalifah Turki sendiri bersekutu dengan kekuatan Kristen (Jerman). Tempat-tempat suci di Hijaz menjadi pusat propaganda balasan tersebut. [“Arabs and Young Turks”, Hasan Kayali, California University Press, 1997, hal. 187-188].
Di bulan Desember 1914, Husein mengatakan kepada Inggris bahwa karena posisinya di dunia Islam dan karena situasi politik di Hijaz, Ia tidak dapat segera lepas dari Turki dan sedang menunggu momen yang tepat [hal. 189]. Di tanggal 10 Juli 1915, Sharif Husein menyatakan kesetiaannya pada Turki dengan mengirim Ali beserta pasukannya, 3 bulan kemudian (20 Oktober 1915), anak Husein, yaitu Faisal menyatakan pada Inggris bahwa “Mereka tidak ada niatan berjuang untuk Turki” dan tentang bantuan pasukan yang dikirim hanyalah sebuah kepura-puraan belaka [Turning Point of Turkish-Arab Relation: A Case Study On The Hijaz Revold, Nuri Yesilyurt, catatan kaki no.19 pada hal.105].
Perang ini mengakibatkan penurunan drastis jumlah Haji yang berasal dari koloni Sekutu seperti India dan Afrika Utara sehingga perekonomian Hijaz menjadi macet. Para penduduk Hijaz “mengutuk perang dan mengutuk mereka yang menyebabkannya”.
Saat itu, Angkatan laut Inggris yang ada di Laut Merah adalah ancaman nyata bagi penduduk Hijaz jadi jika saja Inggris melakukan blokade perdagangan di pantai Hijaz, maka ini akan berakibat bencana ekonomi bagi area itu, namun hingga tanggal 15 Mei 1916, Inggris tidaklah melakukannya, inilah yang kemudian menyebabkan penduduk Hijaz menjadi lebih bersimpati kepada Inggris [hal.105]
- Di bulan Mei 1915, Anak Husein, Faisal bin Husein Ali Pasha, bertemu secara rahasia dengan orang-orang Suriah/Damaskus dan Ia diberikan draft dokumen yang kelak disebut sebagai Protokol Damaskus. Protokol itu berisi tapal-tapal batas bakal negara yang jika Inggris mau mengakui tapal batas ini, maka orang Suriah bersedia bersekutu dengan Inggris untuk memberontak pada Turki.
Sekembalinya ke Mekkah di tanggal 20 Juni 1915, Faisal melapor pada ayahnya. Berbekal ini, Husein mulai melakukan negosiasi via surat dengan Henry McMahon, wakil Inggris dari tanggal 14 Juli 1915 – 30 Januari 1916 yang hasilnya: Inggris bersedia memenuhi tuntutan Husein dengan beberapa daerah harus dikecualikan dari kesepakatan dan pihak Husein pun sepakat
(yaitu: “dua distrik Mesina dan Alexandretta dan porsi Suriah yang terbentang di barat Damaskus, Homs dan Aleppo yang tidak dapat dikatakan murni kaum Arab” dan McMahon, di The Times, 23 Juli 1937, mempertegas lagi apa yang dimaksudkan tentang area/daerah yang harus dikecualikan: “..Porsi Suriah yang sekarang dikenal sebagai Palestina..tidak dimaksudkan olehku dalam memberikan janji kepada Raja Husein untuk mengikutsertakan Palestina ke area di mana kemerdekaan arab dijanjikan“).
Di awal Januari 1916, yaitu di menjelang kesimpulan akhir perjanjian, Husein mengirimkan Faisal ke Suriah untuk memastikan pengaturan akhir rencana pemberontakan, namun Suriah tidak jadi ikut memberontak hingga Faisal sarankan pada ayahnya untuk menunda pemberontakan. Saran Faisal diteruskan kepada McMahon di bulan April 1916 yang mengakibatkan Inggris mencurigai ketulusan Faisal. [hal.108-109].
Di bulan April 1916, Husein menyurati Enver Paşha menuntut pengakuan otonomi khusus baginya di Hijaz yaitu dari Tabuk sampai Mekkah dan agar memberikan amnesti bagi orang Suriah dan Irak yang akan di hukum mati dan jika tuntutan ini dipenuhi, maka Husein akan mengirimkan anaknya Ali dan pasukannya dari Medina untuk bergabung dengan Enver. Telegram Husein ini kemudian dijadikan dalihnya untuk memberontak terhadap Turki. Walaupun Turki mengetahui itikad buruk Husein pada mereka, namun Turki tetap membiarkan Faisal pulang selamat dari Suriah. Di bulan Mei 1916, Inggris meminta Husein untuk menyerang jalur kereta api dan mengusir Turki keluar dari Hijaz. [Lihat: hal.110-111. Untuk 10 Surat antara McMahon-Husein Periode: 14 Jul 1915 – 10 March 1916, lihat di sini]
Pada tahun 1916 dan 1917 Husein menerima imbalan dari Inggris sejumlah persenjataan dan uang £ 100.000 Pound/bulan karena bersedia memberontak terhadap kekhalifahan Turki [Ini adalah realiasi dari permintaan Husein yang diantaranya adalah uang £ 50.000 emas/bulan disuratnya kepada McMahon tanggal 18 Februari 1916]
- Pada 5 Juni 1916 dua putra Husein, yaitu Ali dan Faisal memulai pemberontakan dengan menyerang garnisun Ottoman di Madinah, namun kalah. Tanggal 10 Juni 1016, putra Husein, Abdullah menyerang Ta’if, awalnya terpukul mundur namun dukungan artileri Inggris yang berasal dari Mesir membuat Ta’if akhirnya jatuh di 22 September 1916.
Di Mekkah, yaitu pada tanggal 10 Juni 1916 yang sama, Husein dan pendukungnya menyerang garnisun Ottoman dan terjadilah pertempuran berdarah di jalanan selama 1 bulan. Tentara Ottoman dengan persenjataan yang lebih baik mendominasi pertempuran sehingga Inggris mengirimkan bantuan pasukan dan artileri. Pasukan bantuan Inggris ini terdiri dari para desertir ketentaraan Turki yang dipenjarakan di India dan Mesir. Mereka ini merupakan ras turunan Arab dan juga para suku Arab Badui area Hijaz yang mau berperang bagi Husein dan Inggris karena mendapat bayaran £ 4 – £ 10/bulan.
Pertempuran ini mengakibatkan banyak kerusakan di Mekah. Hal ini kemudian dijadikan senjata propaganda oleh Husein bin Ali Pasha bahwa Turki telah menodai kota suci Islam.
Propaganda Sharif Husein dikeluarkan pada tanggal 26 Juni 1916, dimulai dengan kalimat bahwa Ia telah mengabdi bertahun-tahun untuk Turki sebagai Sharif/Emir Mekkah. Ia memberontak karena korupsi telah melanda Turki akibat ulah CUP yang membawa kerajaan ke dalam peperangan dan berakibat kesengsaraan dan kemiskinan bagi kerajaan, utamanya pada tanah suci Islam. Ia Menuduh Turki telah ber-Itihad dengan menuliskan biographi Nabi dengan cara tidak hormat dan melawan ucapan Allah, “Pria mendapatkan 2x dari wanita” memberlakukan kesetaraan bagi pria dan wanita dalam hal waris; membuat Garnisun Turki di Mekkah, Medina dan Damaskus membatalkan puasa selama Ramadhan; menghapuskan kekhalifahan dan melarang Khalifah memilih sendiri kabinet personalnya; menginstruksikan Hakim di pengadilan agama di Mekah untuk menolak keyakinan sebagai bukti pengadilan; menghukum gantung 21 ulama dan kepala suku Arab; mengusir keluar para keluarga yang tidak bersalah dan menyita harta mereka; membongkar kuburan para Raja dan orang suci, Al Sayyed al-Sharif ‘Abd al-Kader al-Jazairi al-Hassani dan membiarkan tulangnya berserakan serta membakar Kabah dan merusak Qiswa (penutup Kabah)
Propaganda Sharif Husein ini adalah alat pembenarannya untuk memberontak dari Turki yang audiennya adalah para muslim yang hidup di area kekuasaan Inggris dan juga pada mereka yang mengutuk Husein karena telah membahayakan tanah suci Islam. [Hal.111-116 dan juga wikipedia: “Arab Revolt 1916-1918”, Murphy David, London: Osprey, 2008 hal.34]
Akhirnya, tanggal 09 Juli 1916, Mekkah-pun jatuh ke tangan Husein dan Inggris.
- Konsekuensi dari pemberontakan Husein Ali Pasha, maka di tanggal 02 Juli 1916, Turki mecopot jabatannya sebagai Sharif Mekkah dan di tanggal 16 Juli 1916, Turki mengangkat Ali Haidar (masih sesama klan Hashim, namun berasal dari klan Zaid dan juga cucu dari Abdul Muttalib, mantan Sharif Mekkah sebelumnya) sebagai Sharif Mekkah yang baru [“King Husain and the Kingdom of Hejaz”, Randall Baker, hal.15, hal.111] namun Ali Haidar tertahan di Medina selama terjadinya pemberontakan Arab melawan Ottoman
-
Sewaktu Perang Dunia I, Abdul Aziz Ibn Saud (Raja Saudi ke-3, di Najd) pernah mengajak Sharif Husein, para pemimpin Ha’il dan Kuwait agar bersikap netral pada para pihak yang terlibat di perang ini namun tidak tercapai kesepakatan di antara mereka. Selama 2 tahun pertama semasa perang dunia, Ibn Saud bersikap mengabaikan pihak manapun, Setelah sharif Husain memberontak dari Turki dan lebih jauhnya yaitu di tanggal 02 November 1916 ketika Husein bin Ali Pasha menyatakan diri sebagai “Raja kaum Arab” (Malik bilad Al-Arab atau Malik Diyar Al-Arabiyya/Raja negara Arab), maka pernyataan ini disamping membuat hubungan Husein dengan Inggris memburuk (Di tanggal 3 Januari 1917, Perancis dan Inggris tetap menyebutnya hanya sebagai “Raja Hijaz”) , Abdul Aziz ibn Saud (atau ibn Saud) pun menjadi marah dan mengklaim wilayahnya adalah seluruh semenanjung Arab dan juga menuntut negosiasi untuk mempertimbangkan perbatasan Najd dan Hijaz.
Husein menolak tuntutan Ibn Saud dan menghinanya sehingga membuat Ibn Saud terlibat di Oasis al-Al-Khurmah yang berlokasi di pertengahan antara Najd dan Hijaz.
Di bulan Desember 1917, utusan Inggris, Kolonel Hemilton membujuk Abdul Aziz ibn Saud untuk menyerang Ha’il, Jabal Shammar, yang pimpin oleh Klan Al-Rashid yang pro Turki. Sebagai imbalannya, Ibn Saud menuntut diberikan senjata api. Saat itu, Inggris sedang mengalami kemajuan di area Suriah (sekarang disebut Palestina) dan Husein juga sedang melakukan perjanjian damai dengan Emir Jabal Shammar. Ketika tentara Ibn Saud telah bersiap menuju Jabal Shamar, Inggris memintanya untuk tidak melanjutkan penyerangan itu. Di bulan Juli 1918, Emir Oasis Al-Khurmah membelot dari Pro Husein menjadi Pro Ibn Saud.
Di Perang dunia ke-1 (28 Juli 1914 – 11 November 1918) blok sentral kalah pada sekutu. Setelah berakhirnya Perang Dunia I, Sharif Husein berusaha mencapai kesepakatan dengan Ibn Saud atas Oasis al-Al-Khurmah namun konflik makin berkembang, dari sengketa politik menuju ke sektarian agama, Wahhabi Najd VS Ortodoks Sunninya Husein. Akhirnya, Sharif Husein mengirimkan pasukan ke Al-khurmah dan Ibn Saud mengirimkan pasukan persaudaraan (Ikhwan Najdi) untuk melindungi Oasis. Inggris menutup mata terutama karena memandang remeh kekuatan Ibn Saud dan menganggap pasukan Husein akan dengan cepat dapat menghabisi mereka, namun nyatanya pasukan Husein yang kalah.
Ini adalah pertempuran pertama mereka.
Pada bulan Mei 1919, tentara Husein pimpinan Abdullah bin Husein Ali Pasha menuju Turaba (sebuah Oasis yang berjarak 80 mil dari Al-Khurmah) dan menjarahnya. Tanggal 21 Mei 1919, Ibn Saud mengirimkan peringatan kepada Husein bahwa kehadirannya di Turaba atau di Al-Khurmah akan memancing perang. Karena kompromi tidak terjadi, maka di tanggal 25-26 Mei 1919, pasukan Ikhwan bergerak menuju Turaba dan menyerang mereka ketika sedang tidur, akibatnya dalam beberapa jam saja, seluruh tentara Husein musnah: ratusan tewas, ribuan melarikan diri termasuk Abdullah bin Husein. Dilaporkan jumlah korban tewas saat itu 6000 orang [“The Direct Instruments of Western Control over the Arabs: The Shining Example of the House of Saud”, Dr. Abdullah Mohammad Sindi, hal.6].
Ketika Ibn Saud bersiap menuju Hijaz, di tanggal 4 Juli 1919, Inggris memberikan ultimatum padanya agar tidak melanjutkannya. Karena enggan berhadapan dengan Inggris, maka genjatan senjata terjadi. Di tahun 1920-1922, Saudi menaklukan Jabal Shammar, Kuwait, Asir (selatan Arabia) dan menetapkan batas dengan Irak dan TransJordan melalui protokol Uqair.
Di tengah perang kemerdekaan Turki, yaitu pada 1 November 1922, terjadilah penghapusan kekhalifahan Ottoman namun kantor kekhalifahan masih dipertahankan hingga 16 bulan lamanya sampai Majelis Nasional Agung Turki, di 3 Maret 1924 resmi menghapusnya. Dua hari setelahnya, Husein menyatakan diri sebagai Khalifah Islam. Menurut The Times, 13 Maret 1924, Mehmed VI (Mehmed Vahidettin), Sultan Ottoman terakhir, mengirim telegrap dukungan atas proklamasi Husein sebagai khalifah namun Husein gagal mendapatkan pengakuan luas dunia Arab. [Lihat: “The Rise and Fall of the Hashimite Kingdom of Arabia”, Joshua Teitelbaum, Cattatan kaki no. 51, hal.240. Juga Wikipedia: Sharifian Caliph]
Di awal tahun 1923, hubungan Inggris dan Husein memburuk, di tahun 1924, dengan alasan bahwa para peziarah Najd tidak diberi akses menuju tempat-tempat suci di Hijaz, Ibn-Saud menaklukkan Taif (29 Agustus 1924) dengan korban sebanyak 400 orang yang mati disembelih, berkenaan dengan ini, Husein sempat meminta bantuan Inggris namun ditolak dengan alasan mereka tidak mau melakukan intervensi dalam perselisihan agama.
Mekah menyerah (13 Oktober 1924) tanpa korban karena banyak penduduk ketakutan pada keganasan Ikhwan Najd, sehingga mereka meninggalkan kota terlebih dahulu, termasuk yang kabur diantaranya adalah sang Raja, yaitu Husein Ali Pasha, Ia melarikan diri ke Aqaba, berlayar dari Jeddah dengan membawa £ 800.000 dalam emas untuk pengasingannya di Siprus.
Konferensi Islam yang diselenggarakan di Riyadh tanggal 29 Oktober 1924 memberikan pengakuan Yuridiksi Saud atas Mekkah. Tahun 1925, jumlah Jemaah haji menurun drastis, ini karena ketakutan pada Ikhwan Najd dan kebijakan Saud sebelumnya terhadap sekte lain. Kejadian ini, membuat Saud mengubah kebijakannya menjadi lebih pluralis.
Di bulan Desember 1925, Medina dan Yanbu menyerah. Ibn Saud kembali ke Riyadh, di tahun 1926, dengan menaiki motor buatan Inggris.
Antara tahun 1927-1930:
Terjadi pemberontakan Persaudaraan Najd (Ikhwan Najd) terhadap kerajaan Saudi yang berawal dari konferensi pemimpin Ikhwan Al-Arţâwîya tahun 1926. Mereka menemukan kesalahan Saud, diantaranya: tidak memisahkan dengan tegas antara keyakinan vs kekafiran, membiarkan ke-2 anaknya mengunjungi negeri kafir, membiarkan berhala-berhala kaum nomaden Irak dan Yordania di izinkan di tanah Islam, memberikan kelonggaran pada Syiah dan pemakaian teknologi modern.
Dalam rangka mengatasi konfrontasi, di Januari 1927, Saud mengundang pemimpin Ikhwan ke Riyadh melakukan konferensi dengan ulama Wahhabi namun berakhir dengan Fatwa yang menegaskan hal sebelumnya dan juga menegaskan agar Syiah dilarang di Najd dan mewajibkan agar Wahabbi di lembaga pendidikan di Al-Hasa, melakukan pemurtadan paksa terhadap kaum Syiah dan dilanjutkan dengan merobohkan banyak bangunan mereka.
Setahunan peristiwa ini berlangsung dan Abdul Aziz memutuskan untuk mengekang Ikhwan, Ia perbolehkan kaum Syiah mengusiri pengkotbah Wahabi (Di tahun 2007, komposisi Syiah di Saudi Arabia timur ini mencapai 40-45% populasi Al-Hasa dan 87% di Qatif) dan kemudian terjadilah pemberontakan Ikhwan terhadap Saudi. Dalam pemberontakan ini, ribuan Ikhwan tewas terbantai.
[lihat Wikipedia: Penyatuan Arabia; Sengketa Al-Khurmah, Pemberontakan Kaum Ikhwan dan “Hijaz-Najd WAR (1924 – 1925)”, Dr Fattouh Al-Khatrash; “Arabia, Yemen, and Iraq 1700-1950“, Sanderson Beck. Juga “The Wahhabi Mission and Saudi Arabia, David Commins, hal.76]
Demikianlah semua pertumpahan darah di atas dikemas indah dalam nuansa religi yang telah membuat tak terhitung jumlah muslim yang tewas, yaitu ketika:
- kekhalifahan Utsmaniyah menjajah sesama muslim (suku Arab maupun bukan), juga
- ketika mereka berjuang membebaskan diri dari kekhalifahan Utsmaniyah dan
- saling memerangi sesama muslim sukunya sendiri untuk berebut daerah.
- Saling mengkafiri dan memerangi sesama muslim lain aliran atau sama aliran namun lain suku dan
- membantai sesama muslim yang dulu menjadi kawan seperjuangan mereka
Fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah atas berkah rahmat dan bantuan kafir Inggris, Perancis dan Rusia, mereka akhirnya lepas dari penjajahan khalifah muslim. Para Muslim yang berperang atas nama agama ini, SEMUANYA senang bersekutu dengan kafir, saling mengkafirkan sesamanya, saling membunuhi sesamanya hanya demi wilayah dan kekuasaan. [↑]
Periode Mandat Inggris Untuk Rumah Nasional Bagi Kaum Yahudi (Baca: Mandat Inggris Untuk Palestina)
Protokol Damaskus, 23 Mei 1915 (Terjemahan Inggris-Indonesia oleh Saya)
adalah usulan orang-orang Suriah/Damaskus mengenai rencana tapal batas negara Hijaz ketika mereka bertemu secara rahasia dengan Faisal bin Husein Ali Pasha. Usulan ini kemudian disampaikan Faisal kepada ayahnya, Husein Ali Pasha, untuk dinegosiasikan (via surat) dengan Henry McMahon, wakil Inggris, sebagai persyaratan kepada Inggris untuk bersekutu memberontak terhadap kekhalifahan Turki:
Pengakuan Inggris tentang kemerdekaan negara-negara Arab yang terletak dalam batas berikut:
Utara: garis Mersin Adana yang paralel dengan lintang 37 Utara dan sepanjang garis Birejek-Urga-Mardin-Kidiat-Jazirat (Ibn ‘Unear)- Amadina sampai perbatasan Persia;
Timur: Perbatasan Persia menuju ke bawah hingga teluk Persia;
Selatan: Lautan India (dengan pengecualian Aden yang statusnya tetap untuk dipertahankan);
Barat: Laut Merah dan Mediterania hingga balik menuju Mersin.
Penghapusan seluruh hak khusus yang telah diberikan pada orang asing dalam penyerahan. Kesimpulan dari aliansi pertahanan antara Ingris dan calon negara Arab. Pemberian preferensi ekonomi pada Inggris.
[lihat protokol ini dalam Inggris di Wikipedia: “King Husain and the Kingdom of Hejaz”, Randall Baker, Oleander Press, 1979, hal. 64–65. Petanya di hal.70. Tanggal pertemuan Faisal-Orang-orang Damaskus, yaitu tgl 23 Mei 1915, lihat: ANTOINE CAPET, hal.40. Juga di bukunya: Isaiah Friedman: hal.47 dan hal.134]
Surat-Menyurat Husein Ali Pasha – Henry McMahon, 24 Oktober 1915:
Rencana tapal batas dalam protokol Damaskus, McMahon SEPAKATI DENGAN PENGECUALIAN DAERAH-DAERAH TERTENTU sebagaimana tertuang dalam surat McMahon untuk Husein tanggal 24 Oktober 1915:
“…Distrik-distrik dari Mesina dan Alexandretta dan porsi-porsi dari Suriah yang terletak di barat distrik-distrik Damaskus, Homs, dan Aleppo tidak dapat dikatakan murni kaum Arab, dan harus dikecualikan dalam batasan yang diminta.
Note:
Dalam arab: ‘Inna wilāyatay marsīna wa-‘iskandarūnata wa-‘ajzā’an min bilādi ś-śami l-wāqi’ata fi l-jihati l-garbīyati li-wilāyati dimaśqi ś-śami wa-ḥimsa wa-ḥamahā wa-ḥalaba lā yumkinu ‘an yuqāla ‘inna-hā ‘arabīyatun maḥḍatun wa-‘alay-hi yajibu ‘an tustaṭnā mina l-ḥudūdi l-maṭlūba
Dalam Inggris: The districts of Mersina and Alexandretta, and portions of Syria lying to the west of the districts of Damascus, Homs, Hama and Aleppo cannot be said to be purely Arab, and should be excluded from the limits demanded
(KLIK lanjutannya..!) Dengan perubahan di atas, dan tanpa prasangka pada keberadaan pakta dengan para pemimpin Arab, kami terima batas-batas tersebut
Surat McMahon dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke bahasa Arab. Surat jawaban sharif Husein dalam bahasa Arab diterjemahkan ke bahasa Inggris. Dalam banyak tahun kemudian, terjemahan dan maksud surat ini menjadi persoalan yaitu apakah Palestina masuk/tidak dalam area yang dijanjikan kepada Sherif Husein, bahkan permasalahan ini dibahas juga di pertemuan komite untuk urusan timur pada tanggal 5 Desember 1918, yang dipimpin oleh Lord Curzon, sekretaris Menlu dan ketua komite. Lord Curzon menyampaikan pendapat pribadinya:
Posisi Palestina adalah ini. Jika kita sepakat dengan komitmen kita, terdapat janji umum terlebih dulu untuk Husein pada bulan Oktober 1915, di mana Palestina termasuk dalam wilayah-wilayah sebagaimana yang Inggris sendiri janjikan bahwa mereka harus kaum Arab dan berdiri sendiri di kemudian hari
[wikipedia: Palestine Papers 1917-1922, Doreen Ingrams, p.48 and UK Archives PRO. CAB 27/24. Terjemahan Inggris-Indonesia oleh saya]
Yang menjadi persoalan adalah menafsirkan kalimat: “purely arab (tidak murni kaum arab)” dan juga terjemahan “distrik” menjadi “vilayet (bahasa persia dan dalam arab: wilāya (bahasa arab atau plural: wilāyāt)”, yaitu apakah kota atau provinsi yang akan menjadi batasan klaim area wilayah eks-Turki di vilayet Suriah/Damaskus yang dikecualikan untuk Arab yang dimaksudkan McMahon.
- Kata wilāyā dapat berarti kota atau provinsi atau distrik, misal: “The Muslim country was divided into provinces called wilāyāt and the governor of each province or district is wālī; as a generic term means the highest authority of one administrative unit in one city appointed by the Khalifa” [Politics in Muslim Friday Prayer: Jurist Qādīkhān] sehingga tidak mengherankan bahwa Sharif Husein Ali Pasha sendiri mengaplikasikan kata vilayet yang merujuk pada maksud: kota, provinsi dan bahkan area hunian dalam surat balasannya untuk McMahon: “two vilayets of Aleppo and Beirut..purely Arab vilayets..” (“wa-‘amma wilayatay halaba wa-bayruta..wilayatun ‘arabiyatun mahdatun..”, dua vilayet Aleppo dan Beirut..murni vilayet arab..) [Lutz Edzard, Wolfgang Molte, hal.86]
Sesuai peta di atas,
Beirut, Aleppo dan Damaskus adalah nama kota dan sekaligus provinsi/daerah. Daerah Ma’an (sejak 1890) dan Aqaba (sejak 1910) adalah bagian dari Area Damaskus, sehingga Ottoman Suriah adalah: Damaskus (Aqaba, Maan, Hauran, Damaskus sendiri dan Hama) dan Aleppo. Wilayah Suriah di Barat Damaskus adalah: Jerusalem, Balqa, Acre, Beirut, Libanon, Tripoli dan Latakia
Dengan demikian, maka benar bahwa Palestina berada di sebelah barat Maan (Damaskus) sehingga merupakan daerah yang dikecualikan
[lihat juga: “The Balfour Declaration: The Origins of the Arab-Israeli Conflict”, Jonathan Schneer, hal.66. “The Boundaries of Modern Palestine, 1840-1947, Gideon Bige, hal.48. “Britain and Saudi Arabia, 1925-1939: The Imperial Oasis, Clive Leatherdale, hal.41]
Di samping itu,
Ketika Husein membalas surat McMahon mengenai area yang ada di barat Damaskus dan Aleppo, Husein sama sekali tidak menyinggung Jerusalem, Balqa, Acre, Libanon, Tripoli dan Latkia. Ia hanya menyinggung Aleppo dan Beirut. Ini menunjukan bahwa Husein juga memandang bahwa SELAIN Beirut dan Aleppo adalah persis yang dimaksudkan McMahon.
Pada tanggal 20 Januari 1921, lima tahun setelah korespondensi McMahon-Husein, Winston Churchill menyampaikan hasil percakapan dengan Emir Faisal (Faisal bin Husein Ali Pasha) Emir Faisal siap untuk menerima pernyataan bahwa Palestina dikecualikan
[Great Britain, Parliamentary Debates, Commons, July 11, 1922, cols. 1032-1034, as cited in Albright, et al, Palestine: A Study of Jewish, Arab and British Policies, Vol. I, 1947, Yale University Press, p. 187. juga di sini]
Kemudian,
Pada tahun 12 April 1923, Sir Gilbert Clayton, yang merupakan stafnya Sir Henry McMahon di tahun 1915-1916, menyampaikan surat pada Sir Herbert Samuel (Komisioner Tinggi Palestina pertama, 1920-1925) dan di pertemuan Majelis Tinggi Inggris, 20 Juli 1937, Samuel menyampaikan isi surat Sir Gilbert Clayton:
“Setiap hari saya bersama Sir Henry McMahon selama berlangsungnya negosiasi dengan Raja Husein, dan membuat draft awal.. Saya dapat nyatakan bahwa tidaklah pernah terlintas maksud bahwa Palestina harus masuk dalam perjanjian umum yang diberikan pada sharif; Kata-kata pengantar surat Sir Henry pada waktu itu.. jelas sekali mencakup point itu. Itu, Saya pikir, sangat jelas kepentingan tertentu terlibat di Palestina menghalangi suatu kepastian janji berkenaan dengan masa depannya ditahap yang sangat awal” [lihat juga: Unispal, March 16, 1939 dan “Why a Jewish Homeland: The Husain-McMahon Arrangements, Palestine: A Study of Jewish, Arab and British Policies”, Vol.1, Yale University Press, 1947, hal.181-191]
Bahkan McMahon, yang terlibat langsung, TELAH MENJAWAB dengan JELAS dan TEGAS maksud suratnya mengenai area mana yang dikecualikan dan apa sebutannya DULU vs SEKARANG, di THE TIMES, tanggal 23 Juli 1937
Tuan,
Banyak referensi telah disampakan di Laporan Komisi Besar Palestina dan sejalan dengan debat yang sedang berjalan di dua parlemen tentang “Perjanjian McMahon”, utamanya pada porsi perjanjian yang berkenaan dengan Palestina dan yang satu interpretasi di klaim oleh Yahudi dan lainnya oleh Arab.
Saya telah dinasehati bahwa terus menutup mulut sebagai pihak pemberi dari janji itu akan menjadikanya disalahpahami.
Aku rasa, menjadi, terpanggil untuk memberikan pernyataaan tentangnya, namun Aku akan membatasi diri dalam poin yang sekarang menjadi isu, yaitu apakah PORSI SURIAH YANG SEKARANG DIKENAL SEBAGAI PALESTINA adalah ya atau tidak dimaksudkan untuk diikutsertakan dalam teritorial di mana kemerdekaan kaum Arab dijaminkan dalam perjanjianku.
Aku rasa sudah menjadi tugasku untuk menyatakan, dan aku lakukan dengan pasti dan tegas, bahwa tidak dimaksudkan olehku dalam memberikan janji kepada Raja Husein untuk mengikutsertakan Palestina ke area di mana kemerdekaan arab dijanjikan..
Aku juga sangat beralasan untuk yakin di saat itu fakta bahwa Palestina tidak diikutsertakan ke dalam perjanjianku adalah dipahami baik oleh Raja Husein
[lihat surat lengkap McMahon di: “State and Economics in the Middle East: A Society in Transition”, Alfred Bonne, hal.83 atau potongan kecil kutipannya di UNISPAL, UN.org: Report of a Committee, 16 March 1939]
- Lanjutan surat-menyurat Husein-Mcmahon adalah sebagai berikut (Detail surat-menyurat lihat di sini):
Dari Husein kepada McMahon, 5 November 1915:
“..Dalam rangka penyelesaian sebuah kesepakatan dan memberikan pelayanan pada Islam.., dan disaat yang sama untuk menghindari segala hal yang dapat menyebabkan Islam menjadi bermasalah dan terlihat ruwet terlebih lagi kami sangat mempertimbangkan kualitas menarik dan prilaku pemerintah Inggris maka kami batalkan untuk tetap memasukan wilayah Mersina dan Adana ke dalam kerajaan Arab. Namun dua wilayah Aleppo dan Beirut dan perbatasan lautnya adalah murni wilayah Arab, dan tidak ada perbedaan antara Arab Muslim dan Kristen; mereka semuanya adalah turunan dari satu bapak moyang..”
Dari McMahon kepada Husein, 14 Desember 1915:
..Saya lega mengetahui bahwa anda sepakat untuk mengeluarkan distrik Mersina dan Adana dari tapal batas Arab.
…
Berkenaan dengan vilayet Aleppo dan Beirut, Pemerintah Inggris dapat memahami sepenuhnya dan akan mencatat dengan baik pertimbangan-pertimbangan Anda, NAMUN, karena terdapat kepentingan-kepentingan sekutu kami, Perancis, terlibat dengan kedua area ini, permasalahan ini memerlukan pertimbangan yang lebih hati-hati dan komunikasi lanjutan tentang permasalahan ini akan disampaikan kepada anda pada waktunya..
Dari Husein kepada McMahon, 1 Januari 1916:
..Mengenai bagian utara dan pantai-pantainya, kami telah sampaikan dalam surat kami terdahulu apa yang utamanya dapat diubah, dan ini semua hanya dilakukan untuk memenuhi harapan-harapan yang hasilnya adalah sebagaimana yang Allah SWT kehendaki. Perasaan dan keinginan yang sama ini yang mendorong kami untuk menghindari apa yang mungkin dapat mencederai aliansi Inggris dan Perancis dan perjanjian yang dibuatnya selama berlangsungnya perang dan kekacauan ini; namun demikian kami meminta menteri dapat memastikan bahwa, dikesempatan pertama setelah selesainya perang ini, kami akan meminta Anda (apa yang kita palingkan muka hari ini) apa yang sekarang kita tinggalkan kepada Perancis di Beirut dan pantainya.
Saya tidak merasa perlu untuk menarik perhatian Anda pada kenyataan bahwa rencana kami adalah keamanan yang lebih besar untuk kepentingan dan perlindungan hak-hak Inggris daripada untuk kita, dan tentu akan jadi apa pun yang mungkin terjadi, sehingga Inggris akhirnya dapat melihat teman-temannya dalam kepuasan dan kemajuan yang Ia upayakan untuk dibangun bagi mereka sekarang, terutama karena sekutunya yang bertetangga dengan kita akan menjadi kuman kesulitan dan tidak dapat berdiskusi dengan kondisi damai. Sebagai tambahan rakyat tidak akan pernah menerima pemisahan tersebut, dan mereka mungkin mengharuskan kita untuk melakukan langkah-langkah baru yang dapat dilaksanakan Inggris, tentu saja tidak kurang bermasalah dari sekarang, karena kepercayaan kami dan kepastian dalam hubungan timbal balik dan tentunya kesamaan kepentingan kita, yang merupakan satu-satunya penyebab kita tidak pernah mau bernegosiasi dengan pihak lain kecuali dengan Anda. Akibatnya, mustahil untuk membiarkan pengurangan dengan memberikan Perancis, atau pihak lainnya, sejengkal tanah di area tersebut..
Dari McMahon kepada Husein, 25 Januari 1916:
..sehubungan dengan bagian utara, kami catat dengan kepuasan itikad Anda untuk menghindari segala sesuatu yang mungkin dapat mencederai aliansi Inggris dan Perancis. Sebagaimana Anda ketahui, kami telah bertekad bahwa tidak ada yang kami ijinkan untuk mencampuri tuntutan persatuan kami diperang ini untuk tujuan kemenangan. Lebih lanjut lagi, ketika kemenangan telah diraih, persahabatan Inggris dan Perancis akan menjadi lebih teguh dan abadi, diikat darah orang Inggris dan Perancis yang telah tewas berdampingan berjuang untuk kebenaran dan kebebasan
Dalam penyebab besar ini Arabia sekarang terkait, dan Tuhan berkenan bahwa hasil upaya bersama dan kerjasama akan mengikat kita dalam persahabatan abadi bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bersama kita semua.
Surat-menyurat Husein-McMahon sampai dengan tanggal terakhir, memberikan gambaran jelas bahwa McMahon telah mengecualikan Area Suriah bagian Selatan/Timur Damaskus dari perjanjian dan juga telah membebaskan Inggris dari memberikan hal-hal yang dikecualikan karena ada keterlibatan kepentingan Perancis di Suriah.
[Detail perdebatan maksud surat menyurat Husein-McMahon antara delegasi Inggris vs Arab, pada tanggal 16 Maret 1939, lihat: “Report of a Committee Set Up To Cosider Certain Correspondence Between Sir Henry McMahon and Sharif Mekah In 1915 and 1916”, March 16, 1939]
Perjanjian Sykes-Picot, Mei 1916
Pada bulan Mei 1916, terdapat pakta kesepahaman antara Inggris (Sir Mark Sykes) dan Perancis (Georges Picot) untuk bersiap mengakui sebuah negara Arab atau konfedarasi negara-negara Arab setelah kekhalifahan Turki kalah dan akan dibuat partisi-partisi, pengaturan perekonomian yang melibatkan seluruh sekutu mereka. Pakta kesepahaman ini kelak disebut Perjanjian Sykes-Picot yang isinya:
“Surat dari Sir Edward Grey (Inggris) ke Paul Cambon (Perancis), 15 Mei 1916:
Saya mendapatkan kehormatan penuh untuk menjawab langsung kelanjutan surat yang mulia tertanggal 9, sehubungan dengan pembentukan sebuah negara Arab, Namun demikian, sebelumnya, saya sangat berterima kasih apabila Yang Mulia dapat memberikan kepastian pada saya mengenai area-area yang, berada dalam persyaratan yang telah dibicarakan, menjadi sepenuhnya milik Perancis, atau bagian mana kepentingan Perancis diakui sebagai dominan, di setiap konsesi Inggris yang ada, hak navigasi atau pengembangan, dan hak-hak dan keistimewaan setiap lembaga keagamaan, pendidikan, atau kesehatan Inggris yang akan tetap dipertahankan.
Yang mulia pemerintah, tentunya saja, akan memberikan jaminan serupa di wilayah Inggris.
Surat Sir Edward Grey ke Paul Cambon, 16 Mei 1916:
Saya mendapat kehormatan menerima langsung surat Yang Mulia tertanggal 9, yang menyatakan bahwa pemerintah Perancis menerima batas-batas suatu negara Arab di masa depan, atau Konfederasi dari negara-negara, dan pada porsi-porsi Suriah di mana kepentingan Perancis mendominasi, bersama kondisi-kondisi tertentu yang ada di sana, sebagaimana yang dihasilkan dalam diskusi-diskusi yang telah dilakukan di London dan Petrograd tentang ini
Saya mendapatkan kehormatan untuk menjawab tentang penerimaan keseluruhan proyek yang sekarang ada, akan melibatkan pelepasan sepenuhnya kepentingan-kepentingan Inggris, namun sejak Yang mulia pemerintah mengakui manfaat umum dari persekutan dalam menciptakan situasi politik internal yang lebih menguntungkan di Turki, Mereka sekarang siap menerima rencana yang datang, asalkan kerjasama dari kaum-kaum arab terjaminkan, dan bahwa kaum Arab memenuhi persyaratan dan mendapatkan kota-kota Homs, Hama, Damaskus, dan Aleppo.
Kesepahaman antara pemerintah Perancis dan Inggris:
Bahwa Perancis dan Inggris bersiap untuk mengakui dan melindungi sebuah negara Arab merdeka atau konfederasi negara-negara Arab (a) dan (b) yang ditandai pada peta pendudukan, di bawah kekuasaan raja dari seorang kepala suku Arab. Bahwa di area (a) Perancis, dan di area (b) Inggris, akan memiliki prioritas dari hak berdagang dan pinjaman-pinjaman lokal. Bahwa di area (a) Perancis, dan di area (b) Inggris, akan menyediakan sendiri penasihat atau fungsionaris asing atas permintaan negara atau konfederasi negara-negara Arab Arab.
Bahwa di area warna biru Perancis, dan di area warna merah Inggris, akan diizinkan untuk membangun semacam administrasi atau kontrol langsung ataupun tidak seperli yang mereka inginkan dan pikir cocok untuk ditata bersama dengan negara arab atau konfederasi negara-negara Arab.
Bahwa di area warna coklat akan dibentuk administrasi internasional, bentuknya akan diputuskan setelah berkonsultasi dengan Rusia, dan kemudian dengan sekutu lainnya, dan dengan perwakilan sharif Mekah.
(KLIK lanjutannya..!) Bahwa Inggris akan diberikan (1) pelabuhan Haifa dan Acre, (2) mendapat jaminan pasokan air dari Tigres dan Efrat di area (a) untuk area (b).
Pemerintah Inggris dan Prancis, sebagai pelindung negara Arab, akan sepakat bahwa mereka tidak akan mengambil sendiri dan tidak akan menyetujui pihak ke-3 mengambil kepemilikan teritorial di jazirah Arab, juga tidak sepakat pada pihak ke-3 yang mendirikan pangkalan angkatan laut baik di pantai timur, atau di pulau-pulau, di laut merah. Ini, bagaimanapun, tidak akan mencegah semacam penyesuaian di perbatasan Aden yang dianggap perlu sebagai akibat dari agresi Turki baru-baru ini.
Negosiasi dengan kaum Arab mengenai tapal batas negara-negara Arab harus dilanjutkan melalui jalur yang sama seperti sebelumnya atas nama dua kekuatan.
Disepakati bahwa langkah-langkah pengendalian impor senjata ke wilayah-wilayah Arab akan dipertimbangkan oleh kedua pemerintah.
Saya dengan penuh hormat menyatakan bahwa, dalam rangka membuat perjanjian yang lengkap, Yang mulia pemerintah mengusulkan kepada pemerintah Rusia untuk saling bertukar catatan analog dengan yang dipertukarkan dengan yang terakhir dan dengan catatan yang mulia pemerintah di tanggal 26 April lalu. Salinan catatan-catatan ini akan dikomunikasikan kepada yang mulia segera setelah dipertukarkan. Saya memberanikan diri untuk mengingatkan yang mulia bahwa kesimpulan dari perjanjian ini diangkat, untuk pertimbangan praktis, pada permasalahan klaim-klaim Italia meminta bagian di partisi manapun atau penataan ulang Turki di Asia, sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 9 dari perjanjian 26 April 1915, antara Italia dan sekutunya.
Pertimbangan Yang mulia Pemerintah lebih lanjut menganggap bahwa pemerintah Jepang selayaknya diinformasikan mengenai penataan-penataan sekarang telah final.”
[Text Inggris: wwi.lib.byu.edu, Unispal.un.org; Gambar: wikipedia]
Perjanjian di atas, menjelaskan bahwa 3 negara (Inggris, Perancis dan Rusia) bersepakat bahwa porsi yang berasal dari Vilayet Suriah, yaitu mulai dari Damaskus sampai Ke Aleppo berada di bawah Perancis dan diperuntukkan bagi negara arab atau konfederasi negara-negara Arab.
 |
Usulan Organisasi ZIonis
tentang Rumah Nasional Kaum Yahudi
di Konferensi Perdamaian, London, 1919 |
Organisasi Zionis Dunia (WZO), 21 Agustus 1897
Bagian kue wilayah eks-Ottoman Turki bukan hanya diincar kaum Arab, namun juga diincar kaum Yahudi, di mana, pada tahun 1919, di konferensi Paris, melalui perwakilan Organisasi Zionis, mereka menyampaikan peta rencana “rumah nasional bagi kaum Yahudi”, yang meliputi area sebelah Timur Sungai Jordan, Utara: Perbatasan Sidon dan di bawah kota Damaskus, Timur: Laut Mediterania, Barat: Menyusur dari Aqaba (Selatan) ke sebelah timur sungai Jordan dan sebelum kota Amman. Selatan: area teluk Aqaba dan melewati sedikit Mesir (Al Arish). Ini adalah peran nyata dari Organisasi Zionis Dunia yang didirikan Theodor Herzl.
[Sumber Peta: “The Transformation of Palestine”, Alan R. Taylor, Abu-Lughod. Peta disamping ini sebetulnya kurang tepat, karena di tahun 1919, batasan negara-negara sekitarnya seperti Lebanon, Suriah, dan Transjordan belumlah ada].
Apakah Zionisme itu?
Zionism adalah suatu gerakan nasional kaum Yahudi dan budaya kaum Yahudi yang mendukung penciptaan tanah air Yahudi di wilayah yang didefinisikan sebagai Tanah Israel (Eretz Israel). Masyaratkat Zion pertama terbentuk di Jerman pada tahun 1861, Pada tahun 1870, Aliansi Israel Universal mendirikan sebuah sekolah pertanian yang disebut “Mikveh Israel” di dekat kota Jaffa (Wilayah Sanjak Jerusalem). Tanah untuk sekolah ini diberikan oleh Sultan Ottoman.
Imigrasi ke-1 (1882 – 1903) Kaum Yahudi Eropa timur ke Sanjak Yerusalem, Vilayet Suriah, Ottoman Turki adalah sebanyak 30.000 Orang, kebanyakan dari mereka menggunakan visa Umrah 30 hari namun tidak kembali lagi ke negara asalnya. Ini menyebabkan mereka diusir oleh gubernur Jerusalem saat itu dan tindakan sang gubernur ini dikecam oleh menteri luar negeri kerajaan. Di tahun 1889, Ia digantikan gubernur baru yang lebih moderat. Setengah dari imigran pada masa itu telah kembali ke luar Jerusalem.
“Kami telah membuat aturan untuk tidak terlalu banyak bicara, kecuali kepada orang-orang … yang kita percaya … tujuannya adalah menghidupkan kembali bangsa kita di tanahnya … jika saja kita mampu meningkatkan jumlah kita di sini hingga mencapai mayoritas …. sekarang ini terdapat lima ratus [ribu (?)] Arab, yang tidak kuat, yang darinya kita akan dengan mudah mengambil wilayah hanya dengan bersiasat tanpa membuat mereka memusuhi kita sebelum kita menjadi kuat dan padat penduduknya”. – Surat Ben-Yehuda dan Yehiel Michael Pines (keduanya menulis di Jerusalem) kepada Rashi Pin di Vilna, Lithuania, Oktober 1882
Pada tahun 1896, Theodor Herzl membagikan sebuah pamplet mengenai “The Jewish State“, Ide yang dikembangkan dari pemikiran Rousseau, bahwa Negara dibentuk oleh kontrak sosial. Ini mendorong orang untuk berkomunitas sehingga punya cukup kekuatan untuk berunding, karena syarat adanya suatu negara, di samping adanya tanah juga harus ada sejumlah orang disana dan juga melalui pembelian-pembelian tanah.
Awalnya terdapat dua alternatif untuk pendirian negara Yahudi, yaitu idealnya di vilayet Suriah-nya Ottoman dan alternatif lainnya adalah di Argentina, namun pilihan pertama yang berkembang.
Pamplet Herzl ditanggapi para Zionis dengan penuh semangat untuk menyatukan diri.
Kongres Zionis pertama diselenggarakan di Basel, Swiss pada 29-31 Agustus 1897. Ini merupakan tonggak berdirinya Organisasi Zionis Dunia (WZO) dengan Herzl sebagai presiden pertamanya dan ditetapkan pula sebuah program yang disebut Program Basel yang bertujuan membangun rumah nasional bagi kaum Yahudi di Palestina melalui promosi pemukiman; Penyatuan kaum Yahudi lokal maupun internasional; Penguatan dan pembinaan sentimen dan kesadaran nasional Yahudi:
- Herzl kemudian menemui Sultan Ottoman untuk memohon sebuah kesepakatan yang akan memungkinkan imigrasi massal Yahudi ke area Sanjak Yerusalem, namun ditolak. Ia kemudian bertemu dengan Inggris membahas sebuah pemukiman Yahudi di Semenanjung Sinai, bagian dari Mesir, juga ditolak, sebagai gantinya Inggris menawarkan Kenya. Herzl mengajukan gagasan ini kepada Kongres Zionis pada tahun 1903 namun tidak disepakati dan malah perdebatan tentang ini hampir saja membuat organisasi pecah.
- Pada tahun 1889, berdiri perbankan, yaitu Perserikatan kolonial Kaum Yahudi dengan modal awal £ 395.000. Cabang pertamanya di Palestina bernama ‘Anglo Palestine Bank’ dan cabang ke-2nya di Jaffa (sekarang Tel Aviv), dengan program: memberikan pinjaman lunak jangka panjang pada petani untuk pembelian tanah dan membangun pemukiman. Selama perang dunia ke-1 (1914-1918), Pemerintah Ottoman Turki menyita kas mereka dengan alasan pendirian bank dilakukan di Inggris, negeri musuh mereka (alasan ini diadakan karena perang telah membuat perekonomian Turki menuju kebangkrutan)
-
Pada tahun 1901, berdiri Badan Dana Yahudi (JNF) dengan program membeli dan juga mengembangkan tanah di wilayah Ottoman Turki untuk pemukiman kaum Yahudi, Modal awalnya tanah mereka cuma 0.2 km² yang berasal dari hibah kaum Yahudi di Rusia dan dijadikan kebun Zaitun di tahun 1903. Pada tahun 1904 dan 1905, JNF membeli lahan di dekat Danau Galilea dan di Ben Shemen. Pada tahun 1921, kepemilikan tanah mereka adalah 25.000 hektar (100 km²). Di tahun 1927: 50.000 hektar (200 km²). Akhir tahun 1935: 89.500 hektar (362 km²). Di tahun 1946, Inggris melakukan survey kepemilikan tanah: 70% (Penerima mandat: Inggris), 8.6% (Yahudi), 3.3% (penduduk Arab), 16.5% (non penduduk Arab). Pada periode akhir mandat Inggris (1948): 936 km² (±54% dari seluruh tanah kaum Yahudi) atau hampir 4% dari area yang disebut Mandat Inggris untuk Palestina
note:
Awalnya, cakupan wilayah dari mandat Inggris untuk Palestina: Palestina + Israel + Yordania, namun di tahun 1922, setelah memorandum Trans-Yordania, wilayah Yordania dikeluarkan dari cakupan mandat Inggris untuk Palestina. Luas Yordania adalah ±76% dari keseluruhan mandat. Sehingga sisa Mandat Inggris untuk Palestina yang tersisa hanya 24%nya.
[Wikipedia, ShalomJerusalem. Untuk permasalahan kepemilikan tanah baca: Hope-Simpson Report (1930), Pelepasan kepemilikan di Palestina]
Gelombang Imigrasi ke-2 (1904-1914): 40.000 orang kebanyakan berasal dari negara Eropa Timur dan Kenya. Selama tahun 1870-1920, dari 2 juta Imigran yang meninggalkan Eropa Timur, hanya 200.000 yang menuju Palestina. Mereka ditempatkan di Utara Jaffa, membangun jalan-jalan dan system air sendiri untuk diri mereka sendiri, membangun sekolah tinggi dan membentuk Hashomer (kelompok penjagaan oleh dan untuk sendiri. Setelah kerusuhan Nabi Musa di bulan April 1920 dan meningkatnya sentimen anti Yahudi, maka terbentuklah Haganah/organisasi pertahanan dan Hashomerpun dibubarkan).
Zionis Buruh yang tiba selama Aliyah kedua menemukan bahwa para pemukim Aliyah pertama telah menjadi tuan tanah dan membayar orang-orang Arab untuk menggarap tanah untuk mereka.
… cara yang dilakukan permukim lama bukan cara kami. Bukan ini cara kami untuk membangun negara (cara lama: kaum Yahudi di atas, kaum Arab bekerja bagi mereka); lagi pula, kami berpikir bahwa tidak boleh ada pengusaha dan pekerja. Harus ada cara yang lebih baik – Yossef Baratz, pendiri kibbutz pertama [Kibbutz: komunitas pedesaan berbasis pertanian dan peternakan dengan prinsip kepemilikan bersama properti, kesetaraan, kerja sama produksi & konsumsi serta pendidikan]
Baratz dan rekan imigrannya melihat bahwa kondisi lahan yang buruk dan lemahnya pemerintahan saat itu, tidak memungkinkan bagi peternakan mandiri kecuali jika para pemukim saling bergantung satu sama lainnya maka Baratz dan 11 temannya mendirikan sebuah peternakan komunal bernama “Degania”, berlokasi di ujung Selatan danau Galilea dekat lembah Yizreel.
Komunitas ini adalah kibbutz pertama kaum Yahudi di Palestina.
Untuk membangun kembali apa yang mereka anggap sebagai tanah leluhur mereka, para pendiri Degania, bekerja dengan sangat kerasnya. Beratnya kerja mereka digambarkan seorang perintis dengan kalimat, “tubuh remuk, kedua kaki linu, kepala sakit, kulit terbakar matahari dan badan lunglai” dan menyebabkan 1/2 anggota kibbutz tidak sanggup bekerja. Beratnya kondisi ini menyebabkan banyak pria dan wanita muda memilih meninggalkan kibbutz untuk hidup lebih mudah di kota-kota Yahudi di pinggiran sungai Yordan atau kembali mengembara (Diaspora). Meskipun keadaan begitu keras dan berat, di tahun 1914, Kibbutz Degania punya 50 anggota.
Imigrasi ke-3 (1919 – 1923) terjadi karena revolusi Oktober di Rusia, Polandia dan Hungaria, penaklukan Inggris atas Palestina dan Deklarasi Balfour. Sebagian besar anggota Aliyah ke-3 adalah kaum muda perintis (halutzim) dari Eropa Timur. Meski Inggris memberlakukan quota imigrasi, namun 90.000 yishuv (pemukiman) terpenuhi. Imigran baru ini membangun jalan-jalan dan kota, pengeringan rawa-rawa di Lembah Yizreel dan dataran Hefer, mendirikan Federasi Umum Tenaga Kerja (Histadrut), lembaga perwakilan untuk Yishuv (Majelis Terpilih dan Dewan Nasional), mendirikan perusahaan industri pertama, memperluas pemukiman pertanian dan Haganah (organisasi pertahanan Yahudi). Di Periode ini, dari 40.000 orang yang hijrah ke Palestina hanya sedikit yang kembali ke negara asal.
Imigrasi Ke-4 (1924 – 1929) terjadi karena krisis ekonomi dan kebijakan anti-Yahudi di Polandia, bersamaan dengan pembatasan kuota imigrasi oleh AS. Di Periode ini, dari 82.000 orang yang hijrah ke Palestina, tersisa hanya 23,000.
Imigrasi ke-5 (Tahun 1929 – 1939: Jumlah imigrasi Yahudi ke Palestina, tahun 1930: 3.265. Tahun 1931: 3.409. Tahun 1932: 9.553. Tahun 1933: 30.327. Tahun 1934: 42.359. Tahun 1935: 61.854. Tahun 1936: 29.727. Tahun 1937: 9.647. Tahun 1938: 11.773. Tahun 1939: 15.386. Total: 216.131 berasal dari berbagai negara).
Jerman
Partai Nazi (Singkatan dari Nasionalis Sosialis) awalnya adalah gerakan melawan komunisme yang tumbuh dan berkembang pada masa super inflasi 1918-1924. Di tahun 1920, syarat keanggotaan partai adalah hanya dari kalangan ras Jerman murni dan misi partai menjadi lebih rasis, anti-kapitalis, anti-demokrasi, anti-Marxis dan anti-liberal. Gerakan anti Yahudi mendominasi karena dianggap SEBAGAI biangkeladi kehancuran perekonomian Jerman.
Sarah Gordon dalam “Hitler, Germans and the ‘Jewish Question’”, Princeton University Press (1984):
“di Tahun 1871-1933, populasi Yahudi di Jerman tidak lebih dari 1%, namun menguasai bisnis, perdagangan, dan layanan publik dan swasta: Di tahun 1923, dari 161 Bank swasta, 150-nya milik Yahudi. 41% pasar Besi dan 57% pasar lain metal dikuasai Yahudi. Di tahun 1928, 80% anggota papan atas bursa saham adalah Yahudi, di tahun 1933, ketika pembersihan etnis Yahudi, 85% Pialang pasar saham Berlin adalah Yahudi, ¼ Profesor dan dosen adalah Yahudi. Di tahun 1905-06, ¼ mahasiswa kedokteran dan hukum adalah Yahudi. Di tahun 1931, 50% dari 234 Theater di Jerman dan 80% di Berlin adalah Yahudi. Pendapatan perkapita Yahudi Berlin di tahun 1929 adalah 2x dari seluruh penduduk Berlin lainnya”
Penulis Yahudi Edwin Black dalam “The Transfer Agreement”, 1984, hal.58:
‘Di Berlin saja, sekitar 75% pengacara dan hampir dalam jumlah yang sama dokter adalah Yahudi’ [The Reasons Historians Call WWII A ‘Jewish Creation’].
Joe Cortina:
Media Weimar dikontrol hampir secara eksklusif oleh orang Yahudi. 2 surat kabar Jerman terbesar sebelum tahun 1933 berada di tangan Yahudi.. Orang-orang Yahudi ini memiliki monopoli virtual terhadap pers Jerman. Publikasi utama mereka adalah Berliner Tageblatt yang bertahun-tahun dipandang luar negeri sebagai perwakilan opini publik Jerman..Semua editorial, semua kebijakan, semua pemikiran benar-benar berada di bawah kendali Yahudi..Tidak ada ‘orang Yahudi yang menganggur’ di tengah pengangguran massal..Ahli statistik Yahudi, Alfred Marcus , memperkirakan pendapatan rata-rata Yahudi pada tahun 1930 sebagai pendapatan rata-rata 3x lipat dari populasi lainnya.. Pertama, bankir Yahudi, Max Warburg, mewakili Jerman yang jatuh di (perjanjian) Versailles dan berperan penting dalam membentuk Republik Weimar (1919-1933). Hugo Pruess, seorang Yahudi, menulis konstitusi Weimar..antara tahun 1925 dan 1929, 4/6 anggota dewan pengendali direktur Reichsbank (Bank Sentral Jerman) adalah Yahudi termasuk Jakob Goldschmidt dan Rudolf Havenstein (Orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap terjadinya super Inflasi Jerman (1921-1923), setelah kebijakan pencetakan uang, dan terlibat dalam mengenalkan obligasi perang selama perang dunia ke-1: 1914-1948) [Germany Then, America Now: A Talk Between Bro. Nathanael Kapner and Joe Cortina]

Imigrasi Yahudi Jerman dimulai sejak kenaikan Adolf Hitler (30 Januari 1933). Gerakan anti Yahudi Partai Nazi berhasil menggoyahkan sendi perekonomian Para Yahudi, hingga kemudian, para Yahudi bereaksi balik dengan jalur luar negeri mereka, melakukan aksi boykot produk Jerman (berlangsung hingga menjelang perang dunia ke-2). Surat kabar Inggris Daily Express tanggal 24 Maret 1933 menggambarkan aksi ini dengan tajuk utama: “Yudea Menyatakan Perang di Jerman”.
Para petinggi Nazi yang tahu bahwa aksi itu didalangi para “Yahudi asal Jerman”, membuat Menteri Propaganda Joseph Goebbels menyampaikan serangkaian “tindakan penanggulangan tajam” akan dilakukan terhadap para Yahudi Jerman, yang dimulai pada tanggal 1 April 1933, mengumumkan boikot satu hari terhadap bisnis Para Yahudi (termasuk bidang hukum dan kedokteran, melarang Yahudi dalam pelayanan sipil dan praktek hukum, membatasi pendaftaran Yahudi bersekolah di sekolah Jerman, melarang buku-buku karangan kaum Yahudi yang tidak mempunyai semangat Jerman) dan jika aksi tidak berhenti, maka “boikot akan dilanjutkan … sampai Yahudi Jerman dimusnahkan” [Juga lihat: Wikipedia]
Di bulan Juli 1933 diberlakukan “Hukum pencegahan penyakit turunan” (yang mengakibatkan pengkebirian tak terhitung banyaknya jumlah gipsi, gipsi peranakan dan mereka yang kawin dengan gipsi). Di tanggal 15 September 1935 diberlakukan Hukum Nuremberg yang membuat 500.000 Yahudi Jerman dilucuti kewarganegaraannya.
Pengungsi Yahudi Jerman ke Palestina kebanyakan kaum profesional, yang menyebabkan banyak berdiri industri baru. Sejumah 50.000 imigran melakukan perpindahan modal dan orang dari Jerman ke Palestina dengan menggunakan jasa perjanjian Haavara (Mei 1933-1939).
Di tahun 1929, juga antara tahun 1936-1939 terjadi kekerasan kepada kaum Yahudi oleh kaum Arab (Islam dan Kristen) dan Inggris. Dalam rangka menyenangkan kaum Arab, Inggris memberlakukan pembatasan Imigrasi. Pada tahun 1940, pemukiman penduduk Yahudi mencapai 450.000 orang.
Berapa Imigran NON Yahudi yang masuk Palestina?
Menurut laporan tahun 1939:
“Ketika deklarasi Balfour dikeluarkan,..Populasi Yahudi di Palestina berkembang dari 55.000 di tahun 1918 menjadi 450.000 (tahun 1937). Populasi Arab dari 400.000 pada tahun 1920 menjadi sekitar 950.000 (tahun 1937), meningkat lebih dari 50% dalam 17 tahun. Di bawah pemerintahan Turki kependudukan hampir tetap… karena tidak akan ada pembatasan pada imigran Arab, rumah nasional kaum Yahudi menjadi dibanjiri NON Yahudi … 150.000 kaum Yahudi dan sejumlah yang sama dari kaum Arab telah memasuki negara itu sejak itu, dan masih terbentang besar lahan kosong negara yang mempunyai kemampuan berkembang dan menetap dengan populasi yang besar” [Freerepbublic.com: The Jewish Homeland and the Palestine Mandate, Extension of Remarks of Hon. John W. McCormarck of Massachusetts in The House of Representatives, Thursday, July 6, 1939 atau di sini]
Pada 06 – 15 Juli 1938, akibat kebijakan pemerintah Jerman terjadi peningkatan pengungsi Yahudi, sehingga Amerika mengundang sejumlah negara dan organisasi hadir dalam konferensi di Evian, Perancis (Peserta konferensi: 32 negara, 39 organisasi swasta dan 24 organisasi sukarela). Inggris akhirnya bersedia hadir, setelah Amerika sepakat untuk tidak memasukkan Palestina dalam agenda konferensi [“The Holocaus”, Jack Fischelhal, hal.29]. Hitler menanggapi konferensi ini dengan kalimat:
“Saya hanya bisa mengharapkan dan berharap dan bahwa bagian dunia lain yang punya rasa simpati mendalam bagi para penjahat (Yahudi) ini, sekurangnya dapat cukup bermurah hati mengubah rasa simpati ini menjadi bantuan praktis. Kami, pada gilirannya, siap menempatkan semua penjahat ini ke negara-negara pembuangannya, karena kepedulianku, bahkan jika dengan kapal-kapal mewah” [“The Nazi Holocaust”, hal.137]. Di 7 Oktober 1938, Hitler mengeluarkan keputusan Kirstallnatch, dimana, setiap Yahudi yang tidak beremigrasi dari Jerman akan masuk kamp konsentrasi.
Konferensi ini berakhir dengan hasil hanya beberapa negara saja yang mau menerima imigran Yahudi (Di antaranya: Republik Dominika yang bersedia menerima 100.000 orang, Amerika Serikat 30.000/tahun, Australia 15.000 untuk 3 tahun).
Wakil Palestina Yahudi yang hadir dalam konferensi namun tidak diperkenankan berbicara adalah Nyonya Golda Meir (Kelak Perdana Menteri Israel 1969-1974). Ia diundang khusus oleh Presiden Roosevelet. Ia menyampaikan kesedihan dan kemarahannya atas ketidakberdayaan 544.000 Yahudi Jerman dalam kalimat, “Hanya satu harapanku sebelum aku mati, semoga kaumku tidak lagi memerlukan ekspresi simpati” dan kurang dari 10 tahun kemudian, harapannya terwujud, Israel menjadi negara Merdeka.
Bermula dari sebuah janji berupa serpihan kue wilayah eks-Ottoman untuk sebuah rumah nasional bagi kaum Yahudi di Deklarasi Balfour tahun 1917, perlahan namun pasti, kerja keras bangsa ini menuai hasil. [Lihat juga Wikipedia: WZO, Zionist Movement, Jewishvirtuallibrary] [↑]
Deklarasi Balfour, 02 November 1917
Lord Curzon menyampaikan sebuah memorandum berjudul “The future of Palestine”, dihadapan kabinet perang tanggal 26 Oktober 1917:
..dalam buku kuno Palestina terletak antara Dan sampai ke Beersheba, yaitu dari Banias [Dan] sampai ke Bir Saba [Beersheba]. Ini adalah daerah yang lebih kecil dari 10.000 mil²/25.900 km² termasuk 4000 mil²/10.360 km² di SEBELAH TIMUR SUNGAI JORDAN, yaitu sebuah daerah di luar padang pasir, yang tidak lebih luas dari Wales … [yang mana] hanya dapat menampung 2 juta orang.
Menjelang akhir perang dunia ke-1, terdapat sebuah janji dari kerajaan Inggris bahwa akan ada ‘Rumah Nasional bagi kaum Yahudi’. Janji ini tertuang dalam Deklarasi Balfour:
Kantor Kementrian Luar Negeri
2 November 1917
Yang terhormat Lord Rothschild,
Saya dengan bahagia menyampaikan pada anda atas nama Yang mulia Pemerintah, deklarasi rasa simpati berikut pada aspirasi Zionis Yahudi yang telah disampaikan dan disetujui kabinet:
Yang mulia pemerintah mempunyai pandangan menyokong penempatan di Palestina sebagai rumah nasional kaum Yahudi, dan akan memberikan upaya terbaiknya dalam memfasilitasi hasil yang dicapai mengenai ini, Telah sangat dipahami untuk tidak berprasangka pada hak-hak sipil dan religi komunitas non yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hal dan status politik yang dinikmati oleh para Yahudi di negara-negara lainnya..
Saya sangat berterimakasih jika Anda membawa deklarasi ini agar diketahui oleh Federasi Zionis.
Hormat saya,
Arthur James Balfour
Sebagai kelanjutannya,
di Aqaba pada bulan Juni 1918, Faisal bin Ali Bin Ali Pasha melakukan pertemuan dengan Dr. Chaim Weizman (ketua Organisasi Zionis) untuk mempersiapkan sebuah dokumen perjanjian yang diantaranya berisi tentang rumah nasional bagi kaum Yahudi di Palestina. [“A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding of the State of Israel”, Gudrun Krämer, Hal.160].
Pada tanggal 30 September 1918, Pasukan Inggris berhasil mendapatkan vilayet Suriah/Damaskus dari kekhalifahan Turki dan pada tanggal 3 Oktober 1918, Faisal bin Husein bin Ali Pasha juga memasuki Damaskus. Pada tanggal 05 Oktober 1818 (atas ijin Jendral Allenby), Faisal mengumumkan pembentukan sebuah pemerintahan konstitusional Arab di Damaskus [Ch.7 Hal.158] juga di sini] namun tanggal 22 Oltober 1918, Pemerintah Inggris mengeluarkan deklarasi untuk menerapkan kesepakatan Sykes-Picot tahun 1916, Suriah besar dibagi 3 antara Perancis – Inggris. Pembagian ini membuat Inggris memungkinkan untuk dapat memenuhi janji pada pergerakan Zionis yang hendak membangun rumah nasional bagi kaum Yahudi di Palestina namun ini kurang menguntungkan Faisal karena Levant (Suriah Besar) sekarang ada di bawah kuasa Perancis.
Di Paris, 2 minggu sebelum Konferensi Perdamaian (18 Januari 1919), yaitu di tanggal 03 Januari 1919, Faisal dan Weizman bertemu dan menandatangi perjanjian (yang telah dipersiapkan sebelumnya) di Aqaba dan kelak disebut Perjanjian Faisal Ibn Husein Ibn Ali Pasha (Wakil Kerajaan Hijaz) – Chaim Weizmann (Wakil Organisasi Zionisme):
Yang Mulia Amir Faisal, mewakili dan bertindak atas nama Kerajaan Arab Hijaz, dan Dr Chaim WE1ZMANN, mewakili dan bertindak atas nama Organisasi Zionis, menyadari kekerabatan ras dan ikatan masa lalu yang ada di antara kaum arab dan Yahudi, dan menyadari bahwa cara paling pasti dalam melaksanakan aspirasi nasional mereka, adalah melalui kemungkinan terdekat, berkolaborasi dalam pengembangan negara Arab dan Palestina, dan berhasrat lebih lanjut dalam memberikan kepastian akan pemahaman yang baik yang ada di antaranya, telah bersepakat dalam pasal-pasal berikut:
Pasal I
Negara Arab dan Palestina dalam semua hubungan dan upayanya akan dilakukan melalui itikad baik yang paling hangat, saling memahami dan untuk tujuan representatif kaum Arab dan Yahudi yang layak dan diakui harus dibangun dan dipelihara di wilayahnya masing-masing.
Pasal II
Segera setelah selesainya pembahasan Konferensi Perdamaian, batas-batas pasti antara negara Arab dan Palestina akan ditentukan oleh Komisi yang akan disepakati para pihak yang berkepentingan.
Pasal III
Dalam pembentukan konstitusi dan administrasi Palestina semua tindakan harus dilakukan dengan upaya menjamin sepenuhnya pemberlakuan deklarasi Pemerintah Inggris tanggal 2 November 1917.
Pasal IV
Semua tindakan yang diperlukan harus diambil untuk mendorong dan merangsang imigrasi Yahudi ke Palestina dalam jumlah besar, dan secepat mungkin dalam penempatan imigran Yahudi di lokasi melalui pemukiman terdekat dan pembudidayaan intensif tanah. Dalam mengambil langkah-langkah seperti petani Arab dan petani tanah garapan harus dilindungi hak-hak mereka, dan harus dibantu untuk kemajuan perkembangan perekonomian mereka.
Pasal V
Tidak ada aturan dan perundangan yang akan dibuat untuk melarang atau membatasi dalam cara apapun pelaksanaan peribadatan; dan kelanjutan kebebasan beribadah dan profesi keagamaan dan pemujaan yang tanpa diskriminasi atau preferensi harus diperbolehkan untuk selamanya. Tidak ada uji keagamaan harus diperlukan dalam pelaksanaan hak-hak sipil dan politik.
Pasal VI
Tempat-tempat suci kaum Muslim harus berada di bawah kontrol kaum Muslim.
Pasal VII
Organisasi Zionis menawarkan untuk pengiriman ke Palestina sebuah komisi para ahli untuk membuat survei kemungkinan perekonomian negara, dan memberikan laporan terbaiknya untuk perkembangannya. Organisasi Zionis akan menempatkan komisi tersebut untuk penyelesaian negara Arab untuk tujuan survei kemungkinan perekonomian negara Arab dan dan memberikan laporan terbaiknya untuk perkembangannya. Organisasi Zionis akan berupaya dengan sepenuhnya membantu negara Arab dalam penyediaan sarana untuk mengembangkan sumber daya alam dan kemungkinan perekonomian dimaksud.
Pasal VIII
Para pihak dengan ini sepakat untuk bertindak dalam penyelesaian yang selaras dan harmoni yang mencakup segala hal di dalamnya sebelum Kongres Perdamaian.
Pasal IX
Segala perselisihan yang mungkin ada di antara para pihak yang bersepakat akan merujuk pada Pemerintah Inggris sebagai penengah.
Demikian kami sampaikan di LONDON, INGGRIS, hari KETIGA dari Januari, SERIBU SEMBILAN RATUS SEMBILAN BELAS.
(tandatangan) FAISAL IBN HUSAIN (dalam bahasa Arab)
(tandatangan) CHAIM WEIZMANN
Terdapat catatan Faisal yang ditulis tangan dalam bahasa Arab:
Asalkan Arab memperoleh kemerdekaan mereka seperti yang diminta dalam Memorandum saya tertanggal 4 Januari 1919, pada Departemen Luar Negeri Pemerintah Inggris, saya akan setuju dengan pasal-pasal di atas. Tetapi jika sedikit modifikasi atau pengabaian (?) dibuat [yaitu: dalam kaitannya dengan tuntutan di Memorandum] saya tidak terikat oleh satu kata dari kesepakatan ini yang mana akan dianggap batal dan tidak ada pertanggungan atau keabsahannya, dan Saya tidak akan menjawab dalam cara apapun. [Sumber: Unispal.UN.org]
Memperhatikan tanggal tandatangan perjanjian (3 Januari 1919) vs tanggal yang dicantumkan Faisal dengan memorandumnya ke Deplu Inggris (4 Januari 1919), tampak jelas bahwa tulisan tangan Faisal ditulis jauh waktu kemudian, yaitu setelah Februari 1919, ketika Asosiasi Muslim-Kristen Nablus (Balqa, Vilayet di bawah Beirut), memberikan wewenang pada Faisal untuk mewakili mereka di Konferensi Perdamaian yaitu hanya wewenang untuk tuntutan otonomi kaum Palestina di dalam Suriah sebagai sebuah negara Arab merdeka.Wewenang itu diberikan kepada Faisal karena Inggris menolak ijin sebuah delegasi Palestina yang hendak pergi ke Konferensi perdamaian di Paris. [Lihat catatan kaki No.34, “A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding of the State of Israel”, Gudrun Krämer, Hal.161] atau bisa jadi tulisan tangan Faisal ditulis setelah pemberian Mandat untuk Inggris dan Perancis (Desember 1922) untuk mengelola Vilayet Suriah, karena saat itu, Balqa masuk wilayah Inggris.
Sampai sejauh ini, maka dapat kita pastikan bahwa kaum Arab juga telah tahu, telah melakukan pembicaraan dan telah mengijinkan sendiri bahwa kelak di sebuah area eks-ottoman Turki akan ada daerah yang diperuntukan untuk porsi sebuah NEGARA KAUM YAHUDI
Liga Bangsa-Bangsa dan Perjanjian Liga Bangsa-Bangsa tentang Eks-Ottonom Turki
Di bulan Maret 1917, armada laut Jerman menenggelamkan beberapa armada laut Amerika sehingga pada tanggal 04 April 1917, Amerika mengumumkan perang terhadap Jerman. Walaupun Amerika tidak terkait perjanjian formal dengan Perancis dan Inggris sebagai sekutu, namun mereka terkait dalam operasi militer dan di bulan Agustus, 1917, 1 juta pasukan perang Amerika tiba di perbatasan Perancis.
Di September 1917, Presiden Amerika ke-28, Woodrow Wilson menyiapkan serangkaian penelitian yang dinamakan “the Inquiry”. Penelitian ini dilakukan oleh 150 akademisi yang berfokus tentang Eropa dan dirumuskan dalam 14 Poin, yaitu: diplomasi, kebebasan navigasi di samudera bebas, penyelesaian klaim kolonial (untuk wilayah eks-Ottoman Turki ada di.point no.12, yaitu porsi Turki haruslah berdaulat, daerah-daerah yang dulu ada agar dijamin keamanan, kesempatan hidup, tidak diganggu perkembangan otonominya), perjanjian terbuka, perdagangan bebas, demokrasi, penentuan nasib sendiri dan perlunya pembentukan liga negara-negara untuk menjamin kemerdekaan dan integritas teritorial semua bangsa. Ke-14 poin ini diterjemahkan ke banyak bahasa dan disebarkan ke seluruh dunia dan ini menginspirasikan banyak gerakan kemerdekaan di seluruh dunia.
Pada tanggal 08 Januari 1918, di hadapan kongres Amerika, Woodrow Wilson menyampaikan pidato tentang 14 poin tersebut, juga tujuan umum dan personal para negara yang terlibat berperang pada dan pasca berakhirnya perang dunia ke-1. Salinan pidato tersebut disebarluaskan SEKUTU sebagai alat propaganda dan dijatuhkan di garis belakang pertahanan Jerman. 10 bulan kemudian, 11 November 1918, kanselir Jerman meminta gencatan senjata dan negosiasi perdamaian dengan menggunakan dasar 14 poin tersebut.
Konferensi Perdamaian, 18 Januari 1919
Konferensi diselenggarakan di Paris, yang dihadiri 27 negara (Termasuk Amerika dan juga perwakilan Raja Hijaz), hasil diantanya berupa draft final Perjanjian Liga Bangsa-Bangsa, di tanggal 25 Januari 1919 dan menjadi bagian pada Perjanjian Versailles, yang diadakan di Perancis (28 Juni 1819 dan efektif berlaku mulai 10 Januari 1920. Isinya: menyangkut persoalan Jerman).
Walaupun pada perjanjian Versailles tidak ada pasal-pasal yang menyangkut permasalahan penugasan dan/atau tapal batas untuk area eks-Ottoman Turki (Vilayet Suriah dan Arabia), namun terlampir Peta Mandat Arabia 1920 (Dikerjakan oleh Kolonel Lawrence Martin: berupa tapal batas batas mandat dan area untuk Irak, Suriah besar (Utara) dan Suriah Selatan (Trans-Jordan dan Palestina), Hijaz, Asir, Yemen Aden, Najd dan Hasa).
Tanggal 16 Januari 1920, Di Paris, berlangsung Sidang perdana Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan yang terkait dengan permasalahan daerah eks Ottoman Turki tercantum dalam PASAL 22 PERJANJIAN LIGA BANGSA-BANGSA, yaitu:
“Keberadaan koloni-koloni dan wilayah-wilayah sebagai sebuah konsekuensi dari perang sebelumnya tidak lagi di bawah kedaulatan negara-negara yang sebelumnya memerintah mereka dan di mana para penduduknya masih belum mampu berdikari di bawah kondisi berat dunia modern, akan diterapkan prinsip bahwa kesejahteraan dan perkembangan masyarakat tersebut merupakan sebuah warisan suci peradaban dan bahwa jaminan pelaksanaan warisan ini sebaiknya diwujudkan dalam pakta ini
Metode terbaik dalam memberikan hasil praktis pada prinsip ini adalah bahwa pengawasan pada masyarakat tersebut sebaiknya dipercayakan pada negara-negara maju yang karena alasan sumber daya, pengalaman atau posisi geografis mereka dapat dengan baik untuk mengemban tanggung jawab ini, dan bagi yang bersedia menerimanya, dan bahwa pengawasan ini sebaiknya dilaksanakan mereka sebagai penerima mandat atas nama liga bangsa-bangsa.
Sifat mandat harus berbeda disesuaikan dengan tahap perkembangan masyarakat, situasi wilayah geografis, kondisi perekonomian dan keadaan lainnya yang sejenis. Komunitas-komunitas tertentu yang dulunya milik Kekhalifahan Turki yang telah berada pada suatu tahap perkembangan di mana keberadaannya seperti negara-negara merdeka dapat sementara diakui mengacu pada pemberian saran administrasi dan bantuan dari penerima mandat hingga saatnya mereka mampu berdikari. Harapan-harapan para komunitas ini harus menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan oleh penerima mandat.
[…]
Dalam setiap kasus mandat, penerima mandat wajib menyampaikan kepada dewan sebuah laporan tahunan yang berkaitan dengan wilayah yang diembannya.
Level otoritas, kontrol, atau administrasi yang diterapkan penerima Mandat harus, jika sebelumnya tidak disepakati oleh para Anggota liga bangsa-bangsa, didefinisikan secara jelas tiap kasusnya dihadapan Dewan.
Sebuah komisi tetap harus dibentuk untuk menerima dan memeriksa laporan tahunan para penerima mandat dan untuk memberikan saran kepada Dewan pada segala hal yang berkaitan dengan ketaatan pada mandat
Pertemuan London
Di London, tanggal 12-24 Februari 1920, negara Inggris, Prancis, dan Italia bertemu untuk membahas partisi eks-Kekaisaran Ottoman Turki yang diteruskan dengan konferensi San Remo, Italia (24-26 April 1920) dan terkait dengan perjanjian yang dibuat dengan Turki di Sèvres, Perancis, tanggal 10 Agustus 1920 namun perjanjian Sèvres ini TIDAK PERNAH di ADOPSI dan digantikan perjanjian LAUSANNE (24 Juli 1923: Pasal 3 menyatakan tapal batas Turki-Suriah disebutkan dalam pasal 8 Perjanjian Franco-Turki, 20 Oktober 1921. Perjanjian ini tidak terkait masalah Palestina).
Konferensi San Remo, Itali, 24-26 April 1920
Minyak telah menjadi kepentingan dan perhatian utama negara-negara blok sentral dan juga Sekutu. Sebelum perang, yaitu tahun 1912, dalam tujuan memperoleh konsensi kekhalifahan Ottoman untuk mengeksplorasi minyak di Mesopotamia (kelak menjadi Irak), dibentuklah Turki Petroleum Company (TPC), yang sahamnya dipunyai: 25% (Deutsche Bank, Jeman), 25% (Anglo Saxon Oil Company, anak perusahaan minyak patungan Inggris-belanda: Royal Dutch/ Shell), 35% (Bank Nasional Turki, pemegang saham terbesarnya Calouste Gulbenkian, pengusaha Armenia kelahiran Turki-Armenia, namun dibawah kontrol Inggris) dan 15% milik Calouste Gulbenkian). Pemerintah Inggris, mengendalikan TPC setelah membeli 51% saham TPC sebesar £ 2.2 juta di 17 Juni 1914 dan 11 hari kemudian pecahlah perang dunia ke-1.
Ketika Sekutu menghancurkan fasilitas minyak di Rumania pada November 1916, Jerman mengalami kekurangan pasokan minyak dan menghambat kemampuan mereka dalam memproduksi pesawat, mobil, dan mesin. Sekutu mengambil keuntungan ini dengan memproduksi ribuan kendaraan untuk membantu upaya perang mereka, ditambah lagi ketika sekutu berhasil mencegah ladang minyak Baku Rusia jatuh ke tangan Jerman di bulan Agustus tahun 1918, perang akhirnya tidak berkelanjutan.
Permasalahan minyak selama Perang Dunia I. menjadi jawaban jelas bahwa minyak akan menjadi sumber daya penting dalam peperangan di masa mendatang.
Setelah kekhalifahan Ottoman berantakan pasca perang, permasalahan kepemilikan saham di TPC menjadi isu utama pada konferensi 1920 San Remo karena salah satu mitra asli TPC adalah Jerman (Deutsche Bank) sehingga Perancis menuntut saham Jerman di TPC sebagai rampasan perang. Hal ini disetujui dalam perjanjian MINYAK Anglo-Perancis, di San Remo, dimana Perancis mendapatkan 25% saham serta persyaratan transportasi MINYAK yang menguntungkan dengan imbalan daerah Mosul menjadi wilayah mandat Inggris di Irak.
Maka, ketika di bukan Juli 1919, Kongres Umum Suriah di Damaskus menyerukan Sekutu untuk memberikan pengakuan kemerdekaan Suriah, termasuk Palestina, dengan Faisal sebagai rajanya jelas tidak sejalan dengan implementasi persetujuan Sykes-Picot 1916, yang setelah Suriah besar terbagi 3, Perancislah yang berwenang terhadap levant dan kemudian mendirikan pemerintahan di Suriah/Levant, mengangkat Henri Gouraud sebagai wakil Pemerintah Perancis di Timur Tengah dan juga komandan tentara yang berpusat di Suriah. [di sini].
Kemudian di Deauville, tanggal di September 1919, melalui perjanjian Anglo-France tahun 1919, Inggris menarik mundur pasukannya dari Suriah (kecuali Palestina). Kejadian ini mengundang protes Faisal pada Inggris yang kemudian mengundangnya ke Eropa untuk menegosiasikannya sendiri dengan PM Perancis, Clemenceau.
Pada tanggal 6 Januari 1920, Faisal dan Clemenceau menandatangani perjanjian yang berisi “hak Suriah untuk bersatu untuk memerintah sendiri sebagai bangsa yang merdeka”, namun kemudian pemerintahan Clemenceau turun digantikan pemerintahan yang lebih keras dan juga terjadi gerakan yang dipimpin Kemal Ataturk yang mengancam posisi Perancis di Sisilia, hal ini kemudian membuat Perancis harus berfokus kepada permasalahan baru sebelum dapat merealisasikan janjinya pada Faisal
Namun kemudian,
di tanggal 7 Maret 1920, Kongres Nasional Suriah secara sepihak memproklamirkan kemerdekaan kerajaan Arab Suriah, menjadikan Faisal bin Husein Ali Pasha sebagai rajanya dan perwakilan Irak mengumumkan hal serupa, yaitu kemerdekaan kerajaan dan Abdullah sebagai rajanya. Dewan Liga Bangsa-Bangsa menolak kedua pernyataan ini dan konferensi San Remo di bulan April 1920, LBB telah menunjuk Perancis sebagai penerima mandat untuk Suriah.
Tentara Perancis menduduki Damaskus pada bulan Juli 1920, memberikan ultimatum pada Faisal untuk menarik diri dari Suriah, terjadi perang antara Perancis dan Suriah yang puncaknya di pertempuran Maysalun (24 Juli 1920), Perancis menang, kerajaan Arab Suriah dibubarkan, Faisal diusir dari Suriah dan tinggal dalam pengasingan di Inggris namun di tahun berikutnya, Ia dijadikan Raja Irak oleh Inggris.
Ringkasan Minute Meeting Konferensi di San Remo, 24-26 April 1920:
Disepakati –
(a) Menerima ketentuan Mandat pasal yang tertulis di bawah ini yang mengacu pada Palestina, dengan pengertian bahwa telah disisipkan proses verbal pelaksanaan oleh penguasa Mandat bahwa ini tidak akan melibatkan penyerahan hak-hak yang melekat pada komunitas non-Yahudi di Palestina; Pelaksanaan ini tidak mengacu pada permasalahan agama yang dilindungi Perancis, yang telah diselesaikan pada sore sebelumnya oleh pelaksanaan yang diberikan pemerintah Perancis bahwa mereka mengakui perlindungan ini telah berakhir.
(b) Bahwa ketentuan Pasal Mandat-mandat adalah sebagai berikut:
Para pihak agung dalam perjanjian sepakat bahwa Suriah (Note: Vilayet Syria) dan Mesopotamia (Note: kelak disebut Irak), sesuai dengan alinea keempat Pasal 22, Bagian I (Perjanjian Liga Bangsa-Bangsa), diakui sementara sebagai negara merdeka mengacu pada pemberian saran administrasi dan bantuan dari pemegang mandat hingga saatnya mereka mampu berdikari. Tapal batas negara-negara tersebut akan ditentukan dan pemilihan penerima mandat akan dilakukan oleh negara-negara aliansi utama.
Para pihak Agung setuju untuk mempercayakan, dengan menerapkan ketentuan Pasal 22, Administrasi Palestina, dalam tapal batas yang akan ditentukan oleh negara-negara aliansi utama, kepada penerima mandat, yang akan dipilih oleh negara aliansi dimaksud. Penerima mandat akan bertanggung jawab terwujudnya deklarasi yang aslinya dibuat tanggal 8 (Note: harusnya tanggal 2 November 1917), oleh Pemerintah Inggris, dan diadopsi oleh negara aliansi lainnya, yang membantu pendirian di Palestina sebuah rumah nasional bagi kaum Yahudi, Telah sangat dipahami untuk tidak berprasangka pada hak-hak sipil dan religi komunitas non yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh para Yahudi di negara-negara lainnya.
Penerima Mandat menyanggupi untuk menunjuk dalam waktu singkat komisi khusus untuk mempelajari setiap permasalahan dan pertanyaan berkenaan dengan komunitas agama yang berbeda dan aturannya. Komposisi komisi ini akan mencerminkan keragaman agama yang ada. Presiden komisi akan ditunjuk oleh Dewan Liga Bangsa-Bangsa
Persyaratan mandat sehubungan dengan wilayah di atas akan dirumuskan oleh negara aliansi utama dan disampaikan kepada Dewan Liga Bangsa-Bangsa untuk persetujuannya.
Turki dengan ini, sesuai dengan ketentuan Pasal [132 dari Perjanjian Sèvres] menerima keputusan apapun yang mungkin diambil sehubungan dengan hal ini.
(c) Penerima mandat yang dipilih oleh negara aliansi utama adalah: Perancis untuk Suriah dan Inggris untuk Mesopotamia (Note: tidak berlaku dan digantikan perjanjian Anglo-Irak, 10 Oktober 1922), dan Palestina.
Dengan mengacu keputusan Majelis Agung di atas mencatat hal berikut dari delegasi Italia:
Delegasi Italia, dengan mempertimbangkan pada kepentingan perekonomian bahwa Italia sebagai pemilik kekuasaan khusus area Mediterania di Asia kecil, mencatatkan persetujuannya pada resolusi ini sampai pada penyelesaian kepentingan Itali di Turki di Asia.
[Lihat ringkasan teks Inggris: di sini atau di sini (Persyaratan Mandat juga dibahas dengan Amerika Serikat yang bukan anggota Liga. Teks yang disepakati dikeluarkan oleh Dewan Liga Bangsa-Bangsa tanggal 24 Juli 1922, dan mulai beroperasi pada September 1923). Minute meeting panjangnya: di sini]
Perjanjian Sevres, 10 Agustus 1920
Pada bagian II, Pasal 27 mengenai perbatasan Turki-Suriah dan Irak sebagaimana tergambar dalam Peta perjanjian Sevres, yang ilustrasinya disusun Kolonel Lawrence Martin. Di perjanjian ini yang berhubungan dengan permasalahan Palestina tercantum di Pasal 95 yaitu tentang pendirian di Palestina sebuah rumah nasional bagi kaum Yahudi dan Pasal 132 tentang pelepasan hak Turki atas segala hak dan klaim wilayah di luar Eropa.
Pasal 95
Para pihak Agung setuju untuk mempercayakan, dengan menerapkan ketentuan Pasal 22, Administrasi Palestina, dalam tapal batas yang akan ditentukan oleh negara-negara aliansi utama, kepada penerima mandat, yang akan dipilih oleh negara aliansi dimaksud. Penerima mandat akan bertanggung jawab terwujudnya deklarasi yang aslinya dibuat tanggal 8 (note: harusnya tanggal 2 November 1917), oleh Pemerintah Inggris, dan diadopsi oleh negara aliansi lainnya, yang membantu pendirian di Palestina sebuah rumah nasional bagi kaum Yahudi, Telah sangat dipahami untuk tidak berprasangka pada hak-hak sipil dan religi komunitas non yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hal dan status politik yang dinikmati oleh para Yahudi di negara-negara lainnya.
Penerima Mandat menyanggupi untuk menunjuk dalam waktu singkat Komisi khusus untuk mempelajari setiap permasalahan dan pertanyaan berkenaan dengan komunitas agama yang berbeda dan aturannya. Komposisi komisi ini akan mencerminkan keragaman agama yang ada. Presiden komisi akan ditunjuk oleh Dewan Liga Bangsa-Bangsa
Pasal 132
Di luar tapal batas yang telah ditetapkan sebagai Turki, Turki dengan ini melepaskan demi kemaslahatan aliansi negara utama segala hak dan gelar yang mungkin dapat diklaimnya atas dasar apapun atau berkenaan dengan wilayah apapun di luar Eropa yang tidak atau kecuali jika diatur dalam perjanjian ini.
Turki berjanji akan mengakui dan selaras dengan langkah-langkah yang mungkin saat ini atau dimasa depan diambil oleh aliansi negara utama dalam perjanjian yang melibatkan pihak ketiga, dalam rangka untuk membuat berjalannya ketentuan di atas
Perancis sebagai penerima Mandat disebut Mandat Perancis, sedangkan dokumen yang diterima Perancis tentang Suriah disebut Mandat tentang Suriah (29 September 1923 – 1 Januari 1944), yaitu pengelolaan eks wilayah Ottoman Turki: Sebagian wilayah Mesopotamia (perbatasan: Utara dengan Turki dan Selatan: Irak) dan Vilayet Suriah bagian Utara (Vilayet: Aleppo, Zor, Damaskus, Sebagian Hauran, Libanon dan Beirut).
Di kemudian hari, area itu menjadi dua negara, yaitu negara: Libanon (Libanon dan Beirut) dan Suriah (Sebagian Mesopotamia, Aleppo, Zor, Damaskus dan sebagian Hauran).
Inggris sebagai penerima Mandat disebut Mandat Inggris, sedangkan dokumen yang diterima Inggris tentang Palestina sebagai rumah nasional bagi kaum Yahudi disebut Mandat tentang Palestina (29 September 1923 -. 15 Mei 1948), yaitu pengelolaan eks wilayah Ottoman Turki: Vilayet Suriah bagian Selatan yang meliputi Vilayet: Acre, Balqa (Nablus), Jerusalem, Ma’an, sebagian Hauran dan Aqaba.
Seluruh area bagian Selatan ini awalnya diperuntukkan bagi rumah nasional kaum Yahudi. Besarnya area ini jika di ukur dari jaman sekarang adalah Yordania + Israel + Palestina.
Mandat untuk Palestina (Rumah Nasional bagi kaum Yahudi), 24 Juli 1922
Batasan wilayah dan draft awal mandat untuk Palestina, pertama kali disampaikan Balfour di tanggal 06 Desember 1920. Dalam draft tersebut, batas-batas wilayah versi usulan Cham Weizmann di tahun 1919 mengalami modifikasi, yaitu:
Wilayah Vilayet Suriah dipotong untuk bagian mandat Perancis, di bagian barat sungai Jordan, diperluas lagi ke barat hingga perbatasan Vilayet Syiria dan Najd. Di bagian perbatasan dengan Mesir dikurangi bukan lagi Al-Asir sebagai batas namun sanjak Gaza yang menjadi batas.
Besaran wilayah untuk “rumah nasional bagi kaum Yahudi di Palestina” menurut usulan Weizmann (batasan garis biru peta di atas, adalah di SEBELAH TIMUR sungai JORDAN sampai sebelum JALUR REL KERETA API) memang lebih besar dari wilayah negara Israel saat ini, namun ketika usulan itu di modifikasi, maka ukurannya menjadi lebih besar lagi (batasan garis hitam peta di atas) yang meliputi wilayah Timur dan Barat sungai Jordan yang berbatasan dengan Najd, yaitu seluas 43,075 mil²/111,550 Km² (32,640 mil²/84,530 km² + 10,435 mil²/27,020 km²)!
Balfour memang tidak berencana memotong rumah nasional kaum Yahudi di Palestina dengan Trans-Jordan namun putusan Liga Bangsa-bangsa menyepakati bahwa rumah nasional kaum Yahudi hanyalah: Transjordan + Sanjak: Yerusalem + Nablus (Balqa) + Acre dan area lainnya adalah untuk kaum Arab.
Deklarasi Balfour adalah jelas menyatakan bahwa rumah nasional bagi kaum Yahudi juga termasuk Transjordan, sebagaimana disampaikan beberapa orang, misal:
Pernyataan Leopold Stennett Armery di tanggal 22 Mei 1939, yang saat itu menjabat sebagai asisten sekretaris kabinet perang dan drafter kedua terakhir untuk deklarasi Balfour:
“..Dari penyelesaian akhir 1922, saya hanya hendak mengatakan bahwa itu menandai skala drastis penurunan harapan kaum Yahudi. Itu dimulai dengan mengambil dari Palestina yang lebih besar..yaitu Trans-jordan. Itu adalah partisi pertama. Hal itu juga memberikan penegasan kepada kaum Yahudi bahwa Palestina akan menjadi Negara Yahudi atau negara kaum Yahudi yang dalam artian Negara Inggris adalah orang Inggris..” [“The Legal Foundation and Borders of Israel Under International Law: A Treatise on Jewish Sovereignty Over the Land of Israel, Howard Grief, hal.354]
“..Dari yang saya ingat, pastinya saat kabinet memutuskan Deklarasi Balfour, Mereka menganggap Transjordan bagian dalam Palestina..” [Leopold Stennett Armery, di hadapan komisi penyelidikan Anglo-American, 30 Juni 1946, lihat: Horward Grief, Hal.354]
Cham Weizmann, seorang yang terlibat langsung dalam Deklarasi Balfour menyatakannya dalam sesi Komisi Tinggi Palestina tanggal 25 November 1936:
“..Ketika Deklarasi Balfour telah di buat dan berlalu hampir 5 tahun sesudahnya, ketika itu telah mulai berjalan, Transjordan adalah bagian dan paket dari Palestina..” [Horward Grief. Hal.355]
Senator Vermont, Warrent R. Austin, yang yang dikirim tidak resmi dalam kunjungan kesenatorannya di musim Panas tahun 1936 sehubungan dengan diadakannya penyelidikan oleh Komisi Tinggi Palestina menyatakan:
“..Lihat di Transjordan. Dalam hukum tidak ada mengecualikan orang Yahudi, namun dalam kenyataannya, kaum Yahudi, tidak diperbolehkan di sana, padahal, Transjordan dijanjikan baik kepada kaum Arab dan Yahudi, dan Pemerintah Inggris, mencadangkannya hanya untuk kaum Arab..Secara politik, Kami kaum Yahudi merasa, bahwa sebagian diri kami dipisahkan ketika Transjordan di potong dari Palestina…” [Horward Grief. Hal.356]
Bahkan Raja Jordania saat itu, yaitu Abdullah ibn Husein Ali Pasha tahu pasti bahwa Transjordan termasuk dalam deklarasi Balfour, sebagaimana disampaikannya dalam memoarnya:
“..Allah memberikanku kesuksesan dalam menciptakan pemerintahan Transjordan dengan mendapatkan itu dipisahkan dari deklarasi Balfaour yang mana itu termasuk di dalamnya..” [Horward Grief. Hal.357]
Jadi, sampai sejauh ini, dapat kita pastikan bahwa kaum Arab-pun TELAH TAHU dan MENGAKUI bahwa ADA batas-batas yang DIPERUNTUKKAN untuk rumah nasional kaum Yahudi
Kemudian,
Winston Churchill dalam White Paper, tanggal 3 Juni 1922 menyampaikan ada daerah yang tidak termasuk dalam mandat untuk Palestina:
Dengan bersandar pada konstitusi yang sekarang dimaksudkan untuk pembangunan di Palestina, draft yang telah diterbitkan, diinginkan untuk memperjelas poin-poin tertentu. Yang pertama, Itu tidak pernah terjadi, seperti yang telah digambarkan oleh Delegasi Arab, bahwa selama perang Yang mulia Pemerintah memberikan suatu pelaksanaan bahwa pemerintah nasional yang independen harus segera dibentuk di Palestina. Gambaran ini terutama didasarkan pada surat tertanggal 24 Oktober 1915, dari Sir Henry McMahon, Yang Mulia Komisaris Tinggi di Mesir, dengan Sharif Mekkah, sekarang Raja Husein dari Kerajaan Hijaz. Surat itu dikutip sebagai yang diperjanjikan kepada Sherif Mekkah untuk mengakui dan mendukung kemerdekaan Arab dalam wilayah yang diusulkannya. NAMUN janji ini diberikan tunduk dengan pengecualian yang disampaikan di dalam surat yang sama, yang mana dikecualikan dari lingkup, antar wilayah lain, bagian-bagian dari Suriah yang terletak di sebelah barat distrik Damaskus. Pengecualian ini SELALU DIANGGAP Yang mulia Pemerintah sebagai termasuk Vilayet Beirut dan Sanjak independen Yerusalem. Seluruh Palestina sebelah barat sungai Yordan dengan demikian dikeluarkan dari janji Sir H. McMahon.
Tulisan Churchill malah menyatakan bahwa Palestina bagian barat sungai Jordan tidak termasuk, NAMUN Palestina bagian Timur sungai Jordan dianggap termasuk dalam lingkup yang diperjanjikan kepada Sharif Mekah.
Mengapa Inggris perlu merevisi janjinya ini? Sekurangnya ada 2 alasan:
- Ketersediaan pasokan minyak untuk keperluan Industri dan perekonomian yang lokasinya ada di negara-negara kaum Arab dan terlebih lagi, Inggris sendiri masih terhimpit hutang ke Amerika sebesar US$ 4M (tahun 1917-1918) akibat perang dunia ke-1, sehingga menenangkan warga Arab adalah konsekuensi logis mengamankan surplus keuangan di area koloninya.
- Di saat yang bersamaan, Abdullah mengorganisir perlawanan terhadap Prancis di Suriah, membangkitkan kemarahan Perancis dan kekhawatiran Inggris. Dengan merakit kekuatan campuran sekitar 2.000 suku, Ia pindah dari Mekah ke Utara, berhenti di Amman di bulan Maret 1920. Pada bulan Oktober, komisaris tinggi Inggris untuk Palestina bertemu syekh untuk membahas masa depan wilayah ini yang keamanannya terancam serbuan sekte Wahhabi area Najd di Semenanjung Arab. Menjadi jelas bagi Inggris bahwa Abdullah, yang tinggal di Amman, diterima sebagai penguasa oleh suku-suku Badui dan itu akan mencegahnya melibatkan diri di Suriah.
Pada bulan Maret 1921, Winston Churchill, sekretaris kolonial Inggris, mengadakan konferensi tingkat tinggi di Kairo mengenai kebijakan di Timur Tengah dan hasilnya Inggris diberi Mandat untuk wilayah Palestina sepanjang garis Sungai Yordan-Teluk Aqaba. Di bagian Timur bagian – yang disebut Yordan – yang akan diberikan untuk administrasi pemerintahan Arab terpisah yang beroperasi di bawah pengawasan umum komisaris untuk Palestina, dengan Abdullah sebagai Rajanya. Pada pertemuan lanjutan di Yerusalem yang dihadiri Churchill, Komisaris Tinggi Herbert Samuel, dan Lawrence, Abdullah setuju meninggalkan urusan Suriah dengan imbalan kerajaan yang ditunjang oleh Inggris
Pada bulan September 1922, memorandum pemerintah Inggris disetujui Dewan Liga Bangsa-Bangsa, yang secara khusus mengecualikan pemukiman Yahudi dari area Transjordan dari Mandat Palestina. Seluruh proses ini bertujuan untuk memuaskan janji masa perang dibuat untuk orang-orang Arab dan pada melaksanakan tanggung jawab Inggris di bawah mandat. [note: 3 Alinea di atas, diterjemahkan dari A Country Study: Jordan, Ch.1, “World War I: Diplomacy and Intrique“, Mark Lewis]
Namun pada akhirnya,
Mandat tentang rumah nasional bagi kaum Yahudi terbelah lagi melalui memorandum Yordania oleh Inggris, menjadi:
- ±24%-nya (10,435 mil²/27,020 km²), yaitu area-area yang berada di sebelah Timur sungai Jordan: sebagian kecil Aqaba, sebagian kecil Maan, Jerusalem, Balqa (Nablus) dan Acre. Area ini kemudian disebut sebagai Mandat untuk rumah nasional bagi kaum Yahudi (atau mandat untuk Palestina) (baru). Di kemudian hari, Area ini masih terbagi lagi menjadi: Negara Israel dan negara Palestina.
- ±76%-nya (32,640 mil²/84,530 km² ), yaitu area-area yang berada di sebelah Barat sungai Jordan: sebagian besar Aqaba, sebagian besar Maan, sebagian Hauran, sebagian Damaskus dan tambahan dari perbatasan Najd-Transjordan dan Najd – Irak. Area ini kemudian disebut sebagai Transjordania atau kelak menjadi negara Yordania
Draft revisi mandat untuk Palestina diajukan ke Liga Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1921 dengan menggunakan pasal 25 sebagai dasar untuk memecah mandat untuk Palestina. Mandat untuk Palestina ditandatangani liga bangsa-bangsa pada 24 Juli 1922. [Wikipedia: Sicker, Martin (1999). Reshaping Palestine: From Muhammad Ali to the British Mandate, 1831-1922. hal. 163–165].
Dokumen mandat diawali dengan pembukaan bahwa ini dalam rangka pelaksanaan pasal 22 perjanjian Liga Bangsa-Bangsa dan juga perjanjian Balfour tanggal 2 November 1917 yang juga diadopsi negara aliansi tentang pembentukan di Palestina rumah nasional bagi kaum Yahudi serta menunjuk Inggris sebagai penerima Mandat untuk Palestina dan diatur dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 2.
Penerima Mandat bertanggung jawab dalam menempatkan negara dalam kondisi politik, administratif dan ekonomi yang akan menjamin berdirinya tanah air Yahudi, sebagaimana ditetapkan dalam pembukaan, dan mengembangkan institusi pemerintahan sendiri, dan juga menjaga hak sipil dan keagamaan seluruh penduduk Palestina, terlepas dari ras dan agama.
..
Pasal 25.
Di wilayah yang membentang antara sungai Yordan dan batas timur Palestina ditentukan sebagai akhirnya, Penerima mandat berhak, dengan persetujuan dari Dewan Liga Bangsa-Bangsa, untuk menunda atau menahan penerapan ketentuan-ketentuan mandat karena mempertimbangkan tidak bisa diterapkan pada kondisi lokal yang ada, dan membuat ketentuan untuk administrasi wilayah karena mempertimbangkan sesuai pada kondisi tersebut, asalkan tidak ada tindakan yang tidak konsisten dengan ketentuan-ketentuan Pasal 15, 16 dan 18.
..
DIBUAT DI LONDON hari dua puluh empat Juli, 1922. [Teks lengkap Inggris lihat: di sini]

Memorandum Inggris tentang Trans-Jordania, 16 September 1922
Pada bulan Maret 1921, Winston Churchill, mengadakan konferensi tingkat tinggi di Kairo untuk mempertimbangkan kebijakan Timur Tengah yang salah satu keputusannya adalah memperkecil wilayah mandat untuk Palestina melalui penerapan pasal 25, yaitu mulai dari sepanjang garis sungai Yordan – Teluk Aqaba.
Bagian Timur Sungai Jordan tidak lagi menjadi bagian Mandat untuk Palestina namun disebut Trans-Yordan, untuk menjadi sebuah negara Arab terpisah dari pengawasan Komisaris Umum untuk Palestina serta menunjuk Abdullah sebagai Raja. [Lihat juga: “Israel, History in a Nutshell”, Hela Crown-Tamir, hal.64, “King Abdullah, Britain and the Making of Jordan”, Mary Christina Wilson, hal.51,dan U.S. Library of Congress]:
2. Melakukan ketentuan pasal ini (Pasal 25 Mandat untuk Palestina),
Yang Mulia Pemerintah mengundang Dewan untuk meluluskan resolusi berikut:
“Ketentuan berikut dari Mandat untuk Palestina tidak berlaku untuk wilayah yang dikenal sebagai Yordan, yang terdiri dari semua wilayah terbentang pada garis sebelah Timur yang ditarik mulai dari titik dua mil sebelah barat kota Aqaba di Teluk dari nama yang sama sampai di pusat Wadi Araba, Laut Mati dan sungai Yordan ke pertemuan dengan sungai Yarmuk: sampai di tengah sungai yang berbatasan dengan Suriah.” [unispal.un.org]
Setelah memorandum ini, resmilah wilayah rumah nasional bagi kaum Yahudi menjadi terpotong ±76% dan pemukiman Yahudi tidak boleh ada di Transjordan. Pada 2 November 1925, Inggris menyampaikan batas tambahan Transjordan, yang berasal dari Pasal 1, Perjanjian Hadda mengenai perbatasan Najd-Transjordan (dan Najd – Irak)
Perbatasan antara Najd dan Trans-Jordan mulai dari Timur Laut dari titik persimpangan meridian 39°E dan paralel 32°N, yang menandai akhir batas antara Najd dan ‘Iraq, dan dilanjutkan garis lurus ke titik persimpangan meridian 37°E dan 31°30’N, dan kemudian dari meridian 37°E ke titik persimpangan paralel 31°25’N. Dari titik ini, dilanjutkan garis lurus ke titik persimpangan meridian 38°E dan paralel 30°N, meninggalkan seluruh tepi sisi Wadi Sirhan di wilayah Najd; dan kemudian dilanjutkan dari meridian 38°E ke titik persimpangan paralel 29°35’N [Lihat di sini] [↑]
Konflik di Rumah Nasional bagi Kaum Yahudi: Sentimen Anti Yahudi
Konflik Pertama: 1 Maret 1920
Sebagai kelanjutan perjanjian Sykes-Picot 1916, maka pada September 1919, di Deauville, dilakukan perjanjian Anglo-France tahun 1919, yaitu Inggris menarik mundur pasukannya dari Suriah (kecuali Palestina).
 |
Tapal Batas Bermasalah |
Perjanjian penarikan mundur ini menyebabkan bagian Utara Galilee: Metulla, Kfar Giladi, Tel Hai dan Hamrah, dan Kfar Giladi masuk dalam area Mandat Prancis.
Kaum Arab Kristen area tersebut pro pada Perancis, sedangkan kaum Arab Badui dan kaum Suriah Nasionalis di Damaskus, sejak 30 September 1918, menyatakan mendukung revolusi Arab dan setia kepada Sharif Mekkah (Husein Ali Pasha).
Tentara Perancis jarang dikirim ke area itu untuk memulihkan keadaan, di tengah perselisihan antar kaum Arab itulah pemukiman Yahudi menjadi target penyerangan dan penjarahan oleh para Arab Nasrani, Laskar Suriah dan juga para Arab Badui dengan dalih memungut pajak atau lainnya.
Pada 12 Desember 1919, pemukiman di Tel Hai mengalami penyerangan berat yang mengakibatkan di pertengahan Januari 1920, banyak kaum Yahudi mengungsi ke Tel Aviv, kecuali sekelompok kecil yang memutuskan mempertahankan daerah itu sekaligus menitipkan surat pada pengungsi untuk meminta bantuan pertahanan.
Isu tersebut sampai pada komisi para pemimpin Yahudi, di tanggal 24 Februari 1920 dan di tengah perdebatan antara mengirim atau tidak bantuan, muncul beberapa relawan Hashomer (Organisasi para penjaga untuk kibbutz) diantaranya adalah Joseph Trumpeldor seorang veteran yang memutuskan untuk membantu dan segera berangkat menuju Kfar Giladi.
Pada 1 Maret 1920,
beberapa ratus Arab Syiah dari desa Jabal Amir, Libanon Selatan, bersama dengan Arab Badui Halasa pimpinan kepala kampung mereka, Kamal Affendi, bergerak menuju gerbang Tel Hai dengan dalih hendak mencari tentara Perancis. Melihat ini, 1 petani menembakan pistol ke udara sebagai sinyal permintaan bantuan ke desa terdekat, Kfar Gilati. Joseph Trumpeldor bersama sejumlah rekannya yang awalnya hendak melakukan negosiasi damai untuk persoalan ini namun, sebagai pendatang baru, mereka dicurigai para Arab setempat sebagai kelompok yang pro-Perancis, sehingga terjadilah bentrok senjata di antara keduanya dan desa Yahudi tersebutpun kemudian dibakar.
Insiden ini kemudian dianggap sebagai insiden pertama konflik Arab-Israel.
Jumlah korban tewas 8 orang Yahudi (6 pembela termasuk Trumpeldor dan 2 penduduk desa), sementara dari kalangan arab Badui: 5 Tewas. Berikut ini adalah kata terakhir Trumpeldor sebelum wafatnya: “Tidak mengapa, menyenangkan dapat mati (tov lamut) demi tanah Air” (“אין דבר, טוב למות בעד ארצנו”) [Namun ada teori lain yang menyatakan kata terakhirnya adalah kutukan dalam bahasa rusia, sebagai rasa frustasi atas nasib buruknya, ‘Mama sialan kau‘ (Yob tvoyú mat’), :ёб твою мать!)]. Kematian Trumpeldor, menginspirasi banyak kaum muda Yahudi yang kemudian secara spontan membentuk Haganah (Organisasi Pertahanan Diri).
Pada 03 maret 1920,
sekelompok Arab Badui menyerbu Kfar Gilati yang membuat para relawan ini mundur hingga ke desa Syiah Taibe. Di desa itu, para relawan diberikan tempat tinggal dan didampingi menuju daerah yang berada di bawah kendali Inggris.
Note:
Pada 3 Februari 1922 (formalnya di 7 Maret 1923), melalui perjanjian Inggris-Perancis ditetapkan bahwa area situs kuno ‘Tel Dan’ juga ‘mata air Dan’ tidak lagi menjadi bagian mandat Perancis untuk Suriah namun pindah menjadi bagian mandat Inggris untuk Palestina di awal tahun 1924, sedangkan ‘dataran tinggi Golan‘ juga ‘mata air di Wazzani dan di Banias’ menjadi bagian dari Mandat Perancis untuk Suriah. Danau Galilea seluruhnya menjadi bagian Mandat Inggris untuk Palestina
Konflik 7-8 Maret 1920, 4-7 April 1920, April 1921
Di tahun 1919, Seorang anggota klan Al-Husseini, yaitu Haji Amin, membentuk kelompok Fedayin (artinya: Orang yang mengurbankan diri), yang bertugas untuk melakukan teror kepada kaum Yahudi. Kelompok ini terlibat aktif dalam kerusuhan bulan April 1920, di Yerusalem, yaitu ketika 3 pemeluk agama merayakan hari raya yang jatuh di saat yang bersamaan di tanggal 04-07 April 1920: yaitu di pesta permulaan musim semi, umat Islam merayakan perayaan Nabi Musa (berawal dari hari Jumat), umat Kristen merayakan Paskah (Easter, kebangkitan Yesus) dan umat Yahudi merayakan hari kaum Yahudi keluar dari Mesir (seminggu setelah bulan penuh Paschal).
Siapa Haji Amin Al Husseini?
Amin al-Husseini adalah putra mufti Yerusalem yang juga penentang awal Zionisme. Belasan anggota keluarganya adalah walikota Yerusalem (1864-1920) dan juga Mufti kota tersebut.
Tahun 1912, Ia sempat belajar di Universitas Kairo dan juga di Dar al-Dakwah wa-l-Irshad, di bawah asuhan Muhammad Rashyid Ridha yang mengenalkannya pada ajaran Jamal Al-din Al Afghani, sehubungan dengan teknik Islam ortodok dalam menghasut dan radikalisme. Menurut ajaran ini, Timur Tengah menjadi terkolonisasi adalah karena para muslim lemah iman, oleh karenanya perlu dibangun ulang etika jihad mereka dan mereka juga menyatakan bahwa para pemimpin muslim yang membiarkan daerah Islam terkolonisasi adalah kafir sehingga wajib di bunuh.
Al Afghani ini telah menjadi inspirator 2 cabang aliran Salafi yaitu radikalisme-nya Muhammad Rashid Ridha dan progresif-nya Muhammad Abduh. (Kedua orang inilah juga yang mempengaruhi Hasan Al Banna, sang pendiri Ikhwanul Muslimin, di Mesir, berdiri pada bulan Maret 1928)
Pada tahun 1913, Al-Hussein naik haji ke Mekkah. Di usia 17 tahun menjadi tentara Infantri ke-47, Ottoman Turki dan tidak lama kemudian dengan ijin cuti sakit 3 bulan karena cedera, Ia kembali ke Yerusalem. Ia kemudian membantu pemberontakan Arab di bawah Faisal bin Husein bin Ali Pasha.
Laporan komisi Palin menyatakan bahwa Ia adalah seorang yang pro-Inggris. Tahun 1918, al-Husayni menjadi presiden dari organisasi yang awalnya pro-Inggris berbasis Arab (Al-Nadi Al Arabi) dan menentang zionisme di Palestina, cabang Yerusalem. Tahun 1919, Ia menghadiri kongres pan Suriah di Damaskus yang mendukung Faisal menjadi raja Suriah walaupun kerajaan Arab Suriah pendek umurnya, namun Ia adalah pendukung setia raja Faisal dengan mencoba mengacaukan pemerintahan Inggris di Palestina, karena Ia percaya bahwa itu bagian dari kerajaan Arab
[“The Secret War for the Middle East: The Influence of Axis and Allied Intelligence Operations During World War II”, Youssef H Aboul-Enein, Basil H Aboul-Enein, hal.23; Wikipedia: Haj Amin al-Husseini]
Peringatan akan adanya kerusuhan di perayaan itu telah disampaikan oleh pemimpin organisasi Yahudi, Chaim Weizmann, yang sinyal-sinyalnya telah tampak jelas yaitu mulai di tanggal 27 Februari 1920, saat terjadi demonstrasi damai di Jaffa (Tel Aviv), Jerusalem dan Haifa. Kemudian di tanggal 7 Maret 1920, Faisal bin Husein Ali Pasha diangkat sebagai raja kerajaan Arab Suriah oleh Kongres Nasional Suriah dan dilanjutkan dengan demonstrasi damai menuntut pengakuan Inggris dan Perancis kepadanya di tanggal 7 dan 8 Maret, saat itu, di semua kota Palestina, toko-toko Yahudi ditutup dan banyak orang Yahudi diserang dan luka-luka. Penyerang membawa slogan-slogan seperti “Matilah Yahudi” atau “Palestina adalah tanah kami dan kaum Yahudi adalah anjing kami!“
Hari Minggu, tanggal 04 April 1920, jam 10:30, sekitar 60.000 – 70.000, kaum Arab telah berkumpul di alun-alun kota untuk festival Nabi Musa, namun kemudian berubah menjadi aksi kekerasan kepada kelompok Yahudi. Kerumunan massa dilaporkan berteriak “Kemerdekaan! Kemerdekaan!“, “Palestina adalah tanah kami, kaum Yahudi adalah anjing kami!“.
Polisi Inggris yang direkrut dari kalangan Arab, yang seharusnya menjaga ketertiban, malah ikut bergabung dan bertepuk tangan, kemudian, kekerasan pun terjadi. Komunitas Arab setempat mengobrak-abrik pojokan Yahudi Yerusalem (area tempat kaum Yahudi). Torath Chaim Yeshiva (semacam tempat belajar Taurat) digerebek, Taurat gulungan dirobek dan dilemparkan ke lantai, bangunannya dibakar dan selama tiga jam berikutnya, 160 orang Yahudi terluka.
Pada hari Senin, keadaan semakin memburuk, Kota Tua ditutup oleh tentara dan tidak ada yang diperbolehkan keluar daerah tersebut. Hukum darurat militer diberlakukan namun penjarahan, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan berlanjut, beberapa rumah dibakar, batu nisan hancur. Tentara Inggris menemukan bahwa para perusuh membawa senjata terlarang yang disembunyikan di dalam tubuh para wanita Arab. Pada Senin malam, tentara DIEVAKUASI keluar dari Kota Tua dan butuh 4 hari untuk memulihkan ketertiban.
Di saat itu, Haganah tampil sebagai penyelamat komunitas Yahudi. Mereka berhasil memukul mundur serangan kaum Arab. Selama insiden tersebut, tercatat 5 Yahudi dan 4 Arab tewas, 216 Yahudi terluka, 18 kritis, dan 23 Arab terluka dan 1 kritis. 300 Yahudi dievakuasi dari Kota Tua. Jika tidak ada Haganah pasca penarikan mundur tentara Inggris, maka tidak diragukan lagi jumlah korban kalangan Yahudi akan jauh lebih besar lagi.
Lebih dari 200 orang (termasuk 39 Yahudi) diadili. Pengadilan berlangsung berat sebelah. Para perusuh Arab dihukum ringan sementara mereka yang mempertahankan diri dengan melakukan perlawanan pasca evakuasi tentara malah mendapatkan hukuman lebih berat. Putusan hukuman ini membuat gempar dan mendapat protes kalangan pers termasuk The Times yang mempertanyakannya ke parlemen Inggris. Bahkan sebelum editorial muncul, komandan pasukan Inggris di Palestina dan Mesir, Jenderal Congreve, berkomentar bahwa kaum Yahudi dijatuhi hukuman jauh lebih berat dari kaum Arab yang telah melakukan pelanggaran yang lebih buruk.
Sejak kerusuhan dimulai, imigrasi Yahudi ke Palestina untuk sementara dihentikan Inggris.
Kolonel Richard Meinertzhagen, mantan kepala intelijen militer Inggris di Kairo, yang kemudian menjadi kepala politik untuk urusan Palestina dan Suriah, menulis di buku hariannya bahwa Inggris telah mendorong kaum Arab untuk menyerang kaum Yahudi. Kolonel Waters Taylor (penasihat keuangan pemerintah militer di Palestina 1919-1923) bertemu dengan Haji Amin beberapa hari sebelum Paskah, di tahun 1920, dan berkata padanya “..jika terjadi cukup gangguan kekerasan di Yerusalem saat Paskah, baik General Bols [kepala Administrator di Palestina, 1919-1920] dan General Allenby [komandan Angkatan bersenjata di Mesir, 1917-19, kemudian Komisaris Tinggi Mesir] akan menganjurkan kaum Yahudi untuk meninggalkan rumah mereka“.
Waters-Taylor menjelaskan bahwa kebebasan hanya bisa dicapai melalui kekerasan.
Haji Amin tampaknya sejalan dengan saran Kolonel Waters, karena Ia yang menghasut kerusuhan. Sehingga, ketika Inggris menarik pasukannya dan juga menarik para polisi yang direkrut dari kalangan Yahudi dari Yerusalem, maka kemudian, massa Arab menyerang kaum Yahudi dan menjarah toko-toko mereka.
Karena peran terbuka Haji Amin dalam menghasut pembantaian, Inggris kemudian berusaha menangkapnya namun Ia berhasil melarikan diri ke Yordania dan dalam putusan sidang pengadilan secara in absentia (sang terdakwa tidak hadir dalam sesi penjatuhan hukuman), Haj Amin dijatuhi hukuman 10 tahun penjara namun 1 tahun kemudian, yaitu 11 April 1921, setelah kaum Arab Inggris berhasil meyakinkan Komisaris Tinggi Herbert Samuel untuk mengampuni Haji Amin, Samuel bertemu Haji Amin dan mengampuninya.
Tanggal 1-7 Mei 1921,
terjadi kerusuhan di Jaffa yang meluas hingga ke Rehovot, Kfar Saba, Petah Tikva, dan Hadera. Kerusuhan ini juga akibat hasutan Haj Amin dengan menunggangi perayaan May-Day yang diselenggarakan partai komunis Yahudi. Partai komunis Yahudi di Jaffa (tidak mendapat ijin parade) bersaing dengan partai komunis di Tel Aviv (mendapat ijin parade). Keduanya menyelenggarakan parade perayaan May-Day dan ketika keduanya bertemu, terjadilah perkelahian di antara mereka. Polisi kemudian membubarkan pawai 50an orang itu dengan bantuan kaum Muslim dan Kristen.
Mendengar adanya perkelahian itu, kaum Arab percaya bahwa mereka diserang, akibatnya kaum Arab dari Jaffa dan beberapa desa (Tulkarm, Kakon, Kalkilieh, Kafr Saba, suku badui Wadi Hawareth dan Abu Kishik) segera berdatangan dan secara beringas dan menyerang 5 koloni kaum Yahudi yang sama sekali tidak tahu apapun dan tidak terkait partai ataupun kejadian di parade tersebut. Polisi dilaporkan ikut serta bersama massa untuk masuk ke dalam bangunan-bangunan, ikut memukuli, menembak dan membunuhi penghuninya.
Penyerangan ini mengakibatkan banyak kaum Yahudi dewasa maupun anak-anak dipukuli dan dibunuh, bangunan dirusak dan isinya dijarah.
Komisioner Hebert Samuel mengumumkan keadaan darurat, sensor media dilakukan dan mendatangi perwakilan Arab yaitu Musa Kazim al-Husseini, paman Haji Amin Husseini, yang telah diberhentikan sebagai walikota Jerusalem terkait kerusuhan tahun sebelumnya.
Kerusuhan tersebut menghasilkan korban tewas (Yahudi: 47, Arab: 48) dan terluka (Yahudi: 146, Arab: 73). Kebanyakan korban kalangan Arab adalah karena terlibat bentrokan dengan pasukan Inggris yang mencoba memulihkan ketertiban. Setelah kerusuhan, Inggris membentuk komisi Haycraft untuk melakukan penyelidikan mengenai penyebab kerusuhan.
Dalam laporannya, komisi menyampaikan bahwa sebab terjadinya kerusuhan karena hasutan yang dilakukan kaum Arab berpendidikan, komisi juga mengkonfirmasi keterlibatan polisi Arab dalam kerusuhan dan menyatakan, “Zionis tidak berbuat cukup untuk mengurangi kekhawatiran kaum Arab..Penyebab mendasar kerusuhan Jaffa yang berlanjut tindak kekerasan adalah perasan tidak puas kalangan Arab memusuhi kaum Yahudi karena politik dan ekonomi, terkait dengan imigrasi Yahudi..mayoritas Arab, pada umumnya agresor, membuat jatuhnya banyak korban“
Setelah kerusuhan tersebut,
Di 8 Mei 1921, Haji Amin al Husseini diangkat oleh Herbert Samuel menjadi Mufti Jerusalem menggantikan saudaranya yang wafat (Kamil Al Huseini). Haji Amin menyurati Sekretaris Colonial Winston Churchill di tahun 1921, menuntut pembatasan imigran Yahudi dan menuntut penyatuan kembali Palestina dengan Suriah dan Yordan. Tanggal 9 Januari 1922, Inggris menciptakan Dewan agung Islam (al-Majlis al-Islami al-A’ala) dan mengangkat Haj Amin menjadi President organisasi tersebut sekaligus meningkatkan statusnya menjadi Grand Mufti. Haji Amin selama periode tersebut melakukan konsolidasi dan menguasai segala dana kaum muslim di Palestina. Ia gunakan kekuasaannya untuk mendapatkan kontrol atas masjid, sekolah dan pengadilan.
Churchill kemudian mengeluarkan White Paper 1922, yang menyatakan imigrasi Yahudi diperlukan agar komunitas Yahudi dapat tumbuh, namun ijinnya diberikan dalam batas daya serap negara menyerap Imigrasi. Mengenai White paper Churchill ini, tanggal 18/19 Juni 1922, Organisasi Zionis menerimanya (“The Legal Foundation and Borders of Israel Under International Law: A Treatise on Jewish Sovereignty Over the Land of Israel”, Howard Grief, hal.436), sementara kaum Arab, melalui kongres ke-5 Palestina Arab di Nablus tanggal 22 Agustus 1922, menolaknya. [“Churchill and the Jews, 1900-1948”, Michael J. Cohen, hal.143].
Konflik Tahun 1924
Sebagai akibat progrom (kerusuhan besar terorganisir yang dilakukan kelompok tertentu yang dibarengi penghancuran rumah, tempat usaha, ibadah dll) di Polandia, maka berdatanganlah 67.000 pengungsi Yahudi ke Palestina. Kejadian ini memicu pertempuran seminggu penuh antara Haganah vs massa Arab, hasilnya: 133 Yahudi dan 116 Arab tewas.
[Lihat juga: “Pangs of the Messiah: The Troubled Birth of the Jewish State”, Martin Sicke, hal.17; “The Golan Heights: Political History, Settlement and Geography since 1949”, Yigal Kipnis, hal.235; Arab Riots of the 1920; Wikipedia: Tel Hai, Pertempuran di Tel Hai, 1920 Nebi Musa riots]
Konflik tahun 1928-1929, Komisi: Shaw, Hope-Simpsin dan Passfield White Paper (1930)
Sejak tahun 1922, Setiap adanya perayaan Yom Kippur (hari pertobatan), Kaum Yahudi membawa bangku-bangku (untuk para orang tua) dan sekat pemisah (untuk laki dan perempuan) demikian pula pada perayaan Yom Kippur di tanggal 23-24 September 1928.
Pada malam (tgl 23) menjelang Yom kippur, dipersiapkan hal yang serupa. Namun para Sheikh meminta komisaris Yerusalem Edward Keith-Roach agar mengeluarkan perintah bahwa barang-barang tersebut tidak diperbolehkan, jika tidak, mereka tidak bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi. Keith-Roach kemudian meminta pada para pengawas upacara agar sekat pemisah dibongkar karena tuntutan kaum Arab. Pengawas memohon ijin agar sekat pemisah diperbolehkan tetap berdiri hingga layanan doa selesai. Keith Roach mengijinkannya. Namun keesokan harinya, Polisi Inggris memaksa menurunkan sekat pemisah yang mendapatkan dorongan warga Arab yang berteriak, “Matilah anjing Yahudi!” dan “pukul, pukul“, segera setelahnya, terjadilah bentrokan kekerasan. Para wanita yang mencoba mencegah sekat yang hendak dibongkar, dipukuli polisi dengan potongan-potongan bingkai kayu. Kursi yang sedang diduduki para lansia di tarik paksa.
Kemudian,
di bulan Oktober-November 1928, menjelang berlangsungnya konferensi umum Islam Internasional. Grand Mufti memerintahkan pembuatan bangunan baru di samping dan atas dinding ratapan. Selama pembangunan, batu bata kerap dijatuhkan ke tempat para Yahudi yang sedang berdoa, Keledai-keledai dilepaskan ke area para Yahudi berdoa dan dibiarkan membuang kotoran di sana, juga air comberan dilemparkan pada kaum Yahudi. Muazim (teriakan mengajak Shalat) ditugaskan di sebelah dinding untuk menciptakan kebisingan yang cukup ketika para Yahudi sedang berdoa. hal ini menimbulkan reaksi keras kaum Yahudi namun pemerintah Inggris tetap membiarkannya.
Haji Amin al-Husseini kemudian membagikan pamplet selebaran kepada kaum Arab Palestina dan juga pada seluruh dunia Arab bahwa kaum Yahudi berencana untuk mengambil alih Masjid al-Aqsa. Salah satu konsekuensi pamplet tersebut, para jamaah Yahudi menjadi sasaran pemukulan dan rajam.
Di seputaran penyebaran pamplet tersebut, Mufti mengadakan konferensi umum Muslim di Yerusalem yang dihadiri delegasi Palestina, Suriah, Libanon dan Transjordan. Resolusi itu meloloskan sebuah klaim bahwa dinding itu lebih suci bagi kaum muslim daripada kaum Yahudi dan hak kaum Yahudi pada dinding itu tidak lebih dari sekedar bantuan yang diberikan oleh para penduduk lokal. Philip Matar, seorang penulis biographi mufti tahu bahwa argumen tersebut lemah, “Mufti…mengabaikan poin legal bahwa setelah berabad-abad peribadatan kaum Yahudi telah membangun hak adat untuk berdoa di dinding tersebut“.
Video ini adalah tentang klaim cincin besi tempat Buraq ditambatkan Muhammad yang terletak dibawah mesjid Aqsa.
Benarkah sedari dulu dinding ratapan ini disebut mesjid Buraq? Benarkah cincin besi tambatan Buraq telah ada sejak jaman Nabi? Tidak.
Tampaknya tidak, karena bukti yang termuat dalam laporan komisi penyelidikan kerusuhan 1929:
“Laporan komisi atas penunjukan dari YM pemerintah Inggris dan Irlandia Utara, yang mendapat persetujuan dari Dewan liga bangsa-bangsa, dalam menentukan hak-hak dan klaim para Muslim dan Yahudi sehubungan dengan tembok barat atau tembok ratapan di Jerusalem, December, 1930“:
Permasalahan tentang Buraq.
1 Orang-orang Yahudi menolak bahwa dinding depan jalanan setapak dan pojokan Moghrabi (Maroko) dianggap sebagai tempat suci Muslim. Menurut kaum Yahudi, orang Islam sendiri tidak menganggapnya demikian, jika tidak, mereka tidak akan mencemari dinding itu dengan kotoran..yang kaum muslim telah lakukan di kejadian-kejadian tertentu, juga tidak akan mengijinkan pembangunan kakus dekat dinding yang langsung bersambungan dengan tembok ratapan di Selatan dan juga sebagai bagian luar Harem.
2 ..legenda dimaksud hanya berasal dari periode beberapa abad setelah jaman Muhammad dan bahwa Buraq tidak disebutkan di Al Qur’an. Karenanya tidak beralasan, mereka katakan, untuk mengkaitkan sebuah karakter suci dengan jalanan di depan dinding karena Nabi melewatinya di perjalanan surgawi, Karena kitab suci umat Islam tidak mengatakan apapun tentang itu. Selain itu, rute yang Muhamad ambil sebelum memasuki area kuil tidak pernah, mereka nyatakan, gambaran tepatnya, dan hanya baru-baru ini saja umat Islam mulai membuat-buat bahwa Nabi lewat di sana dan bahwa tunggangan bersayapnya ditambatkan pada cincin besi di dinding yang sekarang menjadi bagian dari Masjid Buraq. Terlebih lagi, kaum muslim tidak pernah, hingga di tahun-tahun ini sajalah, menyebut tembok tersebut Al Buraq. Panduan resmi untuk Harem yang diterbitkan di tahun 1914 oleh otoritas muslim tidak menyebutkan kesucian khusus apapun yang diatributkan pada dinding.
—-
Note:
- Mesjid Al Aqsa BUKAN di Yerusalem
Mengklaim Al Aqsa ada di Yerusalem adalah bertentangan dengan Quran yang menyatakan bahwa bangsa Romawi dikalahkan di negeri terdekat (AQ 30.3: fii adnaa al-ardhi → merujuk pada Suriah/Damaskus) sementara Al Aqsa berarti “terjauh”, (AQ 17.1: almasjidi al-aqshaa = Mesjid terjauh), karena Suriah (Damaskus) letaknya lebih jauh lagi dari Jerusalem, maka menyatakan Al Aqsa ada di Jerusalem adalah keliru. [Hoaxnya kejadian Isra’ Mi’raj ke Jerusalem, lihat Pojokan Wirajhana: di sini dan di sini, terutama karena para mesjid yang ada di Yerusalem baru ada jauh tahun setelah kota itu ditaklukkan Umar dan sebelum itu tidak ada]
Berikut di bawah ini beberapa teori tentang Al Aqsa, di antaranya:
- Egyptian Ministry of Culture Publication, 5 Agustus 2003, menyampaikan tulisan AHMAD MUHAMMAD ‘ARAFA, kolumnis mingguan Mesir Al-Qahira yang diterbitkan Departemen Kebudayaan Mesir:
Bahwa perjalanan malam di AQ 17.1 tidak merujuk pada perjalanan ajaib dari Mekah ke Yerusalem namun dalam konteks tentang hjrah dari Mekah ke Medinah [Memri.org, 13 Sep 2003, Spesial Dispacth no.564: “The Prophet Muhammad’s ‘Night Journey’ was Not to Jerusalem but to Medina”. Pendapat senada juga disampaikan oleh Dr. Shabbir Ahmed lihat di sini (bab.8, no.26, hal.63), di sini (tanggapan hadis #339) dan di sini]
Dua minggu kemudian, AHMAD MUHAMMAD ‘ARAFA juga menuliskan:
Pembangunan Aqsa adalah dalam konteks persaingan politik antara Khalifa baru ‘Abd Al-Malik VS Ibn Al-Zubayr yang menguasai Hijaz, (jalan ke Mekah dan Medinah), yang dikhawatirkan Ibn Al-Zubayr akan mendapatkan janji kesetiaan dari mereka yang pergi Haji/Umrah. Untuk itu ‘Abd Al-Malik mulai membangun mesjid di Jerusalem agar orang tidak pergi haji sampai Ibn Al-Zubayr dapat dikalahkan; karena tempat itu adalah kiblat pertama; karena lebih jauh lagi dari Medina agar sesuai dengan AQ 17.1 dan karena Jerusalem disebut juga tanah suci (al-ard al muqadassah) atau tanah yang diberkati (al-ard al mubarakah), maka mesjid baru yang tadinya disebut ‘Aelia’ diubah menjadi ‘Al-Aqsa’ dan menjadi mesjid paling suci ke-3 setelah mesjid di Mekah dan Medina. [Spesial Dispacth no.583: “The Al-Aqsa Mosque and Dome of the Rock were Built to Divert The Pilgrimage from Mecca; Jerusalem was Not the Center of Worship for the Followers of the Prophet Muhammad”]
- Nama yang dialamatkan pada sebuah tempat shalat yang berlokasi 20 km Timur Laut Mekah. Al Waqidi menyampaikan dari isnad (rantai perawi) otentik yang menyatakan Mesjid Al Aqsa di jaman Muhammad relatif berada di dekat Mekah. Ulama lain menyampaikan lokasi Mesjid adalah 16 km dari Mekah ke arah Medina, di tempat yang disebut Ji’aranah.
Ibn Hisham menyatakan ada tambahan kesaksian perjalanan malam Muhammad yang diangkut ketika ia sedang tidur dan tidak masuk di Quran. Perjalanan ini tidak termasuk mengunjungi tempat-tempat lainnya diluar Mekah. Ibn Hisham menyampaikan ucapan Aisyah bahwa Muhammad sedang berbaring di sebelahnya sepanjang malam dan Allah membawa jiwanya ke langit saat itu
Ibn Sa’d berpendapat bahwa kejadian AQ 17.1 terjadi 18 bulan sebelum Hijrah di tempat yang bernama Maqam Ibrahim dekat sumur Zam-Zam di Mekah. Hadis yang sama tercantum di Bukhari dan Nasa’i [lihat juga: “Crossovers: Anti-Zionism and Anti-Semitism”, Shlomo Sharan, Dāwid Bûqay, hal.142]
- Umar bin Khaththab ketika menaklukan Jerusalem di 638 M, Ia shalat TIDAK di dalam bangunan namun di tempat terbuka, sebagaimana disampaikan hadis dari riwayat Aswad Bin ‘Amir – Hammad Bin Salamah – Abu Sinan – [Ubaid Bin Adam dan Abu Maryam dan Abu Syu’aib] bahwa ketika Umar Bin Khaththab di Jabiyah, dia menyebutkan pembebasan kota Baitul Maqdis. Aswad – Abu Salamah – Abu Sinan – ‘Ubaid Bin Adam:
aku mendengar Umar Bin Al Khaththab bertanya kepada Ka’ab; “Di mana menurutmu aku melaksanakan shalat (صَلِّيَ)?” Ka’ab menjawab; “Jika kamu menerima pendapatku shalatlah kamu di belakang batu besar, maka Al Quds semuanya akan berada di hadapanmu“. Umar berkata; “Kamu menyerupai orang-orang Yahudi, tidak, akan tetapi aku akan shalat seperti Rasulullah SAW” Dia maju dan menghadap ke arah Qiblat dan melaksanakan shalat, dia bentangkan selendangnya dan menyapu dengan selendangnya, kemudian orang-orang pun mengikuti menyapu juga
[Musnad Ahmad no.252 atau I/268-269 no. 261, tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya hasan..”. Juga lihat di “The History of al-Tabari”. Vol. 12, hal.194-195].
Ibn Taymiyya:
Sehubungan dengan batunya, tidak satupun baik itu Umar maupun para sahabat shalat di situ dan tidak ada kubah di atasnya pada jaman Khulafa’ al-Rashidin. Tanpa ada atapnya selama masa Khilafah Umar, Uthmaan, Ali, Muʿawiyah, Yazid dan Marwaan. Namun sampai pada masa pemerintahan anaknya, Abdul Malik Al-Sham, dan terdapat peristiwa fitnah antara dia dan Ibnu Al-Zubair, Masyarakat melakukan haji dan bergabung dengan Ibn Al-Zubair [yang menguasai kota mekah saat itu], Abdul Malik ingin mengalihkan perhatian publik dari Ibn Al-Zubair, Maka ia bangun kubah di atas batunya dan menutupnya di musim dingin dan panas dengan tujuan mengarahkan masyarakat agar datang ke Jerusalem (untuk berhaji), dan menahan mereka dari bergabung dengan Ibnu Al-Zubair. [Majmoo’a al-Rasaa’il al-Kubraa 2/61: Ziyaarah Bait al-Maqdis atau lihat: Taqi al-Din Ibn Taimiyah]
Batu pada dome of rock (Qubbat/kubah As-Sakhrah/batu, “kubah di atas batu”) adalah batu yang berbeda dengan batu Yakub yang disebutkan Alkitab: “..Ia mengambil sebuah batu yang terletak di tempat itu dan dipakainya sebagai alas kepala, lalu membaringkan dirinya di tempat itu..Keesokan harinya pagi-pagi Yakub mengambil batu yang dipakainya sebagai alas kepala dan mendirikan itu menjadi tugu dan menuang minyak ke atasnya. Ia menamai tempat itu Betel; dahulu nama kota itu Lus.” [Kej 28.11, 18-19, lokasi tempat itu ada diantara Batsyeba dan Haran (Kej 28.10-11), Baryeba – Yerusalem: 74 Km. Yerusalem – Haran: 890 Km]
- Islamweb, “Memory of Arson at Al-Aqsa Mosque” menjelaskan bahwa yang membangun Al Aqsa bukanlah Umar: “..Masjid Al-Aqsa dibangun oleh khalifah Umayyah Al-Waleed bin ‘Abdul Malik antara 90 dan 96 AH (709-714 M), yang dibuktikan dengan dokumen papirus yang berisi korespondensi antara gubernur Umayyah Mesir, Qurrah ibn Shareek (90-96 AH / 709-714 M) dan salah satu penguasa Mesir bagian atas. Korespondensi ini termasuk daftar nama-nama pekerja yang berpartisipasi membangun mesjid Al Aqsa, yang menegaskan bahwa itu dibangun oleh Khalifah Al-Walid bin ‘Abdul-Malik..” [Lihat juga: “Medieval Jerusalem and Islamic Worship: Holy Places, Ceremonies, Pilgrimage”, Amikam Elad, hal.26, hal.37].
Fakhr Al-Din Al-Razi: “Masjid Al Aqsa pertama kali dibangun di Jerusalem di jaman Abd Al-Malik [685-705] atau Al-Walid [705-715], yang diidentifikasikan dengan AQ 17.1, tidak ada di jaman kunjungan Nabi Muhammad“. [“Moses in the Qur’an and Islamic Exegesis”, Brannon M. Wheeler, hal.111], sehingga menyebutnya sebagai Mesjid Umar-pun: keliru.
- Ada pula riwayat bahwa Isra’ Miraj terjadi saat Muhammad tidur di rumah Umm hanni:
Ibnu Hisyam berkata bahwa seperti disampaikan kepadaku dari Ummu Hani’ binti Abu Thalib (nama aslinya Hindun) tentang isra’ Rasulullah SAW di-isra’-kan ketika beliau sedang berada di rumahku. Pada malam itu, beliau tidur dirumahku. Beliau shala Isya’ akhir, kemudian tidur dan kita juga tidur. Menjelang Shubuh, beliau membangunkan kita. Setelah beliau shalat Shubuh dan setelah kami shalat Shubuh bersamanya, beliau berkata, ‘Wahai Ummu Hani’, sungguh aku telah shalat Isya’ akhir di lembah ini seperti yang sedang engkau lihat, kemudian aku datang ke Baitul Maqdis dan shalat di dalamnya, kemudian aku mengerjakan shalat Shubuh bersama kalian sekarang seperti yang kalian lihat.’ Kemudian Rasulullah SAW keluar dan aku tarik ujung pakaiannya hingga perut beliau terlihat dan perut beliau seperti kain Mesir yang dilipat. Aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Nabi Allah, jangan ceritakan peristiwa ini kepada manusia, sebab nanti mereka mendustakanmu dan menyakitimu.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Demi Allah, aku pasti menceritakan peristiwa ini kepada mereka…” [Sirat Nabawiyah Ibn Ishaq/Ibn Hisyam, Jilid 1, Bab 74, Hal. 363-364]
Haekal:
Malam itu Muhammad sedang berada di rumah saudara sepupunya, Hindun puteri Abu Talib yang mendapat nama panggilan Umm Hani’. Ketika itu Hindun mengatakan: “Malam itu Rasulullah bermalam di rumah saya. Selesai salat akhir malam, ia tidur dan kamipun tidur. Pada waktu sebelum fajar Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata: ‘Umm Hani’, saya sudah salat akhir malam bersama kamu sekalian seperti yang kaulihat di lembah ini. Kemudian saya ke Bait’l-Maqdis (Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kaulihat.” Kataku: “Rasulullah, janganlah menceritakan ini kepada orang lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu lagi!”. “Tapi harus saya ceritakan kepada mereka,” jawabnya…Apa yang dikatakan Muhammad kemudian menimbulkan kesangsian juga pada beberapa orang pengikutnya, pada orang-orang yang tadinya sudah percaya…Tidak sedikit mereka yang sudah Islam itu kemudian berbalik murtad…” [Hayat Muhammad, Muhammad Husayn Haykal, Hal. 189]
Jika saja Muhammad tidak sedang bermalam di rumah Hindun, maka ada saja kemungkinannya bahwa tidak akan ada Isra Miraj, tidak akan ada kebingungan tentang letak Al Aqsa, tidak akan ada kemunculan tambahan kisah bangunan Mesjid Buraq, Cicin besi tempat menambatkan buraq…dan tentu saja, tidak akan ada juga klaim muslim bahwa Yerusalem adalah juga kota suci Islam
Kaum Yahudi kemudian memberikan respon, beberapa menuntut kontrol penuh atas tembok ratapan, beberapa mengusulkan merestorasi kuil. Keresahan ini makin memuluskan maksud sang Mufti.
Keadaan makin memanas hingga musim panas tahun 1929.
Kemudian terjadilah di Tel Aviv, tanggal 14 Agustus 1929, sejumlah 6000an Yahudi berdemonstrasi dan berteriak, “Tembok ini milik kita“, sementara malam harinya, 3000an Yahudi berkumpul di tembok barat untuk berdoa. Esok harinya tanggal 15 Agustus adalah Tisha B’ab, yaitu peringatan hari kehancuran Kuil (yaitu pada 586 SM dan 70 M) yang dirayakan dengan berpuasa (hingga 25 jam), kemudian beberapa ratus Yahudi berkumpul di tembok dan berteriak, “Tembok ini milik kita” dan setelah itu membubarkan diri.
Sementara itu, Mufti dan para aktifisnya menyebarkan pamflet yang dicetak sebelum 14 Agustus 1929 di sekitar kota dan desa kaum Arab yang berisi ajakan untuk menyerang kaum Yahudi dan datang ke Jerusalem untuk menyelamatkan bait suci. Rumors diedarkan bahwa Kaum Yahudi menuju ke Haram Al Sharif akan menyerang kaum Arab merambah populasi. Salah satu Flyer di tandatangani oleh Komite Jihad Palestina berisi hasutan, “Yahudi telah melecehkan kehormatan Islam, dan telah memperkosa para perempuan, membunuhi para janda dan bayi“.
Jumat tanggal 16 Agustus 1929, setelah kotbah Jum’at yang menggugah, demonstrasi yang diorganisir Dewan Agung Islam pimpinan Mufti bergerak ke Haram Al Sharif menuju dinding, membakar buku ibadah, banyak artikel religi kaum Yahudi dan catatan-catatan yang biasa diselipkan kaum yahudi alim di celah-celah dinding.
Esok harinya, saat perayaan kelahiran Muhammad SAW (banyak yang masih mengira Beliau lahir di 12 Rabiul Awwal/17 Agustus 1929), massa Arab muslim yang didalamnya ikut pula para polisi kalangan arab melakukan penyerangan kepada kaum Yahudi dan melakukan pembakaran toko-toko Yahudi, yang mengakibatkan 1 Yahudi muda tewas dan banyak Yahudi yang luka-luka.
Tanggal 23 Agustus 1929, seusai shalat Jumat, ratusan orang Arab menyerang pedesaan Yahudi dan membakari toko-toko, kerusuhan menyebar ke seluruh kota dan bahkan daerah. Kerusuhan menyebar seluruh negara di tanggal 23-24 Agustus 1929. Di gerbang Jaffa sejumlah Yahudi terbunuh, Di seluruh Jerusalem: 17 Yahudi terbunuh, di safed: 45 terbunuh. Pembantaian terburuk terjadi di Hebron. Padahal 3 hari sebelumnya (20 Agustus), komunitas Yahudi Hebron menolak bantuan Haganah untuk melindungi mereka, dengan alasan bahwa mereka percaya pada pimpinan Arab kota itu akan melindungi mereka.
Apa akibat mempercayai kaum Arab ini?
67 kaum Yahudi malah terbantai, beberapa dikebiri, disiksa, dipenggal, dibakar hidup-hidup, para perempuan diperkosa sebelum dibunuh. 1 kasus anak kecil yang dipenggal polisi Arab yang bekerja di kesatuan Inggris, berikut kesaksian kepala polisi Hebron, Cafferata:
“Mendengar jeritan di sebuah kamar Aku naik ke semacam lorong dan melihat seorang Arab sedang memotong kepala seorang anak dengan pedang. Ia telah menghajarnya dan telah memotong lainnya, namun ketika ia melihatku, Ia mencoba melayangkan pukulan kepadaku namun luput; Ia praktis ada di moncong senapanku. Aku bidik rendah dan tembak di selangkangannya. Di belakangnya seorang wanita Yahudi sedang bersimbah darah dengan seorang yang aku kenali sebagai seorang polisi [Arab] bernama Issa Sherif dari Jaffa di mufti. Ia berdiri di atas wanita itu dengan belati ditangannya. Ia melihatku dan beranjak ke ruangan sebelah dan berteriak pada ku-dalam bahasa Arab, “Yang Mulia, Aku polisi.” … Aku masuk ke ruangan dan menembaknya“
Kerusuhan satu minggu itu menghasilkan 133 kaum Yahudi tewas, 339 cedera, sementara di pihak Arab 116 tewas, 232 cedera. Menurut Laporan Komisi Shaw, korban kalangan arab kebanyakan disebabkan tindakan pasukan Inggris yang didatangkan dari Mesir dalam meredam kerusuhan. [Cohen, hal.220]
[lihat juga: “Righteous Victims: A History of the Zionist-Arab Conflict, 1881-1998”, Benny Morris, hal.113; “Britain’s Moment in Palestine: Retrospect and Perspectives, 1917-1948”, Michael J Cohen, hal.215; “The Case for Israel”, Alan Dershowitz, pp.42; “A History of Palestine, 634-1099”, Moshe Gil, hal.92; “Jihad and Genocide”, Richard L. Rubenstein, hal.63; wikipedia: Tembok Barat, 1929 Palestine Riots]
Teknik mendapatkan keinginan melalui kekerasan yang dilakukan kaum muslim ini tampaknya menuaikan hasil yang memuaskan.
Mengapa?
Keluhan kaum Arab tentang meniup Shofar di tembok barat dan menyatakan itu sebagai penghinaan terhadap Islam, ditanggapi baik, maka, sejak tahun 1931 melalui otoritas legislatif dari pemerintahan Mandat menetapkan “temple mount” yang mencakup juga tembok barat masuk ke dalam otoritas Islam. Akibatnya sejak saat itu, kaum Yahudi dilarang meniup shofar di dinding barat, meskipun hal ini adalah bagian integral dari ritual Rosh Hashana (Tahun Baru) dan Yom Kippur (Hari Penebusan).
Disamping itu juga, kerusuhan itu juga menuaikan kemenangan “diplomasi” bagi Haji Amin dan kawan-kawan di mata Inggris, karena 2 buah laporan komisi laporan yaitu “Laporan Penyelidikan Komisi Hope-Simpson, 21 Oktober 1930 (laporannya tertulis tanggal 01 Oktober 1930)” dan “Passfield White Paper, 20 Oktober 1931″ kedua laporan menyalahkan Zionisme sebagai penyebab terpuruknya perekonomian penduduk arab, seperti misalnya digambarkan dalam aporan Hope-Simpson:
Pengangguran Arab.
Pada saat yang sama tidak diragukan bahwa pada saat ini terjadi pengangguran yang serius di kalangan pengrajin dan buruh Arab. Untuk masalah pengangguran terjadi karena beberapa penyebab. Transportasi motor, sebagian besarnya dimiliki tangan kaum Yahudi, menggusur Unta dan Keledai dari jalanan, dan juga supir Unta dan keledai kaum Arab. Kendaraan bermotor, yang sebagian besar dimiliki kaum Yahudi dan dikendarai kaum Yahudi menggusur kendaraan yang ditarik kuda beserta supirnya. Peningkatan penggunaan semen, beton bertulang dan batu bata silikat, semua diproduksi kaum Yahudi, menggantikan batu hiasan untuk tujuan konstruksi, dan sebagainya menggusur sejumlah besar pengrajin batu dan tukang batu, hampir semua dari mereka adalah kaum Arab. Para penggali Arab juga sedang tergusur.
Tapi mungkin penyebab paling serius pengangguran tambahan adalah berasal dari penghentian wajib militer untuk tentara, yang lazim diadakan di bawah Pemerintah Turki. Para pemuda sekarang tetap di desa-desa. Sebelumnya mereka dikirim ke Yaman atau ke Anatolia…Ada pengangguran yang sangat serius dikalangan kaum Arab pada kelas tukang di Yerusalem…alasannya karena penolakan pengusaha Yahudi mempekerjakan mereka sehubungan dengan kerusuhan Agustus lalu…perekrutan untuk angkatan bersenjata di perbatasan mencatat lebih dari 4000 orang terutama dari Palestina dan Utara Trans-Jordan, mengepung markas angkatan bersenjata dengan harapan dapat dipekerjakan.
Walaupun disebutkan jelas bahwa penyebab serius pengangguran adalah penghentian wajib militer dan juga ketakutan pengusaha Yahudi akibat kerusuhan Agustus silam (dan juga dilaporkan karena sebab perkembangan teknologi) namun rekomendasi untuk menyelesaikan permasalahan justru dengan melakukan pembatasan imigrasi Yahudi sebatas daya serap ekonomi Palestina.
Laporan ini menyenangkan kaum Arab namun tidak bagi kaum Yahudi sehingga organisasi Zionis mengkritik pedas laporan ini yang kemudian menyebabkan Ramsay MacDonald (penanggung jawab white paper) harus hadir di depan Dewan Persemakmuran Inggris (17 November 1930) menjawab surat Chaim Weizmann (13 Februari 1931). Bahkan Mantan PM Llyod menyatakan seperti ini:
White Paper adalah dokumen sepihak. Bias. Secara keseluruhan bertentangan dengan semangat mandat. Berbau ketidakpercayaan dan bahkan antagonisme dengan aktivitas kaum Yahudi…Ambil imigrasi. Ada kritik kepada kaum Yahudi yang menetap sementara dan tinggal… Dikatakan 7.000 menetap sementara dan tinggal di sana tanpa ijin tinggal. Tidak ada bukti bahwa mereka adalah kaum Yahudi, tetapi diasumsikan demikian. Tidak satu katapun tentang ribuan kaum Arab yang melakukan hal yang sama. 14.000 orang Arab menerobos melalui Suriah. Apakah mereka mendapat ijin tinggal Mengapa menyebutkan fakta 82 kaum yahudi yang berhasil masuk..dan tidak sepatahpun kata tentang kaum arab yang masuk?..Mereka tidak berani mencoba membunuh Zionisme langsung..Apa alasannya untuk ini? Tidak ada ruang lebih untuk kaum Yahudi; Terdapat pengangguran di antara kaum Arab. Terdapat pengangguran di sini (Di Inggris). Mengapa? ini karena keadaan kondisi dunia (Note: Resesi dunia terjadi di semester II 1929-1933). Di Amerika Serikat, Prancis, dan di setiap tempat terdapat pengangguran. Di Palestina-kaum Yahudi. Kaum Yahudi yang dibunuh. Mereka harus disalahkan.
Konflik tahun 1936-1939, Komisi Peel, Woodhead: Partisi Rencana A, B, C
Kaum Arab kemudian berencana melakukan pemogokkan umum 19 April – 12 April 1936. Ide ini muncul untuk mengikuti jejak kesuksesan kaum Arab negara lainnya yang dengan melakukan hal tersebut, berhasil mendapatkan keinginannya:
- Di Irak pemogokkan umum dilakukan pada bulan Juli 1931, disertai demonstrasi di jalan-jalan, yang menyebabkan kemerdekaan di ex mandat Inggris di bawah pimpinan PM Nuri as-Said dan kemudian menjadi anggota penuh Liga Bangsa-Bangsa di Oktober 1932
- Di Suriah pemogokkan umum dilakukan pada 20 Januari – 6 Maret 1936, menyebar ke semua kota-kota besar, dan demonstrasi politik terjadi di seluruh negeri memberikan momentum pada gerakan nasional Suriah. Meski Prancis membalas keras, namun di 2 Maret, sepakat pada pembentukan delegasi Suriah untuk pergi ke Paris melakukan negosiasi perjanjian kemerdekaan Suriah.
- Di Mesir, di 2 Maret 1936, serangkaian negosiasi formal dengan Inggris mulai mengarah ke Perjanjian kemerdekaan Mesir di 1936 dan memungkinkan Inggris tetap menjaga kekuatan di terusan Suez
Bagaimana dengan area di Mandat untuk Palestina?
Ketidakpuasan Arab tentang persoalan imigrasi kaum Yahudi dan penjualan tanah yang dilakuakan Para Arab kepada kaum Yahudi yang telah menjadi fitur permanen opini politik di Palestina selama 10 tahun terakhir, mulai menunjukkan tanda-tanda aktivitas baru dari awal tahun 1933, meningkat dalam intensitas hingga klimaksnya di kerusuhan Oktober dan November. “[Report by His Majesty’s Government in the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland to the Council of the League of Nations of the Administration of Palestine and Trans-Jordan, 31 December 1933]
Bangkitnya kelompok teroris dengan motif politik dan agama, sudah marak terjadi dalam beberapa tahun di negara-negara Arab. Satu diantaranya adalah Ikhwanul Muslimin Mesir yang mencoba memperluas wilayah dengan membuka cabang di Palestina:
‘Abd al-Rahman al-Banna, saudara dari Hasan al-Banna, mendirikannya ketika diutus untuk ke Palestina 3-6 Agustus 1935 (namun resminya baru terjadi di Oktober 1946). Di kerusuhan 1936-1939, Ikhwanul muslim berpartisipasi mengirimkan pula kontingen perusuh dengan jumlah yang sama seperti di tahun 1948 (ini artinya seratusan lebih). Pada tahun 1945, kelompok ini mendirikan cabang di Yerusalem dan di tahun 1947, 25 cabang bermunculan di kota-kota seperti Jaffa, Lod, Haifa, Nablus, dan Tulkarem, dengan total anggauta antara 12.000 sampai 20.000. [lihat juga wikipedia: Ikhwanul Muslim]
Di pertengahan Oktober 1935, terjadi pertemuan 5 delegasi partai Arab di Jerusalem (organisasi Al -Istiqlal tidak ikut), yang memutuskan hendak melakukan aksi bersama [“The Grand Mufti: Haj Amin al-Hussaini, Founder of the Palestinian National Movement”, Z Elpeleg, Shmuel Himelstein, hal.39] dan di bulan Oktober 1935, di Jaffa, terdapat penemuan penyelundupan sejumlah besar amunisi yang berkedok pengiriman semen dari Belgia. Penemuan ini dijadikan momen agitasi bahwa Para Yahudi secara ekstensif berusaha mempersenjatai diri. Setelah mengajukan protes keras kepada pemerintah mandat, kemudian berlanjut menjadi seruan mogok sehari pada tanggal 26 Oktober 1935.
Namun benturan antara Arab-Yahudi di event tersebut tidak maksimal terjadi.
Hampir sebulan kemudian, yaitu pada tanggal 20 November 1935, terjadi baku tembak antara tentara Inggris dan teroris Arab, pimpinan kelompok teroris Sheikh Izzed Din al Qassam, seorang pengungsi politik dari Suriah, agamawan dan diduga kuat terlibat aksi tahun 1929, tewas tertembak. Kematiannya menimbulkan kemarahan luas di kalangan masyarakat Arab, pemakamannya di Haifa dihantarkan banyak orang.
Pada tahun 1930 Sheikh Izz ad-Din al-Qassam mengorganisir dan dan mendirikan Black Hand, sebuah organisasi militan anti-Zionis dan anti-Inggris. Dia rekrut dan atur pelatihan militer kaum tani dan di tahun 1935, anggotanya mencapai 200 dan 800 orang. Mereka ini dipersenjatai diri dengan bom dan senjata api untuk membunuh pemukim Yahudi, salah satu aktifitasnya adalah merusak tanaman para pemukim dan juga sabotase jalur kereta api yang dibangun Inggris.
Momentum kematian al-Qassam, dimanfaatkan 5 delegasi dengan membuat memorandum kepada pemerintah mandat, tanggal 25 November 1935, yaitu:
(1) Pembentukan institusi pemerintahan yang merdeka,
(2) penghentian Immigrasi Yahudi, dan
(3) penghentian penjualan tanah Arab kepada Yahudi.
Para pemimpin partai menekankan bahwa mereka tidak dapat meredam rakyat jika tuntutan mereka tidak terpenuhi. Beberapa serial pertemuan terjadi pada akhir 1935 hingga April 1936 antara Inggris, perwakilan Arab dan Yahudi, namun belum tercapai kesepakatan jumlah formasi keanggotaan perwakilan arab dan Yahudi untuk Dewan Legislatif. [“The Grand Mufti: Haj Amin al-Hussaini, Founder of the Palestinian National Movement”, Z Elpeleg, Shmuel Himelstein, hal.39]
Imigrasi?
“..Sementara kendala tersebut diberlakukan pada imigran Yahudi, para teknokrat di Whitehall dengan senang hati membiarkan imigran Arab, baik resmi maupun tidak. Tidak ada paspor atau visa kualifikasi yang diperlukan. Tidak ada patroli polisi atau investigasi yang pernah diluncurkan. Tidak ada narkotika yang pernah disita, asalkan mereka orang Arab.
Pada tahun 1933, karena panen yang buruk, 35.000 orang Arab berimigrasi dari provinsi Suriah Hauran. 2.000 berasal dari Damaskus dan 10.000 Druze pergi dari Mesir ke Palestina. Bertahun-tahun sebelumnya seluruh suku datang dari utara Hijaz.
Estimasi formal Inggris (Peel Commission Report) mengetahui bahwa penduduk Arab telah 2x lipat dalam 14 tahun (note: 1922-1936). … Dalam kontradiksi mencolok menjalankan mandat, Inggris secara terlarang mencoba mengubah Palestina menjadi negara Arab..” [“The Rape of Palestine and the Struggle for Jerusalem”, Lionel I. Casper, Hal.67]
Laporan di atas ini menyatakan jumlah Imigrasi non Yahudi yang tidak tercatat saja sekurangnya 47.000 orang, sementara imigran Yahudi yang tercatat adalah 30.327 orang.
Dalam minute meeting, 34 sesi yang dilakukan Komisi tetap Mandat 18 Juni 1935, Liga bangsa-bangsa, yaitu pada sesi ke-6 (5 Juni 1935), Lord Lugard mengatakan bahwa Media La Syrie yang terbit pada 12 Agustus 1934, menyampaikan statement dari Gubernur Hauran, Tewfik Bey El-Huriani, bahwa dibeberapa bulan terakhir ini 30.000 – 36.000 warga Hauran telah memasuki Palestina dan menetap di sana. Perwakilan resmi mencatat pernyataan Gubernur bahwa warga Hauran benar-benar telah “menetap”.
Ini baru dari laporan ilegal imigran dari 1 propinsi negara Suriah dan tidak diketahui berapa banyak lagi sumbangsih imigran gelap dari propinsi lain di Suriah dan juga negara-negara Arab lainnya yang memasuki Palestina secara ilegal dan menetap.
Ketika kaum Yahudi, hendak memasuki Palestina, mereka harus mempunyai dokumen masuk, sementara negara-negara Arab tetangga Palestina (Dalam minute meeting tersebut, negara yang disebutkan Trans-Jordan) bahkan tidak memerlukan Paspor ketika memasuki Palestina.
Karena sulitnya mendapatkan data imigrasi NON Yahudi, mari kita bangun estimasi berdasarkan laporan imigran gelap yang tertangkap dan/atau dideportasi, misalnya:
- Tahun 1934: 2.407 orang dideportasi, termasuk 772 Yahudi (32.1%)
- Tahun 1935: 1.557 orang tertangkap ketika masuk secara ilegal, termasuk 565 Yahudi (36.3%). Di tahun itu pula 1.079 orang yang dideportasi, termasuk 245 Yahudi (22.7%). Sebagai tambahannya 1.354 orang telah dideportasi ke SURIAH dan MESIR, termasuk 38 Yahudi (2.8%).
- Tahun 1936: 828 orang terdeteksi masuk secara ilegal, termasuk 198 Yahudi (23.91%). Di tahun itu pula 674 orang yang dideportasi, termasuk 89 Yahudi (13.2%). Sebagai tambahannya 1.220 orang telah di deportasi ke SURIAH dan MESIR, termasuk 5 Yahudi (0.41%).
Sample laporan-laporan tahunan ini mengungkapkan fakta bahwa banyak negara Arab ikut menyumbang kiriman imigran gelapnya ke Palestina, dan jika seluruhnya, secara sederhana dirata-ratakan, maka persentasi kaum Yahudi yang tertangkap hanya 21%-nya saja! Tidak diketahui berapa banyak lagi kaum Arab yang tak tertangkap dan/atau telah menetap di Palestina
Kemudian, dengan menggunakan persentase rata-rata keseluruhan dan juga persentase terendah imigran Arab yang tertangkap dan/atau dideportasi, jika periode tahun 1934-1936 tercatat jumlah imigran Yahudi adalah 132.771, maka estimasi jumlah imigran gelap kaum Arab ke Palestina di periode yang sama adalah 365.760 – 633.232 orang!
Tanah?
“… Broker tanah kadang-kadang membeli bagian atau paket mereka dengan harga yang sangat rendah dan menjualnya 10 dan 20 x kepada pembeli Yahudi. Petani yang berada di desa-desa musha’ sangat marah pada tuan tanah, broker tanah, atau agen setelah tahu bahwa mereka ditipu” [“One Hundred Years of Social Change: The Creation of the Palestinian Refugee Problem“, Stein, Kenneth W, 1991]
Aharon Danin (KKL-JNF) menceritakan percakapan menarik yang dilakukannya pada awal tahun 1940-an dengan Khaled Zu’bi (saudara Sayf al-Din), yang membantunya membeli tanah di desa-desa Zu’biyya, Nazareth Timur: Dia [Zu ‘bi] berkata, ‘Hai, aku tahu dengan baik bahwa pekerjaanmu murni. Kalian membayar dengan uang untuk segala sesuatu, dolar, berkali-kali lipat lebih dari nilai tanahnya. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kalian yang usir kami. Kalian usir kami dengan uang, bukan dengan kekuatan, faktanya adalah kita keluar dari tanah itu. Aku katakan kepadanya: ‘Anda berasal dari suku Zu’biyya yang ada di sini, di Yordan, dan di Suriah, apa bedanya bagi Anda di mana Anda berada, jika Anda berada di sini atau jika Anda dan keluarga Anda berada di sana? … ‘Dia berkata: “sulit bagiku untuk memberitahu Anda, tetapi biar bagaimanapun kuburan nenek moyangku di sini. Aku merasa bahwa kami meninggalkan tempat ini. Ini kesalahan kami, bukan kalian“.. [“Army of Shadows: Palestinian Collaboration with Zionism, 1917-1948”, Hillel Cohen, hal.200]
Bahkan, pemilik tanah Arab melakukan pengusiran aktif pada para petani penggarap ketika Ia ingin menjual tanahnya..Ini dilakukan tanpa membayar kompensasi kepada mereka.. “Secara umum, Orang Arab (bukan orang Yahudi) yang bertanggung jawab melakukan penggusuran agar kosong. Setiap kali penyewa/penggarap Arab tergusur karena pembelian Yahudi, mereka diberi ganti rugi, praktek ini tidak dilakukan ketika Arab menjual kepada Arab” [“One Hundred Years of Social Change: The Creation of the Palestinian Refugee Problem“, Stein, Kenneth W, 1991]. Sebaliknya, “Orang-orang Yahudi … dalam banyak kasus membayar banyak kompensansi kepada penggarap …” [“Laporan Pertama Pembangunan Pertanian dan Penyelesaian Lahan di Palestina”, Lewis French, Direktur Pengembangan, Yerusalem, Desember 23,1931. juga lihat di sini]
Pada 15 April 1936, terjadilah insiden di mana 3 orang Yahudi terbunuh di Nablus dan berlanjut dengan 2 Arab terbunuh di hari berikutnya di lokasi antara Kfar Saba – Petah Tiqvadalam. Pada saat pemakaman di tanggal 17 April, kaum Yahudi dalam kesedihan dan kemarahan mereka berdemonstrasi dan berteriak, “Kami tidak ingin pemerintah ini, kami ingin tentara Yahudi“. Demonstrasi itu dapat dihentikan polisi.
Di tanggal 19 April 1936, terdapat 2 kejadian bersamaan:
- Di Jaffa, Berawal merebak rumors tidak berdasar bahwa sekian Arab terbunuh di beberapa tempat, kejadian ini memicu kemarahan kaum Arab hingga terjadi kerusuhan ditanggal 19-22 April yang memakan korban 16 Yahudi tewas dan 75 luka, 5 kaum non Yahudi tewas dan 72 luka. David Ben-Gurion, di tanggal 20 April 1936, saat melayat pemakaman 9 korban kerusuhan di Jaffa hari sebelumnya, menyatakan, “kaum Yahudi hanya akan aman di komunitas yang 100% Yahudi dan dibangun di atas tanah Yahudi.“
- Di Nablus, diselenggarakan konferensi aktivis nasionalis yang dihadiri oleh anggota organisasi Istiqlal dan asosiasi pemuda Muslim, konferensi itu menghasilkan keputusan yaitu melakukan pemogokan massal dan pembentukan dewan komite serta mengajak kota-kota lainnya untuk ikut aksi ini sampai tuntutan dewan nasional terpenuhi.
Ajakan mogok nasional masih belum berjalan karena kota-kota lain masih menunggu keputusan para pimpinan partai. Pada tanggal 25 April 1936 terbentuklah Komite Tinggi Arab (HAC), diketuai Haji Amin al-Hussaini, yang beranggotakan 10 anggota (termasuk wakil 6 ketua partai dan perwakilan Kristen) mereka mengeluarkan seruan untuk melanjutkan pemogokan hingga pemerintah mandat memenuhi 3 tuntutan tanggal 25 November 1935: (1) larangan imigrasi Yahudi; (2) larangan transfer tanah Arab untuk kaum Yahudi; (3) pembentukan Pemerintah Nasional bertanggung jawab kepada dewan perwakilan.
Tanah?
“Sepanjang Mandat, keluarga Arab terkemuka, termasuk Husseini dan para tokoh oposisi, menjual tanah kepada kaum Zionis, meskipun mereka menyatakan dirinya nasionalis. Kepemilikan tanah Yahudi meningkat antara tahun 1920 dan tahun 1947 dari sekitar 456.000 dunam menjadi sekitar 1,4 juta dunam (Menurut Stein: per Mei 1948 adalah 2 juta dunam / 2,000 Km²). Penghambat utama kaum yahudi dalam pembelian tanah, setidaknya selama tahun 1920-an dan 1930-an, adalah kurangnya dana, tidak satu pun kaum arab yang segan menjual … Dan sebuah tanda tanya besar menggantung di atas etos “nasionalis” para elite Palestina: para keluarga Husseini juga Nashashibi, Khalidi, Dajani, dan Tamimi yang persis sebelum dan selama periode Mandat menjual tanah kepada institusi Zionis dan/atau melayaninya sebagai agen dan mata-matanya” [“1948: a history of the first Arab-Israeli war”, Benny Morris, hal.14, 83. Atau di: middleeastpiece.com. Note: 1 Dunam besarnya bervariasi di masing negara, untuk Palestina 1 dunam = 1000 m²]
Muhammad al-Nimer Hawwari, yang memimpin Najjadah, mengambil mikrofon di sebuah reli di Jaffa dan berkata, “Selama 20 tahun kita telah mendengar pembicaraan terhadap broker tanah dan penjual tanah, namun di sini mereka duduk di baris depan di setiap pertemuan nasional“. Penyelenggara reli dengan cepatnya, mematikan pengeras suara [“Army of Shadows: Palestinian Collaboration with Zionism, 1917-1948”, Hillel Cohen, hal.225]
Imigrasi?
Laporan kongres Amerika di tahun 1939:
Ketika deklarasi Balfour dikeluarkan,..Populasi Yahudi di Palestina berkembang dari 55.000 di tahun 1918 menjadi 450.000. Populasi Arab dari 400.000 pada tahun 1920 menjadi sekitar 950.000 (note: tahun 1937), meningkat lebih dari 50% dalam 17 tahun. Di bawah pemerintahan Turki kependudukan hampir tetap … 150.000 kaum Yahudi dan sejumlah yang sama dari kaum Arab telah memasuki negara itu sejak itu.. [Freerepbublic.com: The Jewish Homeland and the Palestine Mandate, Extension of Remarks of Hon. John W. McCormarck of Massachusetts in The House of Representatives, Thursday, July 6, 1939 atau di sini]
Selama periode ajakan mogok Nasional,
terjadilah pemberontakan bersenjata di area perdesaan yang terorganisir. Mereka melakukan sabotase pada pipa minyak dari Irak Petroleum Company (IPC) yang dibangun beberapa tahun sebelumnya, jalur kereta dan kereta api dan juga sasaran sipil yang lagi-lagi pada para permukiman Yahudi di desa dan kota baik itu pertanian maupun bukan.
Pada Mei 1936, Pemerintahan Mandat Inggris membentuk satuan unit Yahudi yang dilengkapi persenjataan dan kendaraan lapis baja sebagai bantuan tambahan kepolisian dan juga menurunkan satuan tambahan pasukan dari Mesir.
Tanggal 2 Juni 1936 terjadi penyerang terhadap jalur kereta api yang mengakibatkan di tanggal 4 Juni 1936 pemerintah mandat mengangkut sejumlah besar pemimpin Palestina ke kamp penahanan di Auja al-Hafir di gurun Negev.
Pada bulan Juli 1936 diberlakukan darurat Militer.
Kemudian selama musim panas 1936, pemerintah Inggris meminta bantuan Raja Ibn Saud dari Saudi, PM Irak Nuri Al-Said dan Emir Abdullah untuk membujuk pemberontak Palestina menghentikan pemogokkan dan kekerasan. Tanggal 10 Oktober 1936, 3 surat dengan isi identik dari 3 negara dikirimkan ke pimpinan HAC dan tanggal 12 Oktober 1936, pemogokan yang dipimpin HAC, berhenti dilakukan.
Periode pemogokkan 19 April s.d 22 Oktober 1936, menghasilkan jumlah korban tentara tewas 37 dan 206 luka. Penduduk sipil tewas 277 (187 Muslim Arab, 8 Kristen Arab, 80 Yahudi, 2 non Arab) dan 1131 luka. Namun korban yang tidak tercatat dari kalangan arab diperkirakan lebih dari 1000 orang.
 |
Peta Komisi Peel |
Sejak tanggal 18 Mei 1936, sebenarnya telah dibentuk KOMISI PEEL dan di tanggal 29 Juli 1936, keanggotaannya telah dipilih namun mereka baru datang ke Palestina pada tanggal 11 November 1936.
Komisi Peel menghasilkan rekomendasi bahwa zona antara Jaffa dan Yerusalem akan tetap berada di bawah mandat Inggris dan pengawasan internasional sementara sisanya, dibagi menjadi wilayah negara Yahudi (sesuai jumlah tanah yang dimiliki) serta wilayah negara Arab.
Sampai pembentukan dua negara, komisi juga merekomendasikan bahwa Kaum Yahudi harus dilarang membeli tanah di daerah yang dialokasikan untuk negara Arab.
Untuk mengatasi masalah demarkasi, diusulkan pertukaran lahan bersamaan dengan pengalihan penduduk (225.000 penduduk arab). Demarkasi perbatasan yang tepat kedua negara dipercayakan kepada komite teknik partisi.
Laporan komisi Peel juga menemukan bawah keluhan Arab tentang pengambilan lahan Yahudi adalah tidak berdasar, “banyak tanah yang sekarang menghasilkan kebun jeruk dulunya merupakan bukit pasir atau rawa dan tidak tidak pernah ditanami ketika dibeli …. Ketika pembelian sebelumnya sedikit sekali buktinya bahwa para pemilik dulunya memiliki sumber daya atau pelatihan yang dibutuhkan untuk pengembangan lahan tersebut“.
Komisi juga menemukan bahwa “lebih sedikit jumlah lahan yang dibeli kaum Yahudi daripada peningkatan populasi kaum Arab“.
Laporan juga menyimpulkan bahwa bahwa kehadiran Yahudi di Palestina dan pekerjaan administrasi Inggris, telah meningkatkan tingkat upah, standar perbaikan hidup dan kesempatan kerja. Dengan partisi, imigrasi kaum Yahudi akan berada di wilayah negara Yahudi.
Dalam memoarnya, Raja Yordan Abdullah menulis:
..Lebih lanjut, telah cukup jelas untuk semua, baik melalui peta yang disusun komisi Simpson dan lainnya oleh komisi Peel, bahwa kaum Arab itu boros saat menjual tanah dan ketika meratapi dan menangisi, tidaklah berguna. [King Abdullah of Jordan, My Memoirs Completed (Al-Takmilah), Pp. 88-89. In a letter written to ‘Abd al-Hamid Sa’id on June 5, 1938]
Kaum Yahudi melalui kongres Zionis ke-20 di Zurich, Agustus 1937, setelah voting: Menerima: 300 (299) vs Menolak: 160 (158), maka rekomendasi peel ini, Mereka TERIMA secara bersyarat dan samar [“Righteous Victims: A History of the Zionist-Arab Conflict, 1881-1998, Benny Morris, hal.143; “Jihad and Genocide”, Richard L. Rubenstein, hal.71; “Israel Or Palestine? Is the Two-state Solution Already Dead?: A Political.. “, Hasan Afif El-Hasan, hal.52].
[Note: Putusan Liga Bangsa-bangsa sebelumnya menyepakati bahwa mandat untuk Palestina/rumah nasional kaum Yahudi hanyalah: Transjordan + Sanjak: Yerusalem + Nablus (Balqa) + Acre. Sedangkan sisa lainnya, yaitu seluruh area dalam mandat Inggris dan Perancis semuanya untuk kaum Arab. Kemudian, LBB melakukan partisi pertama memotong Tansjordan untuk diberikan lagi kepada kaum Arab. Partisi ini, makin mengurangi luas wilayah rumah nasional bagi kaum Yahudi]
Sementara kaum Arab, baik itu Komite Tinggi Arab (AHC) maupun konferensi yang diadakan di Bludan, Suriah, tanggal 08 Sep 1937, MENOLAK rekomendasi dan juga menolak untuk menganggapnya sebagai solusi [“Encyclopedia of the Palestinians”, Philip Mattar, hal.104].
Padahal jika saja, kaum Arab saat itu menerimanya, maka porsi negara Palestina pastinya jauh lebih besar dari negara Israel.
Pemerintah Inggris MENERIMA rekomendasi komisi Peel tentang pembagian Palestina dan pengumuman itu disahkan Parlemen di London, namun seiring terjadinya kekerasan di tahun itu, yang dimulai dengan terbunuhnya Komisaris Galilea Lewis Andrews oleh kaum Arab di Nazareth. (26 September 1937), maka secara perlahan pemerintah Inggris meninggalkan rekomendasi tersebut.
Pada tanggal 30 September 1937,
dikeluarkan aturan bahwa pemerintah Mandat dapat menahan dan mendeportasi politisi di bagian manapun dalam kerajaan Inggris, memberikan otorisasi pada Komisaris Tinggi untuk melarang asosiasi yang tujuannya bertentangan dengan kebijakan publik. Haji Amin al-Husseini kemudian dicopot dari kepemimpinan Dewan Agung Muslim dan Komite Wakaf Umum. Kemudian, Komite Nasional lokal dan Komite Tinggi Arab (AHC) dibubarkan; lima pemimpin Arab ditangkap dan dideportasi; Jamal al-Husseini melarikan diri ke Suriah; Haji Amin al-Husseini melarikan diri ke Libanon, semua perbatasan dengan Palestina ditutup, sambungan telepon ke negara-negara tetangga diputuskan, sensor media dilakukan dan dibuka kamp tahanan dekat Acre.
Di akhir bulan Februari 1938,
Pemerintah Inggris membentuk sebuah komisi teknis yang dinamakan Komisi Woodhead untuk memerinci rekomendasi partisi Peel, tapal batas partisi, aspek keuangan dan ekonomi dari komisi Peel. Komisi ini melakukan tugasnya pada April-Agustus 1938 dan menerbitkan kesimpulan pada tanggal 9 November 1938. Selama 3 bulan lebih di Palestina, mereka mengambil bukti saksi di 55 sesi. namun tidak ada kaum Arab yang datang untuk mengajukan bukti, padahal raja Abdullah dari Trans-Jordan telah memberikan dukungan tertulis untuk komisi Woodhead yaitu untuk partisi wilayah dan bahkan telah berkenan menerima Komisi tersebut untuk bertemu di Amman.
Komisi ini kemudian menyampaikan temuan bahwa suatu Negara Arab mandiri hanya bisa dibentuk jika “berisi sejumlah besar kaum Yahudi yang berkontribusi melalui pajak pendapatan ini akan dengan sendirinya memungkinkan negara untuk menyeimbangkan anggaran” Karena Negara Arab akan membutuhkan wilayah mandat untuk pertanian dan Negara Yahudi akan membutuhkan mereka untuk industri. Komisi mengusulkan suatu gabungan kepabeanan. Dalam laporannya, mereka melampirkan 3 kemungkinan modifikasi dari rekomendasi partisi komisi Peel, yang mereka sebut sebagai Rencana A, B dan C dan ketiga rencana ini adalah membentuk suatu negara Yahudi yang dikelilingi oleh negara Arab yang lebih besar dan juga zona pemerintah Inggris:
 |
Peta Rencana Peel vs Rencana Woodhead A, B, C |
Rencana A,
Dengan menggunakan dasar rencana Peel, kemudian digambar ulang tapal batas pantai negara Yahudi. Jika pada rencana Peel, Jaffa masuk dalam Mandat, maka pada rencana A, menjadi bagian negara Arab. Pada rencana A, diperkirakan negara Arab akan memiliki 7.200 Yahudi dan 485.200 Arab, sementara negara Yahudi akan memiliki 304.900 Yahudi dan 294.700 Arab
Rencana B,
sama seperti rencana A, namun ukuran negara Yahudi dikurangi, Galilea masuk ke Mandat Inggris, bagian selatan Jaffa menjadi negara Arab. Pada rencana B, negara Yahudi negara akan memiliki 300.400 Yahudi dan 188.400 Arab (50.000 di kabupaten Haifa), sementara 90.000 Arab dan 76.000 Yahudi akan hidup di bawah pemerintahan Inggris.
Rencana C,
merupakan modifikasi lanjutan, ukuran negara Yahudi dikurangi sampai ke pesisir pantai antara Zikhron Yaakov dan Rehovot. Menempatkan Palestina utara, termasuk Lembah Yizreel dan semua area semi kering di Palestina Selatan ke dalam mandat untuk dikelola hingga populasi Arab dan Yahudi sepakat pada tujuan akhir mereka. Rencana C ini sangat dianjurkan.
Laporan komisi Woodhead yang disampaikan ke Parlemen, diterbitkan pada tanggal 9 November 1938. Pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan kebijakan bahwa “kesulitan politik, administrasi dan keuangan yang terkandung dalam proposal untuk membuat negara-negara Yahudi dan arab Independen, di Palestina sangatlah besar sehingga solusi masalah ini menjadi tidak praktis“
Kekerasan berlanjut hingga sepanjang tahun 1938. Dalam 15 bulan terakhir pemberontakan terdapat 936 pembunuhan, 472 bom dilemparkan dan meledak; 364 kasus perampokan bersenjata; 1,453 kasus sabotase terhadap pemerintah dan properti komersial; 323 orang diculik; 72 kasus intimidasi; 236 Yahudi dibunuh Arab dan 435 Arab dibunuh Yahudi, sebagian besar ketika mempertahankan permukiman; 1.200 pemberontak tewas oleh polisi dan militer dan 535 terluka.
Tidak semua kalangan Arab rupanya sepakat dengan arah politik haji Amin dan gerombolannya, banyak dari mereka kemudian berbalik melawan para pemberontak Arab. Di akhir tahun 1938, Pemerintah Inggris membentuk “kelompok perdamaian” (fasa’il al-salam) atau “unit Nashashibi” dengan merekrut kaum tani Arab untuk tujuan memerangi para pemberontak Arab, awalnya mereka mewakili kepentingan para tuan tanah dan tokoh di pedesaan, namun kemudian di daerah lain juga muncul unit serupa (Nablus dan Gunung Carmel).
Kalangan oposisi utama kaum Arab juga mendekati agensi Yahudi untuk meminta bantuan pendanaan dalam melawan pemberontak Arab. Di menjelang akhir pemberontakan, yaitu di bulan Mei 1939, pemerintah mandat membubarkan kelompok perdamaian dan menyita senjata mereka, namun karena kelompok ini telah “tercemar” di mata kaum pemberontak, maka mereka tidak punya pilihan selain melanjutkan pertempuran melawan pemberontak dan pendanaannya disediakan kaum Zionis.
Pihak berwenang Inggris juga mempertahankan, membiayai dan mempersenjatai para polisi Yahudi, Pemerintah mengijinkan pengamanan cadangan dan penjaga pemukiman untuk membawa senjata, para pemukim Yahudi daerah terpencil dibagikan senjata dan Haganah dibiarkan memperoleh senjata. Mereka (Pemerintah Inggris dan gerakan Zionis) bahu-membahu melawan musuh bersama, yaitu para teroris Arab. [Untuk Konflik 1936-1938, lihat juga wikipedia: 1936–39 Arab revolt in Palestine]
Sementara itu,
dikalangan Yahudi, beberapa memutuskan lebih aktif menyerang, di tahun 1931, sejumlah orang dari Haganah memisahkan diri dan menamakan diri mereka: Irgun (Ha-Irgun Ha-Tzvai Ha-Leumi be-Eretz Yisrael, “Organisasi Kemiliteran Nasional di Tanah Israel”, disingkat IZL di baca: Etzel). Kelompok ini melakukan 35x insiden pemboman dan penembakan dari tahun 1937-1939 dengan total korban tewas dari kalangan Arab adalah 242 orang.
Kemudian,
Bertepatan dengan terbitnya laporan Komisi Woodhead di tanggal 9 November 1938, pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan hendak mengakhiri Mandat namun tetap akan mengatur Palestina hingga rezim baru didirikan. Untuk tujuan ini, sekretaris Kolonial, Malcolm MacDonald mengundang delegasi Arab dan Yahudi ke London untuk membahas bentuk pemerintahan apa yang harus dibentuk. Konferensi di London diselenggarakan tanggal 7 Februari s.d 15 Februari 1939. Dalam konferensi di London tersebut:
- Delegasi Arab menolak apapun yang diusulkan Inggris, dan menyampaikan posisi mereka di tanggal 9 Februari 1939, yaitu sebagaimana yang diinginkan Jamal Husseini (dalam pengasingan): Kemerdekaan, tidak ada Rumah Nasional bagi kaum Yahudi di Palestina, mengganti mandat dengan perjanjian dan meminta imigrasi Yahudi dihentikan.
- Delegasi Yahudi menyampaikan poin: tidak ada status minoritas bagi komunitas Yahudi di Palestina, Mandat agar tetap sebagaimana seharusnya, imigrasi Yahudi ke Palestina agar tetap berlanjut namun disesuaikan dengan kapasitas negara dalam menyerapnya, Investasi untuk mempercepat pembangunan di Palestina dan delegasi bersedia menerima partisi negara seperti rekomendasi Peel namun dengan persyaratan tertentu. Pada pertemuan di 24 Februari 1939, Ben Gurion meringkasnya menjadi 2 poin, yaitu melanjutkan Mandat dan menolak apapun yang akan menyiratkan status minoritas Yahudi.
- Di pertemuan tanggal 24 Februari 1939, MacDonald mengumumkan garis-garis besar kebijakan Inggris: Setelah masa transisi, Palestina akan menjadi negara merdeka yang bersekutu dengan Inggris dan minoritas Yahudi statusnya akan dilindungi.
- Pada tanggal 26 Februari 1939, kedua delegasi menerima ringkasan atas apa yang Inggris rencanakan. Pada 27 Februari 1939, koran area Mapai, Palestina, yaitu Davar, menerbitkan kabel dari Ben Gurion: “Ada skema hendak membubarkan rumah nasional dan mengubahnya menjadi aturan para pimpinan geng” dan hari itu juga meledak serangkaian bom di Palestina yang menewaskan 38 Arab.
- Setelah tanggal 27 Februari 1939 tidak ada kemajuan berarti bahkan banyak delegasi meninggalkan London. Meeting ditutup pada tanggal 17 Maret 1939 dan Pemerintah Inggris menyampaikan bahwa proposal Inggris akan diterbitkan 2 bulan kemudian, yaitu tanggal 17 Mei 1939.
Proposal Inggris tersebut kelak dikenal sebagai British White Paper 1939 yang isinya adalah:
Bagian I. Konstitusi: Telah dinyatakan bahwa dengan lebih dari 450.000 orang Yahudi yang sekarang menetap di mandat, Deklarasi Balfour tentang “sebuah rumah nasional bagi kaum Yahudi” telah terpenuhi dan akan dibentuk sebuah Palestina Merdeka dalam waktu 10 tahun, yang diatur bersama kaum Arab dan Yahudi:
“..Yang mulia Pemerintah, oleh karenanya sekarang menyatakan dengan tegas bahwa bukanlah kebijakannya Palestina harus menjadi Negara Yahudi. Mereka menganggap itu sebagai hal yang bertentangan dengan kewajiban mereka kepada kaum Arab di dalam Mandat, demikian pula dengan jaminan yang telah diberikan kepada kaum Arab di masa lalu, bahwa populasi Arab Palestina harus dibuat menjadi suatu Negara Yahudi adalah bertentangan dengan keinginan mereka
Tujuan Yang mulia Pemerintah adalah membentuk dalam waktu 10 tahun sebuah negara merdeka Palestina … Negara merdeka seharusnya satu di mana Arab dan Yahudi berbagi pemerintahan sebagai sebuah cara untuk memastikan bahwa kepentingan mendasar setiap komunitas yang terjaga“
[Note: Putusan Liga Bangsa-bangsa sebelumnya menyepakati bahwa mandat untuk Palestina/rumah nasional kaum Yahudi hanyalah: Transjordan + Sanjak: Yerusalem + Nablus (Balqa) + Acre. Sedangkan sisa lainnya, yaitu seluruh area dalam Mandat Inggris dan Perancis semuanya untuk kaum Arab. Kemudian, LBB melakukan partisi pertama memotong Tansjordan untuk diberikan lagi kepada kaum Arab, sehingga wilayah rumah nasional bagi kaum Yahudi yang tersisa hanyalah Sanjak: Jerusalem + Balqa (nablus) + Acre saja. Sekarang, pemerintah Inggris, malah berusaha menghilangkan peruntukan untuk rumah nasional kaum Yahudi]
Bagian II. Imigrasi: imigrasi Yahudi ke Palestina di bawah mandat Inggris akan dibatasi sejumlah 75.000 untuk selama 5 tahun ke depan, setelah itu ijinnya tergantung persetujuan kaum Arab:
‘Yang mulia Pemerintah tidak [..] menemukan di Mandat atau di laporan berikutnya kebijakan yang mendukung pandangan bahwa pembentukan Negara Yahudi di Palestina tidak bisa dilakukan kecuali imigrasi dibiarkan berlanjut tanpa batas. Jika imigrasi memiliki efek buruk pada posisi ekonomi di area itu, jelas harus dibatasi; demikian pula, jika secara serius berdampak merusak posisi politik di area itu, yang merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan … tidak dapat dipungkiri bahwa ketakutan akan tanpa batasnya imigrasi Yahudi tersebar luas di antara Arab .. Jika dalam keadaan ini imigrasi dilanjutkan … permusuhan fatal antar kedua bangsa akan abadi, dan situasi di Palestina dapat menjadi sumber permanen gesekan antar semua negara dekat dan Timur Tengah.
Imigrasi Yahudi selama 5 tahun ke depan … menjadikan penduduk Yahudi kira-kira 1/3 populasi negara itu … dari awal April tahun ini sampai dengan 4 tahun ke depan diijinkan 75.000 imigran Yahudi… kuota pertahun selama 5 tahun ke depan adalah 10.000 imigran Yahudi dengan pemahaman bahwa kekurangan di 1 tahun dapat ditambahkan ke kuota tahun-tahun berikutnya … Selain itu, sebagai solusi pada masalah pengungsi Yahudi, 25.000 pengungsi akan diterima jika Komisaris Tinggi puas dengan pemenuhan ketentuan pemeliharaan bagi para pengungsi … Setelah jangka waktu 5 tahun (Maret/April 1944), tidak ada lagi imigrasi Yahudi lanjutan KECUALI disetujui kaum Arab Palestina“
 |
Batasan Pembelian Tanah |
Bagian III. Tanah: Sebelumnya tidak ada pembatasan diberlakukan pada penjualan tanah kaum Arab kepada kaum Yahudi, sekarang White Paper menyatakan:
“..di daerah tertentu TIDAK ADA penjualan tanah Arab, di daerah lainnya penjualan dibatasi jika petani Arab hendak mempertahankan standar hidup mereka dan kemudian tidak menciptakan populasi Arab yang tak berlahan. Dalam keadaan ini, Komisaris Tinggi akan diberikan kekuasaan untuk melarang dan mengatur penjualan tanah.” [Text lengkap White Paper 1939, lihat: di sini]
Di bulan Februari/Maret 1940, Komisaris Tinggi Inggris untuk Palestina mengeluarkan dekrit membagi Palestina (Total luas 10.429 mil², termasuk 266,5 km² permukaan air: Danau Tiberias setengah Laut Mati) menjadi tiga zona aturan pembelian tanah bagi kaum Yahudi (baik oleh JNF ataupun pribadi): Zona A (6615 mil², ± 63%): Pembelian tanah dilarang, Zona B (3295 mil², ± 32 %): pembelian tanah dibatasi dan tergantung kebijaksanaan Komisaris Tinggi, Zona bebas (519 mil², ± 5%): tidak dibatasi [Sumber: Esco Foundation, 1947)
Ketika memutuskan hendak menyampaikan White Papernya, PM Inggris Neville Chamberlain menyampaikan seperti ini:
“Jika kita harus melukai perasaan salah satu pihak, mari kita lukai perasaan kaum Yahudi dan bukan kaum Arab” [Misal di: “The Rape of Palestine and the Struggle for Jerusalem”, Lionel I. Casper, hal.77. “The Rise of Israel: A History of a Revolutionary State”, Jonathan Adelman, hal.62]
White Paper tersebut disetujui Majelis rendah Inggris (House of Commons), di tanggal 22 Mei 1939, melalui voting “apakah White Paper konsisten atau tidak dengan ketentuan mandat?”, hasilnya: 268 (ya/konsisten) VS 179 (tidak). Besoknya, Majelis tinggi Inggris (house of lord) menerima kebijakan baru ini tanpa melakukan voting [“A Survey of Palestine – prepared in December 1945 and Januari 1946 for the information of the Anglo-American Committee of Inquiry”, The Institute of Palestine Studies, Washington. Vol.1. Hal.54.]
Menanggapi White Paper Inggris ini, kaum Arab dan juga kaum Yahudi sama-sama menolaknya walaupun alasan penolakan mereka berbeda. Komisi tinggi Arab/Nasional (HAC/HNC) menolak white paper melalui voting 6 vs 4, (sebelumnya banyak dari delegasi menerimanya namun kemudian Amin Husseini berhasil memaksakan keputusannya dan memenangkan voting untuk menolak).
Biarpun ditolak kedua komunitas,
Inggris tetap memaksakan implementasi White Paper di Palestina. Implementasi paksa ini dilakukan bahkan BELUM mendapat persetujuan dewan Liga Bangsa-Bangsa padahal menurut aturannya pasal 22 LBB, keputusan baru bisa berjalan setelah saran hasil pemeriksaan komisi tetap mandat: “Level otoritas, kontrol, atau administrasi yang diterapkan penerima Mandat harus,..didefinisikan secara jelas tiap kasusnya dihadapan Dewan…Sebuah Komisi tetap..untuk menerima dan memeriksa laporan tahunan para penerima mandat dan untuk memberikan saran kepada Dewan pada segala hal yang berkaitan dengan ketaatan pada mandat“.
Glasgow Herald, 13 Juli 1939, melaporkan bahwa 5 dari 7 anggota komisi tetap Mandat menyatakan bahwa White Paper tidak compatible dengan mandat dan menuduh sekretaris kolonial telah menjungkirbalikan mandat.
Hingga 8 tahun kemudian, White Paper ini belum pernah mendapatkan persetujuan Dewan LBB, sebagaimana disampaikan dalam memorandum pemerintah Inggris kepada PBB, yang berjudul, “Political History of Palestine under British Administration”, yang terlampir di surat komite Ad Hoc Inggris untuk Persoalan Palestina kepada PBB tanggal 18 Agustus 1947, poin no.110-111:
110. Pernyataan kebijakan baru telah di periksa oleh Komisi tetap Mandat di sesi ke-36, bulan Juni 1939, dan komisi MELAPORKAN bahwa:
“Kebijakan yang ditetapkan dalam White Paper tidak sesuai dengan penafsiran yang diperjanjikan antara penerima Mandat dan Dewan, Komisi yang selalu berada pada Mandat Palestina“
Mereka melanjutkan untuk mempertimbangkan apakah interpretasi baru White Paper yang dibuka pada Mandat tidak melenceng. 4 dari 7 anggota: “merasa tidak mampu menyatakan bahwa kebijakan White Paper sudah sesuai mandat..“
111. Telah diniatkan oleh Yang mulia pemerintah untuk memperoleh persetujuan dari Dewan Liga untuk kebijakan baru mereka. namun terhalang melakukannya karena pecahnya perang di bulan September (note: 1 September 1939 – 2 September 1945 adalah perang dunia ke-2)
Beberapa alasan mengapa Inggris lebih suka memihak Arab daripada Yahudi:
- Ketersediaan pasokan Minyak, karena perang dunia ke-1, telah memberikan pelajaran penting akan kecukupan dari suply ini dan lokasinya ada di negara-negara kaum Arab.
- Apapun putusan Inggris tentang Palestina, Kaum Yahudi tidak punya pilihan selain mendukung Inggris dalam perang melawan Jerman dan aliansinya. Inggris harus tetap merangkul Jordania, Irak dan Arab Saudi.
- Inggris belum sembuh dari himpitan hutang ke Amerika sebesar US$ 4M (tahun 1917-1918, namun di tahun 1933, Inggris berhenti membayar, sehingga pada tahun 1934, masih berhutang sebesar US$4.4 M dan tidak pernah dibayar) akibat perang dunia ke-1 juga perekonomiannya baru membaik setelah depresi ekonomi (1929-1933), sehingga bersekutu dengan kaum Arab adalah konsekuensi logis mengamankan surplus keuangan di area koloninya.
Perang dunia ke-2, dimulai ketika Jerman menginvasi Polandia dan setelah perang pecah, pada bulan September 1939, kepala Badan Yahudi untuk Palestina David Ben-Gurion yang kelak menjadi Perdana Menteri pertama negara Israel menyatakan:
“Kita akan bersama Inggris dalam perang ini seolah-olah tidak ada White Paper, dan Kita akan lawan White Paper seolah-olah tidak ada perang.“
[Sekurangnya ada 3 variasi ucapan, misal di: “The Israel-Palestine Conflict: One Hundred Years of War”, James L. Gelvin, hal.120. “It Takes a Dream: The Story of Hadassah”, Marlin Levin, hal.164. “Nine Lives of Israel: A Nation’s History through the Lives of Its Foremost …”, Jack L. Schwartzwald, hal.46].
Sekitar 134.000 s.d 136.000 kaum Yahudi Palestina secara sukarela mendaftarkan diri diketentaraan Inggris dan yang diterima dalam ketentaraan Inggris hingga berakhirnya perang dunia ke-2, sekitar 26.125 atau 30.000. Sementara tentara Inggris dari kaum Arab Palestina tercatat: 9000 atau 12.446. Resimen Palestina terbentuk di tahun 1942 yang terdiri dari 3 batalion Yahudi dan 1 batalion Arab.
Ketika kaum Yahudi hampir resmi mempunyai negara sendiri, maka pada tanggal 12 April 1948, dibentuklah Dewan Negara Sementara. Pada hari deklarasi kemerdekaan negara Israel, di tanggal 14 Mei 1948, tindakan konstitusional pertama yang dilakukan Dewan Negara Sementara Israel adalah, “Semua undang-undang yang dihasilkan dari White Paper Pemerintah Inggris Mei 1939, mulai tengah malam ini dinyatakan BATAL dan TIDAK BERLAKU, ini termasuk ketentuan Imigrasi dan juga aturan penjualan tanah di bulan Februari 1940” [Lihat juga Wikipedia: White Paper 1939]
Di bulan Juli 1940, kelompok bawah tanah Yahudi, Irgun pecah:
- Kelompok dominan pimpinan Davied Raziel, berpendapat perlunya mendukung dan membantu Inggris diantaranya sebuah unit Irgun dikirim ke Irak membantu pasukan Inggris berperang melawan Jerman. Pada tahun 1941, Irgun David Raziel, tewas di Irak
- Sebagian kecil, pimpinan Avraham Stern membentuk organisasi yang dinamakan LEHI (Lohamei Herut Israel, “Para Pejuang Kemerdekaan Israel”), kelompok ini anti Inggris dan mengajukan proposal kepada Jerman untuk membatu Jerman untuk mengusir Inggris dari Timur tengah, sebagai gantinya agar mereka diberikan negara Yahudi di Palestina. Proposal ini tidak pernah ditanggapi Jerman dan Ia sendiri mati dibunuh Inggris di tahun 1942.
upaya Inggris untuk memblokir imigrasi Yahudi ke Palestina memicu resistensi dan berlanjut dengan kekerasan yang dilakukan kelompok bawah tanah Zionis. Sebelumnya, kekerasan yang pernah dilakukan Irgun telah mereda selama 5 tahun sejak 1939, namun kemudian mulai lagi di tahun 1944-1948 dengan 31x insiden.
Korban mereka diperiode ini tertuju pada kepolisian inggris dan aparat Imigrasi Inggris. Hal ini terjadi sampai berakhirnya Perang dunia ke-2 dan setelah itu korbannya meluas ke aparat bersenjata Inggris dan apapun yang berhubungan dengan Inggris hingga kemerdekaan Israel.
Sementara itu,
di kalangan Arab Palestina, kelompok klan Nashashibi mendukung Inggris, sementara kelompok Haji Amin al-Huseini mendukung Jerman. Pada 20 Januari 1941, Haji Amin al-Hussein mengirim surat kepada Hitler memohon pernyataan pengakuan Jerman untuk kemerdekaan Arab (termasuk Palestina) dari pemerintahan kolonial Inggris dan Perancis namun belum ditanggapi hingga kemudian Hitler bertemu Haji Amin Husseini di tanggal 28 November 1941 yang diliput media Jerman.
Dalam pertemuan tersebut, sang Fuhrer dengan piawainya menolak halus diserti penjelasan bahwa Jerman selama ini telahtanpa kompromi melawan Yahudi dan sedang berperang hidup mati melawan benteng pelindung kekuatan Yahudi, yaitu Inggris dan Soviet, kerajaan Judea-Communist di Eropa.
Bahwa janji-janji platonik adalah sia-sia dalam perang hidup dan mati tanpa bantuan persenjataan dan pasukan, bahkan sedikit bentuk simpati itu sendiri telah ditunjukkan melalui pertempuran pada operasi di Irak.
Note:
Operasi di Irak: kudeta yang dilakukan Al Gailani pada pemerintah Irak saat itu dan penyerangan basis Inggris oleh Jerman di Habbaniya, di bulan April 1941, sementara di 9 Mei 1941, Haji Amin Hussein, di sebuah acara Radio, Ia mengeluarkan Fatwa untuk memerangi Inggris
Bahwa tidak lama lagi pasukan Jerman akan menuju Kaukasus Selatan dan segera setelah itu terjadi Sang Fuhrer sendiri yang akan memberikan jaminan pada dunia Arab bahwa saat kebebasan telah tiba, untuk itu deklarasi kemerdekaan agar ditunda sejenak beberapa bulan hingga tank dan sekuardon udara Jerman muncul di Kaukasus selatan, maka seruan yang diminta Mufti akan terjadi di dunia Arab.
Haj Amin tampaknya puas dengan jawaban sang Fuhrer, oleh karenanya, sejak saat itu hingga 7 Mei 1945, Haji Al Husseni tinggal di Jerman, membantu merekrut para muslim untuk berperang bagi Jerman. Sejak 15 Mei 1946 – Agustus 1959, Ia menetap di Mesir dan setelah itu hingga wafat di tanggal 4 Juli 1974, Ia menetap di Libanon.
Konflik Inggris-Yahudi, Anglo-American Inquiry, Partisi UN 1947 dan Kemerdekaan Israel
Kebijakan ilegal WhitePaper 1939, memuat sejumlah alasan pembenaran tentang mengapa imigrasi Yahudi perlu dibatasi dan menetapkan batasan penerimaan imigran Yahudi sejumlah 75.000 selama 5 tahun (April 1939 – Maret/April 1944). Namun realisasinya malah jauh panggang dari api.
Setelah berakhirnya periode 5 tahun White Paper, sejumlah 24.000 sertifikat tidak termanfaatkan!
Bahkan, hingga perang dunia ke-2 (September 1945) berakhir, masih juga tersisa 10.398 Sertifikat ex white paper.
- Padahal puluhan ribu pengungsi Yahudi, termasuk korban Holocaust Jerman, telah berlayar ke Palestina dengan kapal yang penuh sesak dan juga banyak yang telah masuk ke Palestina namun mereka: diusir, ditangkapi, dipenjara, dideportasi dan/atau ditahan di penjara penampungan pengungsi di Siprus.
Sejak terjadi pembatasan ijin masuk Imigran, maka imigrasi Yahudi ke Palestina dilakukan secara gelap (Aliyah Bet = imigran gelap periode white paper, 1939-1944), awalnya kapal kecil yang digunakan, namun seiring semakin banyaknya korban Holocaust dari Eropa, misalnya dari periode 1945-1948, terdapat sekitar 80.000 imigran mencoba masuk Palestina maka digunakan kapal besar untuk mengangkut, totalnya terdapat 60 kapal termasuk 10 kapal yang didapat dari ex pembuangan kapal laut di US, di antara crew kapal, terdapat pula para relawan Yahudi Kanada dan Amerika.
Untuk mencegah ini, Inggris mengumpulkan data intelejen, mengerahkan kapal marinir, penerjun payung dan melakukan blokade di laut. Ketika mereka bertemu di laut, Armada Inggris mendekati dan membenturkannya ke kapal imigran, mengirimkan penerjun payung, jika terdapat perlawanan dari para crew dan imigran maka kekerasan dilakukan. Selama pertemuan ini, 2 kapal perang Inggris rusak, sekitar 49 kapal imigran ditangkap dan 66.000 orang ditahan, 7 tentara inggris tewas dan 1.600 imigran Yahudi tewas tenggelam di laut.
- Padahal tujuan pembentukan mandat untuk Palestina adalah sebagai rumah nasional bagi kaum Yahudi
- Padahal batasan jumlah yang akan diberikan ijin-pun telah disebutkan angkanya, yaitu 75.000, namun kuotanya malah bersisa terlalu banyak di akhir periode White Paper
- Padahal 134.000 (26.75%, populasi Yahudi) kaum Yahudi, telah secara sukarela mendaftarkan diri dalam ketentaraan Inggris untuk membela Inggris di perang dunia ke-2.
Perlakuan inilah yang tampaknya membuat Irgun dan LEHI rujuk kembali dan pada tanggal 1 Februari 1944, mereka kemudian membuat pamlet pengumuman bahwa mereka memberontak terhadap Inggris.
Selama aksinya kelak, LEHI membunuh 42 orang yang sebagian besar adalah Yahudi karena memusuhi perlawanan mereka dan menjadi mata-mata untuk Inggris [“Churchill and the Jews: A Lifelong Friendship, Martin Gilbert, hal.221. Sample satu Yahudi misal “Political Assassinations by Jews: A Rhetorical Device for Justice”, Nachman Ben-Yehuda, hal.90-191]
Sasaran perdana mereka mulai di tanggal 12 Februari 1944, yaitu membom kantor Imigrasi dan berlanjut dengan kantor Pajak serta kantor Intelejen Inggris. Ini melambangkan protes atas pembatasan keimigrasian, pengusiran/penangkapan pengungsi Yahudi dari Eropa oleh otoritas mandat dan pada aturan pajak baru yang beban pajak terbesarnya berada di pundak 30% kaum Yahudi namun ikut dinikmati 70% populasi Arab. Dua operasi awal ini tidak menimbulkan korban jiwa, operasil selebihnya, yaitu mulai bulan Februari 1944 sampai November 1944, di banyak daerah, terjadi belasan aksi pemboman, penyerangan dan pembunuhan aparat kepolisian. [Lihat juga: The Revolt is Proclaimed]
Setelah terjadi pembunuhan Lord Moyne di Kairo pada 6 November 1944, Inggris bereaksi keras dan akibatnya di bulan November 1944 – Februari 1945, Haganah dan Inggris bekerja sama untuk menangkapi pelaku dan juga para anggota Irgun. Periode ini dikenal dengan nama “musim berburu”. hasilnya, sekitar 1000 anggota Irgun ditangkap dan 250 orang ditahan tanpa batas waktu dan kebanyakan dari mereka dibebaskan pada Juli 1948. [Lihat juga: Hunting Season]
Namun demikian hubungan mesra antara Haganah – Inggris tidaklah berumur panjang, itu terjadi setelah Haganah kecewa dengan sikap partai buruh Inggris.
Sepanjang masa pemilu di Inggris di musim Panas 1945, partai buruh Inggris berjanji bahwa jika mereka berkuasa kembali, White Paper 1939 akan dicabut, imigrasi Yahudi ke Palestina akan dilakukan tanpa batasan, aturan penjualan tanah akan dihilangkan dan menegakkan kembali Palestina sebagai rumah nasional bagi kaum Yahudi yang bertahap akan menjadi sebuah negara merdeka. [lihat: The United Resistance. “One Palestine, Complete: Jews and Arabs Under the British Mandate”, Tom Segev, hal.482].
Namun kemudian setelah pemilu,
Sekretaris negara Inggris urusan Luar negeri yang baru yang berasal dari Partai buruh, Ernest Bevin, tidak menepati janjinya malah memutuskan untuk mempertahankan pembatasan berat pada imigrasi Yahudi.
Bevin sebelumnya adalah sekjen Transport and General Workers Union (TGWU, 1922 – 1940) dan anggota dewan jenderal Trade Union Congress (TUC, 1925 – 1940), Ia saat itu berperan penting mengorganisir kaum buruh untuk mendukung pemerintah konservatif dalam hal pembatasan masuknya pengungsi Yahudi. Menurut Bevin mempertahankan komposisi Arab yang mayoritas adalah penting agar tidak mengobarkan opini Arab tentang pembentukan negara, yang akan membahayakan posisi Inggris sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah dan bahwa pengungsi korban Holocaust harusnya kembali ke Eropa bukannya menetap di Palestina. [“Ends of British Imperialism: The Scramble for Empire, Suez, and Decolonization”,William Roger Louis, hal.420]
Memahami bahwa Partai buruh telah mengingkari janji pemilunya dan tetap tidak membuka pembatasan imigrasi terutama pada para Yahudi korban Holocaust, maka pada tanggal 23 September 1945, Moshe Sneh, kepala Markas Umum Haganah, mengirimkan telegram kepada David Ben-Gurion:
“..diusulkan agar kita gelar insiden serius. Kemudian kita keluarkan statement bahwa ini hanya peringatan dan isyarat bahwa ke depannya akan terjadi lebih banyak insiden“.
Ben-Gurion menjawab di tanggal, 1 Oktober 1945: (dari Slik No.1, 1991, arsip Haganah):
“… Kita tidak harus membatasi aksi kita di Palestina untuk imigrasi dan pemukiman. Ini penting untuk mengadopsi taktik S [sabotase] dan pembalasan. Bukan teror individual, tetapi pembalasan untuk setiap Yahudi yang dibunuh oleh White Paper… Kedua faksi yang bertikai [Irgun dan Lehi] harus diundang untuk berkolaborasi dengan syarat terdapat keseragaman otoritas dan total disipilin. Upaya terus menerus diperlukan dalam menjamin solidaritas di Yishuv..di antara para pejuang, demi perjuangan. Reaksi kita harus konstan, keras dan dengan perhitungan waktu yang cukup …“.
Langkah pertama realisasi dari surat menyurat antara Moshe Sneh dan Ben-Gurion untuk peluncuran aksi militer terhadap Inggris adalah menskor “musim berburu” dan melakukan konsolidasi antara Haganah, Irgun dan Lehi yang diakhiri dengan penandatanganan perjanjian “Perjuangan Amerika”, yang isinya antara lain (Menahem Begin, ‘In The Underground’ vol.2, p.7):
“..Haganah masuk pada perjuangan militer melawan Inggris. Irgun dan lehi melakukan aksi dan misi militer harus dengan persetujuan komando gerakan perjuangan Amerika. Persetujuan dalam hal menyita senjata dari Inggris tidak diperlukan. Jika di suatu waktu Haganah diperintahkan meninggalkan perjuangan militer terhadap Inggris maka Irgun dan Lehi akan terus berjuang“
Pada tanggal 1 November 1945, dilaksanakan aksi pertama gabungan 3 organisasi, yang disebut ‘malam kereta api’. Mereka melancarkan sabotase pada 153 titik jalur kereta api di Palestina, meledakkan kapal penjaga Inggris di Jaffa dan Haifa. Tanggal 27 Desember 1945, melakukan peboman terhadap 3 kantor Intelijen Inggris di Jerusalem, Haifa dan Tev-Aviv. Di tanggal 23 Februari 1946, Haganah menyerang patroli polisi di Kfar Vitkin, Shfar’am dan Sarona (sekarang Kirya di Tel Aviv). Tanggal 25 Februari 1946, Irfun melancarkan “Malam kapal Udara” dengan menghancurkan 11 kapal udara Inggris di Kfar Syrkin dan 20 puluhan lainnya di lapangan udara Lidda di Kastina. Tanggal 2 April 1946, Irgun melakukan operasi skala besar melumpuhkan jaringan kereta api di Selatan. di malam yang sama LEHI meledakkan jembatan Naaman di Selatan Acre.
Pada tanggal 11 Juni 1946, Hagana mengadakan “malam jembatan”, hasilnya 11 jembatan yang menghubungkan Palestina ke negara-negara tetangga hancur dan menempatkan 4 batalionnya di perbatasan Utara, Selatan, Timur Palestina yang membuat negara itu terputus dari negara tetangganya. Sebagai balasan atas malam jembatannya Hagana, pada tanggal 29 Juni 1946, Inggris menggelar operasi Agatha, yang juga di kenal sebagai Black Sabath, 17000 personil Inggris diterjunkan ke seluruh Yishuv (pemukiman) Yahudi dan menangkapi 2700 tertuduh pelaku, penggeledahan pada kantor-kantor Badan Yahudi untuk informasi intelejen lanjutan dan hasil terbesarnya adalah menemukan 300 senapan, sekitar 100 mortir 2 inci, lebih dari 400.000 peluru, sekitar 5.000 granat dan 78 revolver di Kibbutz Yagur.
Haganah kemudian membalas dengan melakukan rencana 3 operasi yaitu: serangan Palmach di kamp militer Bat Galim, dalam rangka untuk mengmabil kembali senjata – senjata yang disita di Yagur. Misi kedua, Irgun adalah meledakkan Hotel King David yang direncanakan tanggal 22 Juli 1946, di mana kantor-kantor pemerintah Mandat dan komando militer Inggris berada. LEHI ditugasi meledakan gedung “Saudara David” yang berdekatan, yang berisi kantor-kantor pemerintah.
Sementara rencana sedang dimatangkan, Presiden Zionis Dunia, Weizmann, meminta agar aksi perlawanan terhadap Inggris dihentikan, jika tidak, Weizmann akan mengundurkan diri. Permintaan Weizmann ini dibawa ke rapat komite X dan dari hasil voting, mereka menyetujui permintaan Weizmann. Moshe Sneh yang tidak sepakat kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala markas umum Haganah namun masih sebagai penghubung Irgun dan LEHI. Ia saat itu tidak memberitahukan hasil kesepakatan komite X, namun meminta pelaksanaan aksi pemboman agar ditunda. LEHI membatalkan aksi mereka di gedung Saudara David. Morshe Sneh pergi ke Paris tanggal 19 Juli 1946 untuk menghadiri pertemuan Badan Pelaksana Yahudi. [Lihat juga: Black Sabbath]
Aksi di hotel ‘King David’ rupanya tetap berjalan, Bom dipasang di hotel dan setelah itu, 2 pejuang perempuan memberitahu lewat telpon hotel bahwa hotel telah dipasangi bom dan hotel diminta mengevakuasi seluruh penghuni. Kantor konsulat Perancis yang berada dilokasi yang berdekatan ditelpon dan diminta untuk membuka jendela agar efek ledakan tidak merusak gedung. 22 menit kemudian bom meledak, namun banyak staf mandat yang tetap berada dikamarnya. Operator hotel rupanya tidak memberitahu mereka, karena sebelum-sebelumnya tempat itu telah sering pula menerima ancaman kosong hendak di bom. Korban tewas dalam kejadian ini adalah 91 orang: 28 Inggris, 41 Arab dan 17 Yahudi.
Kepala Badan Yahudi menjadi ketakutan kalau kejadian ini akan membuat Inggris membalas lebih parah lagi daripada saat Black Sabbath, sehingga mereka mengecam pemboman itu dan menyatakan: “..tindakan yang dilakukan oleh sekelompok penjahat.” Bahkan David Ben-Gurion, yang saat itu juga ada di Paris, ikut mengecam dan dalam wawancara dengan surat kabar ‘Prancis Soir’, menyatakan bahwa Irgun. “musuh kaum Yahudi“. Haganah, kemudian meminta Irgun untuk mengeluarkan selebaran sebagai pihak yang bertanggung jawab atas operasi itu.
Irgun menuliskan pernyataannya antara lain:
“..Peringatan telepon diberikan pada 12:10-12:15… Jikapun benar, sebagai pembohong, Inggris mengumumkan ledakan terjadi jam 12:37, maka merekapun masih punya waktu 22 menit untuk mengevakuasi penghuni dan pekerja. Oleh karenanya yang bertanggung jawab atas tewasnya warga sipil adalah mereka..Tidak benar bahwa orang-orang yang menyampaikan peringatan berbicara atas nama “Perlawanan Serikat” (sesuai laporan pers) … Saat ini, Kami masih menahan diri, membuat pernyataan lanjutan, tapi mungkin – untuk konteks hasutan buas dan pengecut – diperlukan untuk mengeluarkan pernyataan di saat yang tepat…kami berkabung untuk para korban Yahudi; mereka adalah korban tragis dari perang tragis dan mulia untuk pembebasan Yahudi..“.
Setahun kemudian
Irgun mengeluarkan pernyataannya di tanggal 22 Juli 1947 dengan judul ‘KEBENARAN TENTANG HOTEL KING DAVID’, isinya:
“… Pada tanggal 1 Juli – dua hari setelah serangan Inggris pada Lembaga Nasional kota dan desa – kami menerima surat dari kantor pusat Perlawanan Amerika kita, meminta kami melaksanakan serangan pada pusat pemerintahan di hotel King David Hotel sesegera mungkin … Pelaksanaan rencana ini ditunda beberapa kali – baik karena alasan teknis dan atas permintaan Perlawanan Serikat. Akhirnya disetujui pada 22 Juli… Meskipun demikian, beberapa hari kemudian, Kol Yisrael menyiarkan pernyataan – atas nama Perlawanan Amerika – tingginya angka kematian di hotel raja Daud disebabkan oleh tindakan ‘pembangkang’ … Kami telah diam selama satu tahun … Kami menahan diri dari provokasi terburuk – dan tetap berdiam diri. Kami saksikan aksi balik badan, kemunafikan dan kepengecutan – dan tetap berdiam diri … Tapi hari ini, ketika Perlawanan Serikat telah berakhir dan tak ada harapan bahwa ini akan dihidupkan lagi … tak ada lagi alasan mengapa kami harus tetap berdiam diri tentang penyerangan terhadap pusat kekuasaan Nazi – Inggris – salah satu serangan terkuat yang pernah dilakukan militan bawah tanah. Sekarang kebenaran bisa diungkapkan; sekarang kebenaran harus diungkapkan. Biar orang-orang dan para hakim tahu.“
Kutukan terhadap irgun sangatlah gencar dilancarkan pers Inggris dan Yahudi namun kemudian muncul sebuah statement rasial dari Jenderal Sir Evelyn Barker (komandan tentara Inggris di Palestina), yang berselingkuh dengan istri George Antonius (Nasionalis Arab terkemuka), beberapa jam setelah ledakan, Ia perintahkan semua tempat hiburan, restoran, toko-toko dan rumah-rumah Yahudi – “adalah batas yang tidak boleh dimasuki semua perwira Inggris dan tentara”, Ia menyatakan:
“tujuan perintah ini adalah menghukum Yahudi, sebuah ras yang benar-benar sangat menyebalkan, caranya dengan menyerang saku mereka dan menunjukan penghinaan kita kepada mereka“
Surat Barker itu sampai pada dinas intelijen Irgun dan segera mereka sebarkan di Palestina dan seluruh dunia. Nada antisemitis surat itu sangat membuat malu pemerintah Inggris dan opini publikpun menjadi beralih tidak lagi pada serangan pada Hotel King David. Perintah itu secara resmi dibatalkan dua minggu setelahnya, dibeberapa minggu setelah surat itu, Jendral Barker dicopot dari jabatannya. Sang Jendral ditanya di majelis rendah Inggris tentang surat itu dan London Daily Herald menuliskan bahwa bener Jenderal Barker menyatakan itu, Ia mendemontrasikan ketidaksesuainnya dengan jabatannya.
Badan Yahudi juga mengeluarkan keluhan konstan untuk administrasi Inggris tentang pernyataan antisemitis oleh tentara Inggris:
“mereka sering berkata ‘Bloody Jews’ atau ‘pigs’, terkadang berteriak ‘Heil Hitler’, dan bersumpah untuk menuntaskan apa yang Hitler telah awali“.
Churchill menulis bahwa sebagian besar perwira militer Inggris di Palestina sangat pro-Arab
Pertemuan badan pelaksana Yahudi di Paris tanggal 5 Agustus 1946, memutuskan untuk mengakhiri perjuangan bersenjata melawan Inggris di Palestina. Walaupun demikian Irgun dan LEHI tetap melanjutkan aksi perjuangan mereka.
Bagaimana dengan Haganah?
Haganah berfokus pada upaya membawa pengungsi, kemudian untuk meredakan gejolak para aktivis di jajaran Haganah yang terus mendukung perjuangan bersenjata, Haganah kemudian melakukan sabotase pada kapal angkatan laut Inggris yang bertugas memburu para pengungsi, misalnya di tanggal 18 Agustus 1946, pejuang Palmach menyabotase kapal perang Haywood dan dua hari kemudian merusak Rival Empire, dua kapal yang digunakan untuk mendeportasi imigran dari Haifa ke Siprus. [Lihat juga: The Bombing of the King David Hotel]
Sejak September s.d Mei 1948,
Inggris disibukkan banyaknya aksi penyerangan, pemboman, dan penculikan oleh gerakan perlawanan Yahudi terhadap Inggris, baik itu di Palestina, di negara lainnya dan bahkan di Inggris sendiri. Misalnya: di tanggal 31 Oktober 1946, Lehi membom kedutaan Inggris di Roma, tiga orang luka. Melakukan sabotase jalur transportasi angkatan darat Inggris di wilayah pendudukan Jerman.
Pada sekitar waktu yang sama, Lehi berusaha menjatuhkan bom di majelis rendah Inggris dari pesawat carteran yang diterbangkan dari Prancis; namun hal itu dapat dihentikan sebelum terlaksana. Sejumlah bom meledak di London, termasuk di klub kolonial London, perusahaan katering untuk tentara dan mahasiswa koloni Inggris di Afrika dan Hindia Barat, yang melukai beberapa prajurit. Upaya menghancurkan kantor Kolonial di London dengan bom besar, juga gagal karena pengatur waktunya rusak, menurut seorang pejabat senior polisi, efek kematiannya jika itu berhasil akan serupa dengan pemboman hotel ‘King David’. Sejumlah 21 bom surat yang dialamatkan pada para tokoh politik senior Inggris, termasuk PM Clement Attlee dan MenLu Ernest Bevin juga gagal karena tercegat sebelum sampai. Sebuah pabrik bahan peledak Irgun juga ditemukan di London.
Ditambah lagi dengan kampanye publikasi lokal dan internasional terhadap kekejaman Inggris pada korban Holocaust dan upaya Inggris menghentikan mereka ketika hendak berimigrasi ke Palestina. Melalui kampanye propaganda internasional yang terorganisir, Irgun dan Lehi mendapatkan uluran tangan Internasional terutama di Amerika Serikat dari kalangan Yahudi Amerika, yang semakin bersimpati kepada tujuan Zionis yang bermusuhan dengan Inggris. Propaganda mereka adalah: pembatasan Inggris pada imigrasi Yahudi adalah pelanggaran hukum internasional, karena melanggar ketentuan mandat; Pemerintahan Inggris di Palestina menindas dan mengubah negara itu menjadi negara polisi; Kebijakan Inggris adalah seperti Nazi dan anti-Semit; pemberontakan Yahudi adalah upaya pembelaan diri.
Ben-Gurion secara terbuka menyatakan bahwa pemberontakan Yahudi “terpelihara akibat keputusasaan”, karena Inggris “memproklamirkan perang terhadap Zionisme”, dan mempunyai kebijakan “membubarkan rumah nasional bagi kaum Yahudi” khususnya pada pencegatan dan blokade imigrasi Yahudi.
Salah satu publikasi yang berhasil menarik simpati pada Zionism adalah di kejadian bulan Februari 1947. Ketika itu sebuah kapal bernama “exodus 1947“, berangkat dari Perancis menuju Palestina, kapal itu mengangkut 4500 pengungsi Yahudi termasuk 665 anak-anak, ketika mendekati Palestina, Kapal Inggris mencegatnya, menyerbu masuk ke dalam kapal dan hasilnya: 2 pengungsi dan 1 crew kapal tewas dan 30 lainnya luka-luka. Inggris menarik kapal ini ke Haifa dan memindahkannya ke kapal perang Inggris untuk dikembalikan ke Eropa, sesampainya di Perancis, para pengungsi menolak turun dan menggelar mogok makan, namun tetap saja mereka diangkut ke kamp pembuangan di Jerman. Anggota dari UNSCOP menyaksikan insiden ini di Haifa dan kemudian sebuah koran memberitakann kisahnya pada halaman utama, mengubah nama kapal exodus 1947 menjadi “Auschwitz mengambang“. Insiden ini mengundang simpati dunia pada Zionisme. [Detail lainnya lihat: Konflik Inggris-Yahudi]
Sementara perlawanan terhadap Inggris tengah berlangsung,
Pada tanggal 04 Januari 1946 – 20 April 1946, Inggris membuat sebuah komite baru yang bernama Komite Penyidikan Anglo-Amerika. Tugas komite ini menyelidiki kondisi politik, ekonomi dan sosial di mandat untuk Palestina, berkonsultasi dengan perwakilan Arab dan Yahudi, serta membuat rekomendasi yang dianggap perlu untuk solusi permanen mereka.
Ketika komite tersebut berada di Viena, 17-25 Februari 1946, mereka melakukan survey terhadap korban holocaust yang berasal dari Polandia, Hongaria, Rumania, Jerman, Cekoslovakia (Bohemia dan Moravia) dan hasilnya: 98%-nya menyatakan ingin tinggal di Palestina (Komite Penyelidikan Anglo-Amerika, pasal 2 ayat 12).
Komisi ini menyampaikan 10 Rekomendasi di antaranya adalah:
(1) Dengan alasan Palestina tidak dapat menampung seluruh imigran Yahudi dan walaupun emigrasi dapat memecahkan masalah, namun meminta seluruh negara agar mau membantu mencarikan rumah baru bagi para pengungsi dan agar para Yahudi Eropa agar tetap dapat tinggal di Eropa; (2) 100.000 pengungsi korban Nazi agar diberikan sertifikat imigrasi Palestina; (3a) harus dipastikan Yahudi tidak akan mendominasi Arab dan sebaliknya, (3b) Palestina bukan negara Yahudi atau Arab, (3c) melestarikan kepentingan tanah suci 3 agama; (4) Karena masih ada kekerasan yang terjadi maka agar pemerintahan Palestina tetap seperti sekarang; (5) Karena tujuan akhir adalah pemerintahan sendiri maka harus ada langkah-langkah meningkatkan standar hidup Arab agar sama dengan Yahudi; (6) menunggu referensi PBB dan pelaksanaan perjanjian (7) Peraturan penjualan lahan 1940 agar dicabut, danau Galilea dan sekitarnya agar berada dalam pengawasan Internasional, dan lain-lain.
Selama pertemuan di komite, Bevin mengatakan bahwa Ia akan menerima keputusan mereka jika diputuskan dengan suara bulat. Oleh karenanya, pada bulan April 1946, Komite memutuskannya dengan suara bulat.
Setelah rekomendasi di buat, janji Bevin untuk menerima keputusanpun tidak ditepati, Perdana menteri Inggris Clement Attlee menentang rekomendasi imigrasi massal sampai Yishuv (pemukiman Yahudi) telah dilucuti.
Pengabaian Inggris terhadap rekomendasi dan saran komite yang dibuatnya sendiri pada ijin imigrasi untuk 100,000 pengungsi dan kemampuan serap Palestina untuk jumlah itu, disampaikan juga oleh Ben-Gurrion dalam sidang Komite Khusus PBB untuk Palestina tanggal 04 Juli 1947:
“..Bahkan rekomendasi dengan suara bulat dari Komite penyidikan Anglo-Amerika yang mengakui 100.000 pengungsi dibuang. Demikian pula, temuan para ahli Anglo-Amerika bahwa negara itu dapat menyerap 100.000 pengungsi dalam waktu setahun, tidak ada pengaruhnya”
Setelah komite Anglo-Amerika memberikan laporannya,
Amerika hanya menerima point ke-2, yaitu 100.000 pengungsi agar diberikan sertifikat imigrasi Palestina dan tidak mengakui temuan lainnya. Dari hasil rekomendasi Itu, Inggris kemudian membuat komite pelaksana, yang kelak dikenal sebagai komite Morrison-Grady.
Pada bulan Jun-Juli 1946,
diciptakanlah komite baru yang kemudian menghasilkan “rencana Morrison Grady“, laporannya disampaikan pada tanggal 31 Juli 1946, yaitu bentuk pemerintahan kesatuan federal: Provinsi Yahudi dan Arab akan melaksanakan pemerintahan sendiri di bawah pengawasan Inggris, sementara Yerusalem dan Negev di bawah kendali Inggris. Kaum Arab dan Yahudi diundang untuk hadir berunding dan tak satu pun dari dua komunitas ini mau menghadiri undangan ini.
Pada 23 Oktober 1946,
dalam debat di majelis rendah Inggris, Winston Churchill menyampaikan, “…Jika kita tidak mampu memenuhi janji kita kepada kaum Yahudi untuk menciptakan sebuah rumah nasional bagi kaum Yahudi di Palestina – yang merupakan janji kita – kita diberi kuasa dan memang terikat..karena itu tugas kita, dan tentunya kita punya hak penuh, untuk meletakkan Mandat kita di kaki organisasi PBB. Beban ini mungkin terlalu berat untuk dipikul hanya oleh satu negara. Adalah tidak tepat jika Amerika Serikat yang begitu tertarik urusan imigrasi Yahudi ke Palestina, tidak ikut memikul tugas, dan mencela kita karena tampak nyata ketidakmampuan kita dalam menanggulangi persoalan“.
Pada tanggal 18 Februari 1947 diadakan Konferensi Palestina, Bevin menyampaikan:
Konferensi lanjutan di bulan Januari 1947, dihadiri negara-negara Arab dan kaum Arab Palestina ikut bergabung dalam diskusi. Badan Yahudi menolak berpartisipasi dalam konferensi. Sejak awal, baik Arab dan Yahudi menolak mendiskusikan rencana otonomi daerah yang diajukan Inggris. Kaum Arab mengajukan usulan: Palestina sebagai Negara kesatuan dengan mayoritas Arab permanen.
Inggris mengajukan Proposal:
Pembentukan daerah lokal, Arab dan Yahudi, dengan tingkat otonomi dalam negara kesatuan, dengan pemerintah pusat di mana kaum Arab dan Yahudi akan berbagi; Imgiran Yahudi akan diterima 4000 orang/bulan selama 2 tahun (96.000 Imigran), setelah itu kelanjutan dari tingkat imigrasi Yahudi harus ditentukan lagi; Mandat akan berjalan 5 tahun lagi sampai evolusi menuju kemerdekaan.
Propasal tersebut ditolak mentah-mentah oleh kaum Arab dan Yahudi dengan alasan berbeda, yaitu:
- Kaum Arab menentang pembentukan negara Yahudi di setiap bagian dari Palestina.
- Kaum Yahudi tetap pada tujuan dasar yaitu pembentukan negara merdeka Yahudi di Palestina, terus memperluas rumah nasional sampai mencapai mayoritas di Palestina dan bisa menuntut penciptaan negara Yahudi yang independen. kemudian mereka menyatakan bahwa karena pemerintah mandat tidak mampu, maka sebagai kompromi, pembentukan “sebuah Negara Yahudi yang secukupnya di area Palestina”, tidak mengusulkan rencana partisi apapun namun mau mempertimbangkan jika diajukan pemerintah mandat.
Inggris melihat bahwa diskusi menunjukkan tidak ada prospek menyelesaikan konflik dengan menegosiasikannya pada para pihak dan juga Inggris tidak dapat menerima skema yang diajukan kaum Arab atau Yahudi, oleh karenanya satu-satunya jalan, mengirimkan masalah ini ke pengadilan PBB.
Sementara itu,
Di London, tanggal 22 Maret 1946, ditandatangani sebuah perjanjian kemerdekaan Trans-Jordan dan konsesi pangkalan militer Inggris di Transjordan. Perjanjian ini mulai berlaku 17 Juni 1946. Juga, Majelis PBB menerima resolusi untuk penghentian mandat Transjordan pada tanggal 9 Februari dan 18 April 1946.
Kemudian, karena pada awalnya mandat untuk Palestina termasuk Transjordan di dalamnya namun di 16 September 1922, Transjordan dipisahkan dari Mandat untuk Palestina dan berdasarkan pasal 80 piagam PBB, juga mengakui bahwa ada kepentingan kaum Yahudi di dalamnya, maka kemerdekaan Jordan menjadi alot dan baru diakui sepenuhnya sampai seluruh Palestina telah ditentukan dan/atau sampai mandat untuk Palestina dihentikan.
Oleh karenanya,
Uni Sovyet 3x memveto usulan Yordania menjadi anggota PBB (29 Agustus 1946: Hal.138-139, 18 Agustus 1947: hal 2039-2041 dan 13 September 1939: hal.30), dengan alasan Yordania bukan negara merdeka, “mengapa perlu 3x (1922, 1929 dan 1946) bagi Inggris untuk menyatakan kemerdekaan bagi Jordania?“. Di ke-3 usulan keanggotaan PBB, US mengusulkan untuk menerima. Yordania akhirnya diterima juga menjadi anggota PBB, yaitu pada tanggal 18 Desember 1955, lebih lambat diterima sebagai anggota dari negara Israel.
Akhir Mandat Inggris untuk Palestina
Setelah Inggris bersurat pada tanggal 02 April 1947 untuk menyerahkan Mandat kepada PBB, maka pada 15 Mei 1947, PBB membentuk sebuah Komite Khusus PBB tentang Palestina (UNSCOP, terdiri dari wakil 11 negara) yang tugasnya menyelidiki penyebab konflik di Palestina dan jika mungkin merancang solusinya.
Tanggal 13 Juni 1947, Komite Tinggi Arab (AHC) menyatakan memboikot Komite ini dengan alasan: tidak ada agenda tentang pemutusan mandat dan deklarasi kemerdekaan, melepaskan urusan pengungsian Yahudi ke Palestina, bahwa Palestina tidak bisa terus menjadi subyek penyelidikan, melainkan pantas untuk diakui atas dasar prinsip-prinsip Piagam PBB.
Komite khusus pada tanggal tanggal 3 September 1947 menyampaikan laporan antara lain:
Mendukung penghentian mandat Inggris di Palestina dan menyampaikan rekomendasi tentang partisi negara Arab, Yahudi dan Internasional sebagai solusi: Skema partisi negara Yahudi akan menyelesaikan isu imigrasi, kekhawatiran Arab akan perluasan lebih lanjut dari negara Yahudi akan reda karena pada solusi juga melekat sangsi dari PBB. Terdapat masa transisi selama 2 tahun sejak 1 September 1947, di bawah naungan PBB, setelah selesai masa transisi harus dibentuk negara Arab, Yahudi dan kota Yerusalem.
Di area negara Yahudi, Penerimaan 150.000 imigrasi Yahudi dengan tingkat bulanan seragam, 30.000 diantaranya diterima atas dasar kemanusiaan (note: 60.000 x 2 tahun + 30.000), jika masa transisi berlanjut, imigrasi harus diijinkan pada tingkat 60.000/tahun.
Skema pembatasan peraturan/penjualan tanah tanggal 25 Mei 1939, tidak berlaku untuk area negara Yahudi.
Partisi wilayah negara Yahudi dibuat lebih besar untuk mengantisipasi peningkatan jumlah calon imigran Yahudi. Area yang dialokasikan untuk Negara Yahudi sebagian besar terdiri dari daerah yang populasi Yahudinya signifikan dan area yang dialokasikan untuk negara Arab hampir semata berisi kaum Arab. Berikut ini partisi yang disetujui majelis PBB:
- Area pengawasan Internasional: Kota Yerusalem.
- Partisi negara Arab (43%: 4,300 mil²/11,137 km²): Galilea Barat dengan kota Acre, dataran tinggi Samaria dan Yudea, Pantai selatan yang membentang dari Utara Isdud/Ashud mengelilingi Jalur Gaza dan bagian gurun sepanjang perbatasan Mesir.
- Partisi Negara Yahudi (56%: 5,700 mil²/14,763 km²): Dataran rendah pantai membentang dari Haifa ke Rehovot, Galilia Timur Galilea (sekitar Danau Galilea dan waliyah menjulur Galilea) dan di Tanah Negeb termasuk Umm Rashrash/Elat/Eilat (yang kelak menjadi pelabuhan laut Eilat).
Note:
Sistem kepemilikan tanah selama Mandat Inggris
Mandat Inggris untuk Palestina luasnya 26,625.6 Km² (dunam: 1000 m²) dan dari luas itu, yang dianggap bisa dibudidayakan hanya 8,252.9 Km², sedangkan sisanya tidak dapat dibudidayakan (disebut tanah Mawat). Kepemilikan tanah menurut hukum kekhalifahan turki, yaitu:
- Tanah Mulk (milik pribadi, misalnya: di tahun 1920 terdaftar tanah suku nomaden Badui, banyak dari mereka menjadi warganegara Israel, memiliki 2600 Km² tanah di Negev, 1090 Km² nya dapat dibudidayakan)
- Tanah Miri: milik pemerintah dan juga Sultan (kepunyaan Sultan pribadi disebut tanah Jiftlik/Mudawara: 559 km² yaitu 394 km² di Beisan, 90 km² di Rafa dan 75 km² di Jericho), orang dapat membeli akta UNTUK MENYEWANYA (tanah Jiftlik juga bisa disewa dengan tarif: 1/7 s.d 1/14), biaya sewa adalah 1/10, akta itu dapat diwariskan. Jika terus menerus diusahakan maka setelah 10 tahun tanah tersebut bisa menjadi hak milik. Jika tidak punya waris, harus dikembalikan ke pemerintah. Jika tidak dibudidayakan dalam 3 tahun (statusnya disebut sebagai tanah Mahlul), harus dikembalikan ke pemerintah.
Tanah jenis ini banyak diklaim kaum Arab yang menyewanya namun diakui sudah tanah miliknya dan dijual kepada Yahudi lewat perantara.
Tanah Wakaf, milik kaum Muslim, adalah tanah yang dapat dibudidayakan dan dianggap juga sebagai milik pemerintah (islam) atau Organisasi (jika dinyatakannya sebagai wakaf), walaupun secara teori tidak diperjualbelikan, namun penguasa (pemerintah/penerima kuasa) dapat menjual/menyewakannya dan hasilnya untuk kepentingan kelompok
- Tanah Matruka (untuk kepentingan umum: taman, jalan, dst)
Kemudian ada jenis yang disebut tanah Musha yaitu tanah Mulk dan/atau tanah Miri baik itu terdaftar maupun tidak.
Sejak tahun 1920 sampai berakhirnya Mandat, 5,000 Km² adalah terdaftar (ini artinya dari 8,252.9 Km², sebanyak 3,252.6 Km²nya: tidak terdaftar dan ada di bawah otoritas Inggris).
Dari tanah seluas 5,000 Km² terdaftar: milik suku badui 1.090 Km², milik sultan 559 km² dan milik orang Yahudi (pribadi/organisasi, per Mei 1948): 2000 Km², sisanya 1351 km² ada dalam otoritas mandat inggris dan beberapa bagiannya terdaftar sebagai milik/sewa kaum Arab muslim, kristen dan para pendatang lainnya.
Sementara itu, administrasi kepemilikan tanah milik kaum Arab sendiri tidak sejelas kepemilikan tanah kaum Yahudi. Misalnya di tahun 1933, saat dilakukan pendaftaran oleh Inggris untuk para Arab yang tak punya tanah tapi mengaku pernah menjual atau pernah tinggal di tanah tersebut saat dijual, yang gunanya agar mereka dapat menerima ganti rugi (karena kehilangan tempat usaha), maka dari 3725 aplikasi pendaftaran kepala keluarga, 2541 klaimnya ditolak, 652 klaimnya diterima dan 532 lagi sedang diteliti, jika ini dapat dianggap mewakili populasi, maka 70% lebih kaum Arab memang tidak memiliki tanah atau tidak pernah menyewa/mengusahakan tanah tersebut kecuali hanya sebagai buruh pekerja saja.
Jadi jika berdasarkan administrasi kepemilikan tanah, maka ketika diputuskan kaum Yahudi hanya mendapatkan 56% partisi wilayah, maka jelas kaum Yahudi dirugikan karena seharusnya lebih dari itu. [lihat juga : The Land Question in Palestine]
Berikut ini adalah estimasi populasi Palestina akhir tahun 1946:

Sumber: “A Survey of Palestine”, British Mandate for UN prior to proposing the 1947 partition plan. Vol.III: Supplement to The Survey of Palestine, Population: Supplementing Vol.I, Ch.VI
|
|
|
|
|
Yahudi |
Arab |
Total |
Total |
608,230 |
1,237,330 |
1,845,560 |
Kota |
447,840 |
446,730 |
894,570 |
Desa |
160,390 |
790,600 |
950,990 |
Di antara tabel di atas,
hanya jumlah kaum Yahudi saja yang akurat, sementara jumlah kaum Arab hanyalah perkiraan semata, di antara alasannya adalah aturan keimigrasian ketat hanya berlaku pada kaum Yahudi, namun tidak pada kaum lainnya. Pernyataan Sir Henry Gurney dan Mr. MacGillivray dari Mandat Inggris dalam Laporan UN, 16 Juni 1947 menyatakan bahwa:
- Untuk kaum Yahudi
Disampaikan bahwa populasi jumlah Yahudi adalah akurat, di akhir Juni 1947, jumlah Yahudi adalah 625.000 orang.
- Untuk kaum Arab,
disampaikan bahwa yang tersulit adalah menghitung kaum nomaden. Komite menetapkan dengan estimasi sejumlah 90.000.
Padahal survey di tahun 1944 adalah 60.000 dan di tahun 1946 diestimasikan hanya bertambah 7,000 (jadi, estimasi survey adalah: 67.000).
Sehingga dibanding dengan estimasi UN, maka jumlah kaum Badui menjadi 134,3% s.d 150%! Di akhir Juni 1947, dari etimasi populasi 2 juta orang Palestina, 113.000-nya adalah kaum nomaden (188,3%)!
Juga disampaikan bahwa di sensus sebelumnya, yang juga sulit ditentukan jumlahnya adalah Arab pedesaan, salah satu alasannya karena mereka tidak mau disensus, sehingga jumlah itu disandarkan pada ucapan kepala sukunya.
Jadi keakuratan jumlah populasi ras Arab Palestina, memang benar-benar sangat meragukan.
Note:
Saat kepala desa mengestimasikan populasi desanya, Ia juga menyertakan mereka yang bekerja di perkotaan namun tetap saja dianggap sebagai penduduk desanya. Ketika terjadi pengungsian masal 2 tahun kemudian, ditemukan fakta bahwa kematian juga tidak pernah dilaporkan dan beberapa temuan lainnya yang mengindikasikan JELAS bahwa hitungan jumlah penduduk Arab sangat tidak dapat diandalkan
Jumlah yang relatif mendekati akurat adalah jumlah penduduk kota. Di seluruh kota, terdapat 446,730 Arab, dengan komposisi 49.4%nya adalah Arab.
Karena tingkat urbanisasi kaum Yahudi saja mencapai 26,37% dari populasi, maka sangat wajar urbanisasi juga melanda Arab Palestina, sehingga jika kita aplikasikan dengan persentase yang sama, maka jumlah Arab Palestina pedesaan adalah 159,992, sehingga estimasi populasi Arab berkisar dijumlah 606,722
Atau,
Karena estimasi dari jumlah kaum nomaden diperbesar jumlahnya, maka seharusnya kita juga percaya bahwa estimasi populasi Arab Palestina (Muslim, Kristen dan yang lainnya) telah diperbesar jumlahnya dan jika perkiraan penggelembungan yang sama diaplikasikan (134,3% – 188,3%), maka estimasi populasi Arab berkisar dijumlah 657,106 – 921,318 orang saja (dihitung dari 1,237,330) termasuk didalamnya para imigran/tetap sementara kaum Arab
Sehingga dengan melihat ini, tidaklah mengherankan mengapa pembagian wilayahnya menjadi 43% (Arab) vs 56% (Yahudi).
Juga, ada cara lain mengenali populasi wajar “Arab Palestina”, yaitu melalui rata-rata tingkat pertumbuhan/tahun pra imigrasi kaum Yahudi berdasarkan penelitian Harvard Israel Review (“The Myth of Jewish “Colonialism“: Demographics and Development in Palestine”, David Wollenberg):
Estimasi rata-rata pertumbuhan adalah 0.7% hingga tahun 1890, untuk tahun 1890-1915 adalah 0.8%. Terjadi penurunan populasi “Arab” di tahun 1915-1918 (perang dunia ke-1) dan meningkat pesat di tahun 1919-1922 (mandat Inggris, faktor perubahan signifikannya adalah Inggris mempekerjakan 15.000 orang asing dari Suriah dan Mesir), sehingga jika mengaplikasi 0.8% tingkat pertumbuhan, maka di tahun 1947 seharusnya menjadi 785.000 Arab Palestina, namun karena data di atas menunjukan jumlah 1.2 juta s.d 1.3 juta orang, maka ada kemungkinan peningkatan populasi Arab adalah karena faktor imigrasi.
Sebelum PBB menetapkannya dalam sebuah resolusi, negara-negara Arab sudah memutuskan untuk menyelesaikan persoalan ini dengan jalan kekerasan:
Pada 7-15 Oktober 1947,
di Aley Libanon, para pemimpin Liga Arab memutuskan bahwa
“pemerintah Arab akan ambil bagian dalam pembiayaan militer (Mesir: 42%, Irak: 7%, Lebanon: 11%, Arab Saudi: 20%, Suriah: 12%, Yordan: 5% dan Yaman: 3%) dalam membela Palestina, … bahwa negara-negara Arab harus membuat persiapan militer yang diperlukan, dan bahwa tentara mereka harus ditempatkan di perbatasan Palestina …. ” [Al-Nakba (Bencana) ‘Arif al-‘Arif, Beirut dan Sidon: al-Maktaba al-‘Asriya, 1956-1960, Vol. Aku, hlm. 14-16, terjemahan: Nafez Abdullah Nazal, hal.59]
Di tahun 1947 ini, Komite Politik Liga Arab menyusun undang-undang status hukum warga Yahudi termasuk pembekukan atau penyitaan rekening bank dan mengusir Yahudi dari negara-negara Liga Arab. Undang-undang ini telah disetujui Mesir, Arab Saudi dan Irak:
1. Mulai sejak (tanggal), semua Yahudi dari (Nama negara) akan dianggap sebagai minoritas Yahudi di Negara Palestina dan harus mendaftar pada otoritas wilayah di mana mereka berada, memberikan namanya, jumlah tepat anggota keluarganya, alamatnya, nama-nama banknya, rekeningnya dan jumlah depositonya di bank-bank tersebut. Formalitas ini harus telah selesai dalam 7 hari.
2. Mulai sejak (tanggal), rekening Bank para Yahudi akan dibekukan. Dana ini akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk membiayai gerakan perlawanan terhadap ambisi Zionis di Palestina.
3. Mulai sejak (tanggal), Hanya Yahudi warga negara asing akan dianggap ‘netral’ Ini akan dipaksa kembali ke negaranya, secepatnya, atau dianggap sebagai orang Arab dan ikut wajib militer di ketentaraan Arab.
4. Para Yahudi yang menerima untuk aktif di ketentaraan arab atau menempatkan dirinya dalam ketentaraan, akan dianggap sebagai kaum Arab
5. Setiap Yahudi yang kegiatannya menunjukan bahwa ia Zionis aktif akan dianggap sebagai tahanan politik dan akan ditawan di tempat-tempat khusus yang ditunjuk untuk tujuan tersebut oleh otoritas polisi atau Pemerintah. Sumber keuangannya, tidak dibekukan namun disita.
6. Setiap Yahudi yang dapat membuktikan aktivitasnya adalah anti-Zionis akan bebas bertindak, asalkan Ia nyatakan kesiapannya untuk bergabung dengan pasukan Arab.
7. Para orang asing (Ayat 6) tidak berarti bahwa para Yahudi tersebut tidak masuk dalam lingkup ayat 1 dan 2 undang-undang ini.”
Note:
Dewan Liga Arab di tanggal 17 Februari 1948 bersidang di Kairo, dengan keputusan menyetujui rencana “politik, militer, dan langkah-langkah ekonomi yang harus diambil dalam menanggapi krisis Palestina“, Satu laporan menyatakan bahwa: Dewan Liga Arab dengan suara bulat mengadopsi rekomendasi dari Komite Politik yang menyangkut Palestina … (Liga Arab. 378-380). Surat kabar Suriah menyampaikan simpulan pertemuan Diplomat Senior Para Negara Arab di Beirut pada akhir Maret 1949, yaitu, “Jika Israel menentang kembalinya pengungsi Arab ke rumah mereka, pemerintah Arab akan mengusir para Yahudi yang tinggal di negara mereka” (Al-Kifah, 28 Maret, 1949).Pengusiran-pengusiran Yahudi dari negara-negara Arab telah terjadi BAHKAN sebelum kemerdekaan Israel. [Detail kejadian per negara di liga arab lihat mulai dari hal.56]. Berikut sample pelaksanaan undang-undang buatan LIGA ARAB, misal di Irak:
Pada hari pertama perang negara-negara LIGA ARAB (termasuk Irak) untuk menumbangkan negara Israel, Irak menahan 300 orang Yahudi dengan tuduhan mereka mendukung Israel. Shafiq Ades, seorang dari kaum Yahudi terkaya di Irak, yang menjadi representatif para Yahudi di pengadilan, malah dituduh terlibat Zionisme dan komunisme, di gantung di depan umum dan hartanya disita.
Pada Maret 1950, puluhan ribu Yahudi Irak setelah dicopot kewarganegaraannya, meninggalkan negara itu menuju Israel. Pemerintah Israel walaupun benar-benar kesulitan menyerap jumlah sebesar itu tetap menerimanya sebagai warga negara Israel.
Tahun 1951, parlemen Irak mengesahkan undang-undang menyita semua asset Yahudi (yang telah pindah, akan pindah atau yang bukan kedua jenis ini hingga mereka melepaskan kewarganegaraan Iraknya). Jumlah kekayaan Yahudi Irak yang disita diperkirakan sekitar US$ 243 juta (di tahun 1951, atau minimum US$ 6 M di tahun 2013). Alasannya penyitaan adalah sebagai retribusi penyitaan aset Palestina oleh Zionis.
Setelah Irak meratifikasi hukum itu, Inggris memintanya menyerap pengungsi Palestina. PM Irak, Nuri Sa’id menyatakan siap menerima bukan ratusan ribu pengungsi melainkan hanya 4.000 saja. Jumlah ini hanya 3.1%-nya dibandingkan dengan lebih dari 130.000 Yahudi yang Irak usir. UNRWA (Badan PBB urusan pengungsian Palestina) tidak diizinkan beroperasi di Irak; sebagai gantinya, Irak mendirikan divisi pengungsi sendiri untuk menangani kebutuhan Palestina. [“The Palestinian Refugee Problem Resolved“, Shaul Bartal, 2013]
4000 pengungsi Palestina di Irak ini bahkan TIDAK diberikan kewarganegaraan Irak juga TIDAK diberikan ijin memiliki asset (rumah, tanah, kendaraan)! namun demikian, mereka bersama gelombang ke-2 (1967) dan gelombang ke-3 (eks perang teluk dari Kuwait, 1991) yang totalnya 34,000 orang (tahun 2003), oleh pemerintah Irak, diterbitkan dokumen perjalanan khusus, diberikan hak untuk bekerja, akses kesehatan, pendidikan dan pelayanan pemerintah lainnya, tinggal di rumah milik pemerintah atau sewa bersubsidi dari pemilik Irak.
Kondisi istimewa inilah yang menjadi sumber kebencian penduduk miskin asli Irak (yang kebanyakan kaum Syi’ah), yang setelah periode AS menumbangkan Saddam Hussein di tahun 2003, Para pengungsi eks Palestina diusir dari rumah mereka, harus melalui proses memperbaharui izin tinggal mereka (termasuk yang lahir di Irak), sepanjang hidup mereka secara teratur tanpa jaminan untuk diterima dan jika kurang dokumen tinggal yang sah maka beresiko mengalami penangkapan di pos pemeriksaan.
Dari 34.000 orang pengungsi Palestina pada tahun 2003, maka di tahun 2006, hanya tersisa 10.000 orang, sisanya melarikan diri dari Irak.
Mereka yang melarikan diri melaporkan bahwa mereka menjadi objek penangkapan sewenang-wenang, penghilangan dan penyiksaan, tewas atau ditahan untuk tebusan, yang membuat keluarga mereka menjual semua yang dimiliki untuk membebaskannya. Di tahun 2003, Yordan hanya mau menampung 386 pengungsi yang ada hubungan keluarga di Yordania, Suriah hanya mau menerima 305 pengungsi Palestina. Perbatasan ke Yordania dan Suriah tertutup bagi mereka.
Palestina melihat bagaimana rezim Arab menawarkan tidak lebih dari retorika KTT Arab, yang ketika datang menyerbu berdalih hendak melindungi Palestina namun secara konsisten melepaskan tanggung jawab.
Nasib mereka ini sungguh berbeda jika dibandingkan dengan lebih dari 130.000 Yahudi yang di usir Irak. Di Israel, para pengungsi Yahudi eks-Irak adalah warganegara terhormat Israel dengan hak dan kewajiban yang sama dengan warga terhormat Israel lainnya (Arab/bukan, Kristen, Muslim, Yahudi, dll).
Padahal,
Kongres Yahudi Dunia (WJC), TELAH BERUSAHA menyampaikan permasalahan RASIAL undang-undang Liga Arab ini dalam sebuah memorandum kepada Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) PBB pada tanggal 19 Januari 1948 dan memohon agar ini dimasukkan dalam agenda pertemuan berikutnya.
Untuk ke-2xnya, yaitu di tanggal 16 Februari 1948, WJC menyampaikan permasalahan ini dengan tambahan referensi insiden yang telah melanda kaum Yahudi di Suriah, Libanon, Irak, Mesir dan Bahrain.
Pada tanggal 5 Maret 1948, permohonan ini masuk ke dalam agenda ECOSOC PBB sebagai item no. 37, beserta dokumen E/710 (undang-undang Liga Arab yang di atas) sebagai “Keadaan bahaya esktrim dan mendesak” yang melanda para Yahudi di negara-negara Arab.
Namun,
Dewan Presiden, Dr Charles H. Malik (dari Lebanon), dengan memanfaatkan persoalan prosedural, membuat masalah dokumen E/710 tidak pernah ditangani.
Pada tanggal 11 maret 1948, Ketika Dewan siap melanjutkan langkah-langkahnya, Mr Katz-Suchy (Polandia) meminta agar masalah dokumen E/710 dipertimbangkan kembali dan menyatakan tuduhan ada, “kesepakatan lima Negara utama untuk tidak membahas dokumen E/710” dan menyatakan: “prosedur biasa dari Dewan tidak diikuti“. Mr. Kaminsky (Republik Belarus Sosialis Soviet) menyatakan bahwa “Ia tidak bisa membenarkan praktek dimana butir pada agenda menghilang di agenda“. Kemudian rekomendasi bahwa hal ini akan dibahas lengkap di pertemuan Dewan berikutnya diterima dengan hasil voting: menerima dengan suara 15 vs 1 (yang menolak adalah wakil Libanon).
Permasalahan ini juga diangkat surat kabar New York Times, tanggal 16 Mei 1948 dengan judul, “Jews in Grave Danger in All Moslem Lands, 900.000 in Africa and Asia face wrath of their foes“, oleh: Mallory Browne.
Pada tanggal 21 Juni 1948, Dewan menyerahkan masalah ini kembali kepada Komite LSM ECOSOC yang setelah mereview dokumen E/710 menyimpulkan bahwa “seharusnya tidak membuat rekomendasi spesifik tentang substansi konsultasi (memorandum WJC) kecuali diminta secara khusus oleh Dewan” (Laporan dewan komite LSM: Item 31,E/940 tanggal 9 August 1948) [lihat: Chronology of events and evidence].
Pada 11 Oktober 1947,
Abdul Rahman Hassan Azzam (SekJen LIGA ARAB: 1945-1952), di surat kabar Mesir Akhbar al-Yom [koran dalam PDF bahasa Arab, lihat pada bagian garis kotak merah], menyatakan ancaman Genosida terhadap kaum Yahudi Palestina (Terjemahan Arab-Inggris dari Efraim Karsh):
“Aku pribadi berharap bahwa kaum Yahudi tidak mendorong kita ke dalam perang ini, karena ini akan menjadi perang pemusnahan dan momen pembantaian yang akan menjadi pembicaraan seperti pembantaian Tartar/Mongol atau perang Salib. Aku percaya bahwa jumlah relawan luar Palestina akan lebih besar dari penduduk Arab Palestina, Sejauh yang aku tahu bahwa relawan akan datang ke kami dari [sejauh] India, Afghanistan, dan China untuk memenangkan kehormatan menjadi martir demi Palestina … Anda mungkin akan terkejut jika tahu bahwa ratusan orang Inggris berkeinginan untuk menjadi relawan di ketentaraan Arab untuk melawan kaum Yahudi“
[lihat: Middle East Quarterly: “Azzam’s Genocidal Threat“, David Barnett dan Efraim Karsh, 2011, hal.85-88 (atau PDF). The Haaretz: “The makings of history/The blind misleading the blind”, Tom Segev, 21 Oktober 2011 dan PBB: “Memorandum dari Badan Yahudi”, tanggal 02 Feb 1948, hal.3, Para. 6].
Beberapa minggu sebelum wawancara dengan Akhbar el-Yom, yaitu di hotel Savoy-London, Azzam bertemu dua wakil Zionis: Abba Eban (kelak menlu Israel) dan David Horowitz (kelak Gubernur Bank of Israel), Azam menjelaskan bahwa tidak ada pilihan lain kecuali perang.
Hal ini diteruskan kepada Ben-Gurion (kelak perdana menteri pertama Israel), Ia percaya pada Azzam dan juga menilai bahwa perang tak terelakkan. Di pertemuan dengan anggota partainya, Gurrion sampaikan perkataan Azzam “Seperti kita berperang melawan Tentara Salib, kami (liga Arab) akan melawan Anda (Yahudi), dan kami akan hapus Anda dari bumi” dan di tanggal 05 Desember 1947, Semua pria/wanita berusia 17-25 tahun melaksanakan wajib milter. Pada akhir Maret 1948, 21.000 orang telah diwajibmiliterkan dan rentang usia wajib militer diubah menjadi 17- 35. Di 5 hari kemudian (4 April 1948), diperintahkan mobilisasi umum untuk semua yang berusia di bawah 40 tahun. [“History Of West Asia Conflict After Second World War”, Lee Bih Ni, 2nd ed. Hal.54].
RESOLUSI PBB no.181, tanggal 29 November 1947 (PARTISI tahun 1947)
PBB melakukan pungutan suara dan hasil yang menyetujui: 33 (termasuk anggota dewan keamanan: US, USSR dan Perancis), yang menolak: 13 (Negara Arab dan Islam yang menolak: Afghanistan, Mesir, Iran, Irak, Lebanon, Pakistan, Arab Saudi, Suriah, Turki dan Yaman) dan yang abstain: 10 (termasuk anggota dewan keamanan: UK dan China).
Setelah diputuskan, maka di tanggal 29 November 1947, PBB menetapkannya sebagai RESOLUSI PBB no.181, “Pemerintahan Masa Depan Palestina”. Resolusi ini lebih dikenal dengan nama PARTISI 1947, isi resolusi ini antara lain:
- Penghentian Inggris menerima mandat untuk Palestina harus sudah dilakukan sebelum tanggal 1 Agustus 1948. (Inggris kemudian memajukan tanggalnya menjadi tanggal 15 Mei 1948, ref laporan komisi khusus Palestina tanggal 9 Januari 1948).
- langkah-langkah mendeklarasaikan diri sebagai negara Merdeka dan pada Pasal 4.f, disampaikan hak mendaftarkan diri sebagai anggota PBB yang merujuk pada pasal 4 Piagam PBB.
- Batasan-batasan wilayah Arab dan Yahudi, dan masih banyak lagi.
Reaksi komunitas Yahudi:
Badan Yahudi dan sebagian besar kelompok Yahudi Palestina menerima Resolusi PBB no.181. Sebagian kecil kelompok Yahudi (Irgun dan Lehi) menolak dan mengingatkan bahwa partisi tidak akan membawa perdamaian karena kaum Arab tetap akan menyerang dan di perang ke depan akan menjadi perang mempertahankan eksistensi Yahudi. Para Yahudi Palestina menyambut resolusi ini dengan sangat gembiranya, buku-buku sejarah Israel, menyebutkan tanggal 29 November 1947 adalah tanggal paling penting bagi tonggak kemerdekaan Israel dan banyak kota-kota Israel memperingati tanggal ini sebagai nama jalan mereka.
Reaksi komunitas Arab:
Para pemimpin Arab luar dan dalam Palestina menolak Resolusi PBB no.181 (lihat hasil voting) dan di tanggal 2 Desember 1947, Komite Tinggi Arab (AHC, al-Hay’a al-‘Arabiyya al-‘Ulya) menolak resolusi ini dengan menyerukan untuk melakukan 3 hari mogok umum [“Jaffa, 1948: The fall of a city”, Itamar Radai, hal.26; “Refugee Politics in the Middle East and North Africa: Human Rights, Safety …”, AKM Ahsan Ullah, hal.23].
Para pemimpin liga Arab mengadakan pertemuan di Kairo pada tanggal 17 Desember 1947 dan menyampaikan kutukan atas Resolusi PBB no.181:
“..Para kepala dan wakil pemerintahan [Arab] telah memutuskan bahwa partisi batal dari sejak awal. Mereka juga telah memutuskan, untuk menghormati kehendak rakyat mereka, akan mengambil langkah-langkah drastis yang akan, dengan kehendak Allah, mengalahkan rencana partisi yang tidak adil dan memberikan dukungan kepada hak orang Arab…orang-orang Arab telah tegas memutuskan untuk masuk dalam perang.. dan, Insya Allah, untuk melanjutkan dengan itu sampai akhir sukses..” [“The Arab states And The Arab League” A. Documentary Record Vol. I Constitutional Developments (1962), muhammad Khalil, hal.550-551]
Komite Tinggi Arab (AHC) menyampaikan secara tertulis penolakannya pada resolusi PBB No.181 (Partisi wilayah negara Arab dan Yahudi) pada tanggal 09 Januari 1948, melalui Pimpinan Komite Tinggi Arab Palestina, “Komite Tinggi Arab tetap bersikeras menolak partisi dan menolak mengakui Resolusi UNO dan apapun turunannya. Oleh karena alasan ini, tidak dapat menerima undangan” [lihat juga: progress monthly report, 29 Januari 1948]
Note:
Ini bukan kali pertama kaum Arab dan/atau AHC menolak rencana partisi, sudah sejak Mandat untuk Palestina dikelola Inggris mereka konsisten menolak rencana partisi apapun pun bahkan ketika porsi wilayah Arab jauh lebih besar sekalipun.
Di Februari 1948, dalam rapat komite Politik liga Arab, Mufti (Mohammad Amin al-Husaini) meminta bantuan militer, politik dan moral untuk orang Palestina, mencoba memperoleh dukungan untuk dapat mengontrol segala urusan di Palestina, namun Komite Politik menolak seluruh usulannya dengan asar bahwa AHC tidak mewakili rakyat Palestina. Semua bantuan keuangan akan di atur oleh Dewan Liga Palestina dan tidak diberikan kepada AHC atau kepada Mufti [“Politics in Palestine: Arab Factionalism and Social Disintegration, 1939-1948”, Issa Khalaf, hal.290].
Pada tanggal 02 Mei 1947, Perwakilan Mesir (Mahmoud Hassan Pasha) menerangkan, dalam menjawab berbagai pernyataan, bahwa negara-negara Arab tidak mewakili para Arab Palestina
Kelak,
benar-benar terbukti bahwa penolakan KAUM ARAB pada resolusi PBB no.181 adalah suatu kedunguan luarbiasa, misalnya, Presiden Palestina, Mahmud Abbas, dalam suatu wawancara pada tanggal 28 Oktober 2011, menyatakan bahwa penolakan Arab terhadap resolusi PBB no.181 adalah sebuah kesalahan, “..Itu adalah kesalahan kami. Itu adalah kesalahan (kaum) Arab secara keseluruhan.“
Mulai tanggal 30 November 1947,
terjadi serentetan serangan kaum Arab, hasilnya 7 Yahudi tewas dan puluhan terluka. Selama beberapa hari, penembakan, perajaman, kerusuhan berlanjut. Konsulat Polandia dan Swedia, yang dalam pemungutan suara menyetujui partisi, diserang. Bom-bom dilemparkan ke toko-toko Yahudi, Sinagoge dibakar. [“Operation Exodus: From the Nazi Death Camps to the Promised Land: A Perilous …”, Gordon Thomas, Ch.21, lembar ke-384].
Di akhir tahun 1947, komunitas Yahudi di Hebron melarikan diri.
Di Jerusalem, hari ke-1 dari rencana 3 hari mogok umum-nya AHC berubah menjadi kerusuhan dan setelah itu berubah menjadi perang sipil antara kaum Yahudi vs kekuatan bersenjata Arab Palestina dan negara Arab. Delegasi Komite Tinggi Arab (AHC), tanggal 06 Februari 1948 memberikan pernyataan:
“Kaum Arab Palestina tidak akan pernah mengakui keabsahan rekomendasi partisi; Kaum Arab Palestina menganggap bahwa setiap upaya kaum Yahudi atau kekuatan atau kelompok kekuatan untuk membangun negara Yahudi di wilayah Arab adalah tindakan agresi, yang akan dilawan sebagai pembelaan diri melalui kekerasan … Sikap setiap Arab Palestina menentang bentuk apapun partisi negara; Kaum Arab Palestina menyatakan dengan sungguh-sungguh dihadapan PBB, Allah dan sejarah, bahwa mereka tidak akan pernah menyerah atau memberikan kekuasaan pada siapapun untuk membuat Palestina di partisi. Satu-satunya cara untuk membangun partisi, yang pertama adalah memusnahkan mereka – wanita pria dan anak“
Inggris melakukan pembiaran tidak melakukan tindakan militer atas masuknya ke Palestina para legiun tentara asing yang berasal dari negara-negara Arab dan juga mantan tentara Islam Bosnia (yang di rekrut Haji Amin Husseini saat membantu Jerman, selama tahun 1941 sampai akhir perang dunia ke-2), mereka berdatangan mulai dari bulan Januari 1948:
- Tanggal 10-11 Januari, Resimen Ke-2 Yarmuk, di bawah perintah Adib Shishakli memasuki Galilea melalui Lebanon. bermalam di Safed, mendirikan kamp di desa Sasa. 1/3 resimennya adalah Palestina Arab dan 1/4nya Suriah. [“Palestine, 1948: war, escape and the emergence of the Palestinian refugee problem”, Yoav Gelber, hal.50]
- 10 Hari kemudian (tanggal 20-21 Januari) Resimen ke-1, di bawah perintah Muhammad Tzafa, masuk Palestina melintasi sungai Jordan di jembatan Damia dari Yordania dan menyebar di sekitar Samaria, markas mereka adalah di kota Samaria Utara Tubas. Resimen ini terdiri dari Arab Palestina dan Irak. Resimen Hittin, pimpinan Madlul Abbas, menetap di barat Samaria dengan markas besarnya di Tulkarem. Resimen Hussein bin Ali memperkuat di Haifa, Jaffa, Yerusalem dan beberapa kota lainnya. Resimen Qadassia dicadangkan di Jab’a. [“Palestine, 1948: war, escape and the emergence of the Palestinian refugee problem”, Yoav Gelber, hal.55]
- Tanggal 20-21 Januari, pasukan dengan 700 warga Suriah berpakaian tempur, perlengkapan dan kendaraan mekanis telah masuk palestina via Jordan [Laporan Komisi Khusus kepada Dewan keamanan PBB, 16 Februari 1948, menurut laporan tanggal 04 Feb 1948]
- Tanggal 27 Januari, ‘sebuah regu dengan 300 orang luar Palestina, ditempatkan di Safed, Galilea, dengan persenjataan berat dan mortir, yang mungkin bertanggung jawab terhadap penyerangan terhadap pemukimanYahudi di Yechiam [Laporan Komisi Khusus kepada Dewan keamanan PBB, 16 Februari 1948, menurut laporan tanggal 04 Feb 1948]
- Batalion pimpinan Fawzi al-Qawuqji, masuk palestina sekurangnya dalam 2 gelombang:
Malam tanggal 29-30 Januari, sejumlah 950 orang dengan 19 kendaraan yang digunakan Tentara Pembebasan Arab (ALA) masuk Palestina via Adam Bridge dan tersebar di sekitar desa-desa Nablus, Jenin dan Tulkarem. [Laporan Komisi Khusus kepada Dewan keamanan PBB, 16 Februari 1948, menurut laporan tanggal 09 Feb 1948],
Tanggal 5 dan 6 Maret, memasuki wilayah Palestina dan berada disekitaran Kawukji. [Rapat ke-271 Dewan Keamanan PBB, 19 Maret 1948]
- Tanggal 24 Februari, antara 500 – 1.000 Irak, Lebanon, Suriah, Mesir dan Transjordan memasuki Samaria dan Galilea menyebrangi sungai Yordan dan perbatasan Palestina-Libanon. [Rapat ke-271 Dewan Keamanan PBB, 19 Maret 1948]
- Minggu ke-1 Maret, sebuah regu berisi 500 Yugoslavia diduga Bosnia Muslim menuju Lidda [Rapat ke-271 Dewan Keamanan PBB, 19 Maret 1948]. Pada bulan Maret, sebuah resimen Irak Tentara Pembebasan Arab (ALA) datang memperkuat pasukan Arab Palestina Salameh di daerah sekitar Lydda dan Ramleh, sementara Al-Hussayni memulai kantor pusat di Bir Zeit, 10 km di utara Ramallah.
- Sejumlah 100 Mesir telah memasuki Distrik Gaza, dan dilaporkan beberapa kontingen kecil lainnya juga telah masuk [Rapat ke-271 Dewan Keamanan PBB, 19 Maret 1948]. Di bulan Marent, sejumlah tentara Afrika Utara, terutama Libya, dan ratusan anggota Ikhwanul Muslimin masuk Palestina. Pada bulan Maret, sebuah resimen awal tiba di Gaza dan militan tertentu di antara mereka mencapai Jaffa.
Demikianlah realisasi pernyataan Azzam, diawali mogok umum, berlanjut menjadi perang dan pada periode November 1947 – 31 Maret 1948, jumlah korban yang terjadi:
- Komisi Palestina PBB tanggal 16 Februari 1948, untuk periode 30 November – 1 Februari 1948 melaporkan 869 korban tewas (Yahudi: 381, Arab: 427, Inggris: 46, lainnya: 15) dan 1.909 terluka (Yahudi: 725, Arab: 1035, Inggris: 135, lainnnya: 15).
- Hingga akhir Maret 1948, menurut statistik dari CID, korban tewas dari kalangan Yahudi: 895, Arab 991, Inggris (tentara dan Polisi): 123, lainnya: 38. Sedangkan keseluruhan korban luka adalah 4,275 orang [“Palestine, 1948: war, escape and the emergence of the Palestinian refugee problem”, Yoav Gelber, hal.85] atau Statistik Polisi 30 November – 31 Maret, jumlah korban: 1,944 mati, (817 Yahudi, 922 orang Arab, dan 88 Inggris); 1497 luka parah, dan 2.638 luka ringan. [ringkasan berita harian UN, 02 April 1948]
- Selama Desember 1947 – Maret 1948, Sebanyak 50.000 – 75.000 Penduduk sipil Arab palestina mengungsi yang berasal dari kalangan kaya dan makmur area Jaffa, Haifa, Jerusalem dan sejumlah desa, juga para pengungsi yang awalnya adalah pendatang asing kewarganegaraa Libanon, Suriah dan Mesir yang datang selama mandat Inggris menetap di Palestina [“Israel and the Palestinian Refugee Issue: The Formulation of Policy, 1948-1956”, Jacob Tovy, hal.3]
Blokade Makanan di Jerusalem
Pengepungan Jerusalem telah direncanakan dan telah dilakukan sebelum tanggal 14 Agustus 1947, sebagaimana disampaikan dalam pengumuman tertulis Haj Amin Al-Husseini, sebagai “Pemerintah Tertinggi Palestina”:
“Di daerah Yerusalem, beberapa rencana ini memang dilakukan, misalnya penghancuran gedung Badan Yahudi dan jalan-jalan Ben-Yehuda dan Montefiore, [serta] pemblokiran jalur Bab al-Wad … dan pengepungan Yerusalem 115.000 orang Yahudi. Situasi mereka memburuk … dan mereka diminta untuk menyerah dalam tiang bendera putih“
Untuk kebutuhan makan, diperkirakan kaum Yahudi Jerusalem memerlukan 50 lorry-load(truk)/minggu atau menurut komite khusus minimal 4500 ton/bulan.
Sejak masuknya Abd al-Qadir al-Husaini ke Palestina via Suriah pada tanggal 22 Desember 1947, maka gangguan jalan antara Tel Aviv dan Yerusalem makin merebak. Laskar Arab memblok rute masuk Jerusalem dengan tujuan mengisolasi 100.000 penduduk Yahudi Jerusalem, mereka kerap menyergap kendaraan Yahudi yang membawa suply makanan. Pada bulan Januari 1948 jumlah truk yang berhasil masuk Yerusalem berkurang menjadi 30.
Di akhir Januari 1948, Abd al-Qadir al-Husaini menyewa 6 bangunan di Bir Zayt (21 km dari Jerusalem) sebagai markas besarnya di Bir Zayt. Bulan Februari 1948, Abdul Qadir al-Husaini memblokade jalan Barat kota Jerusalem. Diperkirakan terdapat 5300 laskar Arab termasuk 300 laskar Irak dan 60 Muslim Yugoslavia yang menjaga blokade di seluruh rute masuk.
Pada 31 Maret 1948, konvoi 60 kendaraan Yahudi diserang di Hulda dan terpaksa kembali (Yahudi yang tewas: 9, dan yang luka: 17). Selama bulan Maret 1948, jumlah truk/hari yang dapat masuk Jerusalem menjadi 6. Pada akhir Maret 1948, pasokan makanan bagi warga sipil Yahudi Yerusalem akan habis, Koran Scotsman tanggal 03 April 1948 melaporkan hasil pertemuan pemimpin militer Arab di Damaskus yang mengumumkan bahwa Yerusalem akan “dicekik” dengan blokade.
Tanggal 02 April – 20 April 1948,
Ben-Gurion meluncurkan operasi Nachshon untuk membuka kota dan menyediakan pasokan makanan bagi Yerusalem, akibatnya adalah para desa Arab yang berada jalur pemblokiran rute direbut atau dihancurkan, diantaranya yang monumental adalah
- Tanggal 03-09 April, Al Qasta, populasi: 90, bangunan di hancurkan. Di pertempuran tanggal 7-8 April 1948, Abd al-Qadir al-Husaini tewas di Al-Qastal. Pengganti Al Husseini, yaitu Emil Ghuri, mengubah taktik tidak lagi melakukan serangkaian penyergapan di seluruh rute, namun membuat penghalang besar jalan di Bab-el-Oued, dan Yerusalem sekali lagi diisolasi.
- Tanggal 09 April, Deir Yasin, populasi: 610, 100 penduduknya terbunuh, sisanya melarikan diri [juga lihat ini]
Namun demikian,
Pada bulan itupun hanya 1.800 ton dari 3.000 ton yang dapat masuk kota.
Pada tanggal 13 April 1948,
Di Hadassah, Laskar Arab membantai konvoi yang membawa pasokan medis dan militer dan personil untuk rumah sakit Hadassah. konvoi itu dikawal Haganah. Korban tewas: 78 dokter Yahudi, perawat, mahasiswa, pasien, dan pejuang Haganah, 1 tentara Inggris, puluhan mayat tak dikenal, terbakar tak bisa dikenal.
- Badan Yahudi menyatakan bahwa konvesi Jenewa telah dilanggar (tidak menyerang unit pertolongan).
- Kaum Arab mengklaim mereka menyerang sebuah formasi militer dan semua anggota konvoi itu ikut dalam pertempuran, dan bahwa tidak mungkin untuk membedakan kombatan dari penduduk sipil.
- Pasukan Inggris awalnya tidak melakukan intervensi dengan alasan untuk, “membiarkan orang-orang Arab membalas dendam atas Deir Yasin, agar dapat menenangkan agak kemarahan dunia Arab“. Martin Levin: Asalkan operasi kaum Arab tidak diganggu, maka mereka tidak akan menembaki Inggris. Jenderal Gordon Holmes MacMillan mendekati area dari jalan Nablus, mengamati baku tembak, menahan diri melakukan intervensi yang mempertaruhkan nyawa orang Inggris, dan membiarkan Yahudi dan Arab berkelahi habis-habisan.
[Lihat juga wikipedia: Operation_Nachshon, Siege_of_Jerusalem_(1948), 1947–48 Civil War in Mandatory Palestine]
Pada 04 April s.d 15 April 1948,
tentara Pembebasan Arab (ALA, Bataliun Yarmuk) dengan 1000an orang tentara pimpinan Fawzi al-Qawuqji melancarkan serangan ke Mishmar Haemek yang berpenduduk 550. Serangan itu hampir memporakporandakan kaum Yahudi, namun kemudian Haganah datang, keadaan menjadi berbalik, tentara pembebasan Arab menjadi terdesak dan mundur ke desa-desa terdekat dan terus dikejar Haganah, banyak penduduk desa, sebelum kedatangan Haganah, telah lari terlebih dahulu mengosongkan desa mereka, sehingga setiap desa yang dilalui Haganah, desa itu dibakar dan dihancurkan untuk menghilangkan ancaman permanaen terhadap Mishmar Haemek.
Tampaknya para pemimpin perlawanan Yahudi ini telah belajar bahwa tumbuh suburnya perusuh adalah karena mendapat sokongan atau terjadi pembiaran oleh desa/areanya, oleh karenanya, kaum Yahudi mulai melakukan hukuman kolektif, untuk membasmi perusuh, sarangnya (desa/area) juga dihancurkan. Namun demikian, terdapat pendekatan lain yang dilakukan para pemimpin Yahudi, yaitu pada beberapa suku Arab, mereka melakukan perekrutan menjadi Pro-Yahudi.
Cikal-bakal Kaum Druze Muslim Arab, Arab Badui menjadi tentara organik Israel
Selama perseturuan antara kelompok Islam pimpinan Haji Amin Huseini dan kaum Yahudi hingga menjelang akhir Mandat Inggris, kaum Druze muslim menjaga netralitasnya hingga kemudian di tahun 1946 dari keluarga Al Mu’addi mendukung kelompok Zionis. Pada Desember 1947, Fawzi al-Qawuqji, berhasil membangun batalion Druze dengan 500 pejuang dari Suriah dan Lebanon. Pada bulan April 1948 batalyon tersebut ikut dalam pertempuran Husha-Qasayr melawan kaum Yahudi dan lebih dari 100 Druze tewas dan 100 lainnya luka-luka. Kaum Yahudi berusaha mendekati kaum Druze dan berhasil merekrut beberapanya. Selama musim panen tahun 1948, Haganah dan rekan Druzenya, melakukan perekrutan Druze desa Isfiya dan Daliyatal-Carmel (dekat Haifa), 25 orang pemuda mau bergabung dalam ketentaraan yang kemudian menjadi inti dari unit minoritas Haganah bersama dengan para pejuang Druze dari Suriah yang telah meninggalkan ALA. Jumlah total unit minoritas Arab muslim awal yang berjuang bersama kaum Yahudi ini adalah 400 Druze, 200 suku Arab Badui dan juga 100 dari Circassian. [“Palestina di Israel: Bacaan dalam Sejarah, Politik dan Masyarakat”, Kais M. Firro, hal.58].
Note:
Riset: Ribuan Muslim Jadi Tentara Israel
REPUBLIKA.CO.ID, NAZARET — Hasil penelitian Pusat Penelitian Politik dan Strategi “Javi” di Universitas Barailan, Tel Aviv, merilis data yang cukup mengejutkan. Hasil penelitian tersebut menyebutkan adanya warga muslim di internal pasukan Israel sejak berdirinya negara ini pada tahun 1948.
Pasukan Israel yang berasal dari warga Arab sudah ada sejak berdirinya Israel. Mereka memanfaatkan warga Arab dalam pos keamanan yang saat itu diterima di sejumlah pemukiman Israel.
Salah satu pimpinan Arab di pasukan Israel adalah jenderal Yusuf Tarumbaldur. Dia saat itu menjadi simbol pengorbanan membela negara untuk memperlihatkan loyalitasnya kepada negara Israel.
Penelitian menyebutkan tentara dan perwira Arab menunaikan tugasnya di internal pasukan Israel berlandaskan slogan yang ditanamkan gerakan zionis pada jiwa minoritas Arab di internal Israel. Yaitu moral melakukan pembelaan.
Setiap tentara atau perwira yang rela dengan sebuah negara yang menaunginya itu wajib membelanya dari serangan musuh dari Arab maupun lainnya. Seorang tentara Israel dari warga Arab merupakan warga Israel kelas satu. Ia memiliki status sosial, ekonomi, dan identitas baru Israel.
Terus Bertambah
..Warga Arab terkonsentrasi di kawasan Galil dan Mutsalas. Pihak Israel memberikan identitas keagamaan khusus bagi mereka. Israel juga memberikan pendidikan dan memelihara identitas asal mereka.
Data menyebutkan pasukan perang Israel mencakup 12 ribu warga muslim. Sebanyak 1.120 orang berasal dari Mesir. Mereka bergabung atas dasar keinginan mereka setelah mereka eksodus ke Israel. Para pemuda Mesir yang bekerja di militer Israel disebut sebagai tentara yang paling loyal dan serius bekerja. Mereka mendapatkan gaji bulanan sekitar 4000 sampai 4500 shekel.
Para perwira dan tentara Arab Israel menunaikan kewajiban mereka sejak sejarah pendirian negara Israel. Usai perang 1967, Presiden Golda Meir memberikan tanda penghormatan kepada para perwira dan pasukan Israel dari kaum muslimin Arab atas keberanian dan kepahlawanan mereka. [Sumber: Republika, Rabu, 01 Agustus 2012, 12:54 WIB atau bersamadakwah.com)/ Abda.co]
..Fahad Fallah adalah seorang perwira Muslim berpangkat kapten di institusi militer Israel. Fallah yang berasal dari suku Badui Israel mengaku bangga menjadi anggota korp militer dan siap bertempur di laga mana pun melawan musuh-musuh Israel. Ia juga mengaku ikut bertempur dalam perang Jalur Gaza lalu (27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009).
Fallah menuturkan, menjadi anggota militer Israel adalah warisan keluarga. ”Kakek dan bapak saya menjadi anggota militer Israel,” kata Fallah.
Banyak warga Badui Arab yang beragama Islam bangga memiliki loyalitas pada negara Israel, tempat kelahiran mereka. Dan sejarah kerja sama Badui-Yahudi sesungguhnya telah terjadi sebelum berdirinya negara Israel tahun 1948.
Kepala kabilah Al Hib dari suku Badui, Abu Yousuf, bahkan mengirim 60 anggota kabilah itu untuk membantu Yahudi berperang melawan Arab pada tahun 1946-1947. Kabilah Al Hib hidup di lembah-lembah Galilie (kini wilayah Israel Utara berbatasan dengan Lebanon dan Suriah).
Di Israel juga ada tugu pahlawan khusus bagi serdadu Israel dari Badui Muslim yang gugur dalam berbagai kancah peperangan melawan bangsa Arab. Selain dari kalangan Badui, dikenal pula suku Druze Muslim yang menjadi anggota militer Israel. [Kompas.com, Senin, 16 November 2009 | 06:08 WIB]
Juga simak VIDEO ini dan simak juga potret pahlawan-pahlawan muslim yang menjadi bagian organik tentara israel, yang malah giat membela tanah air tercinta mereka, ISRAEL [frontpagemag.com]. Bahkan BBC.co.uk juga mengatakan: SETIAP TAHUNNYA RATUSAN MUSLIM mendaftarkan diri dalam ketentaraan organik Israel, siap turut bersimbah darah membela Israel, tanah air mereka tercinta dari serbuan para penjajah dan pengacau, baik itu dari kalangan Arab Palestina, negara-negara Arab lainnya ataupun bukan, atau mereka yang menunggangi Islam sebagai alat untuk berkuasa, merebut negara, membalas dendam ataupun menjadikan sebagai bahan jihad. Mereka yang menunggangi ini, tampaknya tidak tahu jika quota surga ajaran mereka sudah lama habis.
Ringkasan perang sipil antara: Gabungan negara Arab dan laskar Arab Palestina vs Kaum Yahudi, untuk periode 1 April 1948 – Mei 1948 diantaranya:
- Operation Balak (Operasi penyelundupan senjata oleh kaum Yahudi dimasa embargo senjata),
- Plan Dalet (Pedoman pengamanan wilayah kaum Yahudi, perbatasannya dan penduduknya dan antisipasi terhadap Invansi tentara Arab),
- Operasi Nachshon diluncurkan pada tanggal 6 April 1948, dengan tujuan membuka jalan ke Yerusalem. Desa Deir Yasin termasuk dalam daftar desa-desa Arab untuk ditempati sebagai bagian dari operasi itu.
Pada tanggal 2 April 1948, penduduk Deir Yassin mulai menembaki secara menggelap ke pojokan Yahudi Bet Hakerem dan Yefe Nof. Menurut laporan oleh Shai (intelejen Haganah), terdapat benteng yang sedang dibangun dan terdapat timbunan sejumlah besar senjata di desa itu, juga kehadiran para pejuang asing, termasuk tentara Irak dan laskar Arab.
Sebuah penelitian seorang Arab di Universitas Bir Zeit (dekat Ramallah) menyampaikan bahwa penduduk Deir Yassin aktif melakukan tindak kekerasan terhadap Yahudi dan banyak penduduk desa ikut berjuang melawan Yahudi, bersama-sama Abd el-Husseini Kadr. Terdapat lebih dari 100 orang telah dilatih dan dilengkapi senapan dan Bren. Juga dinyatakan parit digali di pintu masuk desa. Sebuah pasukan penjaga setempat telah dibentuk dan 40 penduduk menjaga desa setiap malam. (Knaana Sherif, Desa-desa Palestina hancur pada tahun 1948 – Deir Yassin Bir Zeit University, Dokumentasi dan Departemen Riset 1987.)
Pada tanggal 09 April 1948 dilancarkan operasi dan untuk mencegah korban yang tidak perlu, diputuskan bahwa pasukan tempur akan didahului sebuah mobil lapis baja yang berisi pengeras suara, untuk memberitahukan para penduduk desa bahwa desa dikelilingi oleh pejuang Irgun dan Lehi, dan mereka akan didesak untuk pergi ke Ein Karem atau menyerah. Mereka juga diberitahukan bahwa jalan ke Ein Karem terbuka dan aman. Saat pelaksanaan, ratusan penduduk melarikan diri ke Ein Karem, Mereka yang tetap tinggal di desa menyerah dan ditawan. Para tahanan, sebagian besar perempuan dan anak-anak, diangkut truk dibawa ke Yerusalem Timur, diserahkan kepada saudara-saudara Arab mereka.
Ini juga tercantum dalam publikasi liga Arab berjudul “Agresi Israel”, antara lain, “Pada malam 9 April 1948, desa Arab damai Deir Yassin dikejutkan pengeras suara yang meminta, penduduk untuk segera mengungsi“.
Di pagi buta tersebut, terdapat 100 pejuang Arab bersenjata berikut amunisinya yang bersembunyi di bangunan-bangunan desa sementara pejuang Israel berada di luar desa, sehingga perlu granat untuk mengeluarkan pejuang Arab tersebut yang berakibat banyak perempuan dan anak-anak terkena. Setelah perang usai penduduk yang menyerah, termasuk anak-anak dan perempuan diangkut dengan truk ke Yerusalem Timur dan diserahkan kepada saudara-saudara Arab mereka.
Hazem Nusseibeh, editor layanan berita Arab Palestina tahun 1948, diwawancarai BBC untuk serial: “Israel dan Arab. Konflik 50 tahun” menjelaskan pertemuan dengan korban Deir Yassin dan pemimpin Palestina, termasuk Hussein Khalidi, sekretaris Komite Tinggi Arab, di Jaffa, Kota Tua Yerusalem. “Aku bertanya Dr Khalidi bagaimana kisah ini hendaknya disampaikan?” kenang Nusseibeh, yang sekarang menetap di Amman, “Dr Khalidi menyatakan, ‘Kita harus perbesar tentang ini’. Maka kami menulis siaran pers yang menyatakan bahwa anak-anak Deir Yassin dibunuh, wanita hamil diperkosa dan segala macam kekejaman“.
Cerita-cerita perkosaan ini membuat marah penduduk desa dan memprotes pada komite darurat Arab bahwa anak-anak dan istri mereka diekspoloitasi untuk kepentingan propaganda (lihat hal.314).
Seorang korban Deir Yassin, yang diidentifikasi sebagai Abu Mahmud, mengatakan para penduduk desa, waktu itu memprotes, “Kami katakan tidak ada perkosaan” Khalidi mengatakan, “Kita harus mengatakan ini, sehingga tentara Arab akan datang untuk membebaskan Palestina dari orang Yahudi.”
“Ini adalah kesalahan terbesar kami” kata Nusseibeh, “… Kita tidak menyadari akan reaksi orang-orang kita. Begitu mereka dengar bahwa perempuan telah diperkosa di Deir Yassin, para penduduk Palestina kabur ketakutan, di semua desa kami“. Ia mengatakan kepada Larry Collins di tahun 1968: “Kami melakukan kesalahan besar, dan menyebabkan permasalahan pengungsian“. Seorang warga yang dikenal sebagai haji Ayish menyatakan bahwa “tak ada pemerkosaan“. Dia mempertanyakan keakuratan siaran radio Arab yang “berbicara wanita dibunuh dan diperkosa“, dan bukannya percaya bahwa “sebagian besar dari yang tewas di antara para pejuang dan para wanita dan anak-anak yang membantu para pejuang”
Dalam artikel “Deir Yassin menjadi korban senjata dan propaganda“, oleh Paul Holmes, Ia mewawancarai Mohammed Radwan, penduduk Deir Yassin di tahun 1948, yang ikut berjuang beberapa jam sebelum kehabisan peluru, “Aku tahu ketika aku berbicara bahwa Allah ada di atas sana dan Allah tahu kebenaran dan Allah tidak akan mengampuni para pendusta“, kata Radwan, yang menyatakan penduduk desa yang terbunuh di jumlah 93, tercantum di tulisan tangannya. “Tidak ada pemerkosaan. Ini semua kebohongan. Tidak ada wanita hamil yang dibelah. Itu propaganda … kaum Arab-Palestina diusiri (oleh pimpinan Arab) dengan begitu tentara Arab akan menyerang” katanya. “Mereka (Kaum Arab) akhirnya mengusiri orang-orang di seluruh Palestina dengan rumor Deir Yassin” [Lihat: Deir Yassin (Wikipedia, Etzel)]
- Operation Yiftach (dilakukan pada 28 April-29 Mei 1948, dengan tujuan menguasai Galilea Timur, terutama Safed untuk mengamankan perbatasannya dengan Libanon dan Suriah, sebelum berakhirnya Mandat Inggris:14 Mei 1948),
- Pembantaian Kfar Etzion (Pembantaian dilakukan laskar Arab Palestina dan penduduk desa terdekat terhadap kaum Yahudi komunitas pertanian di Kfar Etzion padahal kaum Yahudi sudah dalam tawanan mereka dan pembalasan kaum Yahudi pada desa yang ikut pembantaian yaitu desa Al-Dawayima, mereka balas dengan pembantaian),
- Operation Yevusi (Operasi sehubungan dengan blokade Jerusalem pada 22 April – 3 Mei 1948: Pengendalian jalan menuju Gunung Scopus, Katamon, kelas menengah, pinggiran barat daya Yerusalem; dan Augusta Victoria/Arah timur Kota Lama: Lucunya. Inggris yang sebelumnya tidak terlalu peduli adanya embargo makanan terhadap kaum Yahudi Jerusalem yang dapat melalui Sheikh Jarrah, namun setelah desa ini dikuasai kaum Yahudi, Komandan pasukan Inggris, Macmillan menyerukan kaum Yahudi di sana agar mundur karena pasukan Inggris akan menggunakan jalan ini untuk mencapai bagian Utara dan berjanji menjadikannya sebagai zona demiliterisasi bagi dua belah pihak. Begitu pula saat Katamon direbut, Inggris campur tangan dan menuntut gencatan senjata namun kali ini, tuntutan Inggris diabaikan kaum Yahudi dan daerah tetap dalam kontrol kaum Yahudi),
- Operation Kilshon (Periode 13-18 Mei 1948, tujuannya menduduki area pinggiran Jerusalem khususnya Yalbiya di pusat Jerusalem) dan
- Operation Ben-Ami (13 Mei – 11 Juni 1948, awalnya untuk merebut area Acre namun berlanjut terus ke 4 desa Timur dan Utara Acre)
Pengakuan Komite Tinggi Arab (AHC) sebagai pihak yang memulai perang
Pada pertemuan dewan keamanan PBB ke-287, tanggal 23 April 1948, Komite Tinggi Arab (AHC), Jamal Al-Hussaini, mengakui bahwa pihaknya yang memulai perang ini.
Kami tidak pernah menyembunyikan fakta bahwa kamilah yang mulai pertempuran. Kami mulai karena kami selalu berada di bawah kesan, seperti kami sekarang bahwa kami sedang berperang untuk membela diri. Oleh karenanya kami percaya bahwa kami cukup dibenarkan. Namun, jika seluruh situasi ditinjau dan jika yang salah telah diperbaiki, maka kami seharusnya menjadi yang pertama menerima gencatan senjata. [Sidang Dewan keamanan no.62, hal.14] [↑]
Perang Arab-Israel ke-1: Berdirinya Negara Israel
Pada tanggal 3 Januari 1948, Sepulangnya dari Amerika, Kaplan (bendaharawan Badan Yahudi) menyampaikan bahwa komunitas Yahudi Amerika mulai capek berkontribusi terhadap “kebutuhan luar negeri”. Ia juga memperkirakan bahwa biaya persegera untuk keperluan perang adalah sekitar US$ 7 juta. Untuk menanggapi kebutuhan ini, Mrs.Golda Meir mengajukan diri untuk berangkat ke Amerika guna mengumpulkan dana. Ia berada di Amerika tanggal 23 Januari 1948 hingga 17 Maret 1948. Saat Mrs Meir di Dallas, dihadapan para Yahudi kaya makmur yang bukan anggota organisasi Zionis, Ia berkata,
“Anda sekalian tidak bisa memutuskan apakah kami harus berperang atau tidak, kami akan berperang … Yang bisa Anda sekalian putuskan hanya 1 hal yaitu apakah kami yang akan menang atau mufti yang akan menang..dan Aku memohon dihadapan anda sekalian – janganlah terlambat memutuskan. Janganlah di 3 bulan lagi anda sekalian menyesal dalam kepahitan atas apa yang anda sekalian gagal lakukan di hari ini.”
Meir kembali ke Israel dengan US$50 juta yang digunakan untuk pembelian persenjataan, amunisi dan pesawat udara dari Eropa. Dari estimasi biaya total sebesar US$ 270 juta selama perang terpanjang di sejarah Israel, 1/3-nya (US$ 90 Juta) adalah hasil upaya Golda Meir dalam 2 kunjungannya ke Amerika. Ben-Gurion menyatakan, “Kelak, ketika sejarah dituliskan, akan tertulis seorang perempuan Yahudi yang mendatangkan uang dan membuat berdirinya negara jadi memungkinkan” [“Mother of a nation, but not much of a mother“, “Israel’s Midwife: Golda Meir in the Closing Years of the British Mandate“, Meron Medzin]
Tanggal 10 Mei 1948,
4 hari sebelum resmi berdirinya Israel, Meir menuju ke Amman, Yordania, menyamar sebagai seorang wanita Arab, untuk melakukan pertemuan rahasia dengan Raja Abdullah I Yordania, Ia mendesak Raja Abdullah untuk tidak bergabung dengan negara Arab lainnya menyerang kaum Yahudi. Raja Abdullah memintanya agar tidak buru-buru memproklamirkan berdirinya negara, Meir menjawab: “Kami sudah menunggu selama 2.000 tahun, Apakah ini terburu-buru?” [“Golda Meir: Peace and Arab Acceptance Were Goals of Her 5 Years as Premier”. New York Times. December 9, 1978]
Di hari kemerdekaan Israel, 14 Mei 1948, terdapat 24 orang penandatangan deklarasi kemerdekaan Israel, 2 orang diantaranya perempuan dan Golda Meir adalah salah satunya, Ia saat mengenang kejadian itu, berkata,
“Setelah menandatanganinya, aku menangis. Ketika aku belajar sejarah Amerika sebagai anak sekolahan dan Aku baca mereka yang menandatangani Deklarasi Kemerdekaan AS, aku tak bisa bayangkan mereka-mereka ini adalah nyata dan melakukan hal nyata dan di sana aku duduk dan menandatangani deklarasi kemerdekaan ini“
Pada tanggal 14 Mei 1948,
sehari sebelum Mandat Inggris berakhir, David Ben Gurion (Perdana Mentri Perma Israel) membacakan text proklamasi kemerdekaan Israel dan pembentukan pemerintahan sementara. Resolusi PBB no181 disebutkan dalam Deklarasi Israel: Kemerdekaan adalah pengakuan hak Rakyat Yahudi untuk mendirikan negara.
- Sekurangnya 46 Negara mengakui Israel secara De Facto (Amerika adalah negara pertama secara de facto, Iran yang dalam pemungutan suara memilih menolak partisi, juga mengakuinya). Sekurangnya 138 Negara (134 anggota PBB + 4 bukan anggota: termasuk Negara Palestina), mengakui Israel secara De Jure (USSR adalah negara pertama secara de jur, AS mengulangi pengakuannya di tanggal 31 Januari 1949).
- Di hari deklarasi kemerdekaan Israel, Liga Arab mengumumkan pembentukan pemerintahan sipil di seluruh Palestina, yang diakui oleh Mesir, Irak, Suriah, Lebanon, dan Arab Saudi. Namun demikian, deklarasi kemerdekaan Palestina baru disampaikan tanggal 15 November 1988 dan 135 Negara mengakuinya. PBB mengakui Palestina sebagai negara adalah pada tanggal 29 Nov 2012 namun demikian, hingga hari ini, Palestina masih belum diterima sebagai anggota PBB.
Tanggal 15/16 Mei 1948,
Israel, sebuah negara yang baru saja berumur 1 hari, kemudian di invasi oleh negara Jordan, Mesir, Irak, Lebanon, Suriah, Saudi Arabia dan Yaman. Kuwait juga ikut dengan menyiapkan kontingen namun bukanlah pemain inti. Dari seluruh negara penjajah ini, hanya Jordan yang bukan anggota PBB.
6 Negara anggota PBB, di samping tidak mematuhi resolusi PBB, juga berusaha menggagalkan RESOLUSI PBB no.181 dengan jalan kekerasan.
Periode ini disebut perang Arab-Israel 1948 atau Perang Kemerdekaan atau Nakba Palestina (nakba = bencana).
Di tanggal 11 Juni 1948, PBB menyerukan gencatan senjata kepada para pihak yang bertikai. Ini hanya berhasil sementara, kemudian, pihak Arab-Palestina mulai lagi melakukan agresinya dan terjadilah pertempuran selama 10 hari pada tanggal 8 Juli 1948 – 18 Juli 1948 yang juga diakhiri gencatan senjata melalui resolusi PBB no.54 namun lagi-lagi ini tidak bertahan lama, pihak Arab kembali melakukan agresi, di bulan Oktober 1948.
Selama perang kemerdekaan ini, Israel kehilangan beberapa wilayah yaitu:
- Diambil Yordania: wilayah pertanian yang dihuni kaum Yahudi, partisi wilayah Palestina dan Internasional, yaitu: Kibbutz Beit Ha-arava dan Kaliya (Sebelah Utara Laut Mati), 4 kibbutz area Gush Etzion (Sebelah Barat Bethlehem), Atarot dan Neve Yaakov (Sebelah Utara Yerusalem), dan pojokan Yahudi di Kota Tua Yerusalem. Berikut narasi kehancuran pojokan Yahudi oleh pasukan Yordania, dari memoar kolonel Abdullah Al-Tal:
“… Operasi kehancuran segera dilaksanakan …. aku tahu pojokan Yahudi dipadati para Yahudi yang menyebabkan para pejuang mereka mengalami gangguan dan kesulitan …. Aku teruskan, karenanya, menghujani pojokan dengan mortir, menciptakan pelecehan dan kehancuran …. Hanya empat hari setelah kami masuk Yerusalem pojokan Yahudi menjadi kuburan mereka. Kematian dan kehancuran menyelimutinya …. Saat senja di hari Jumat, 28 Mei, 1948, mendekati waktu Shalat, pojokan Yahudi berguncang dalam kabut hitam, kabut kematian dan penderitaan” – Yosef Tekoa (Wakil tetap Israel untuk PBB) mengutip Abdullah el-Tal.
Dua hari setelah menaklukan pojokan, komandan Yordania melaporkan pada markas besarnya, “untuk pertama kalinya dalam 1000 tahun tak seorang Yahudipun tersisa, tak satu bangunanpun utuh, ini membuat kaum yahudi tak mungkin bisa kembali” [Haaretz: “Byzantine arch found at site of renovated Jerusalem synagogue”, Nadav Shragai, 28 Nov 2006 12:00 AM].
- Diambil Mesir: wilayah kaum Yahudi dalam partisi wilayah Palestina: Kfar Darom (dekat Gaza).
Namun demikian, secara keseluruhan, Pihak Israel berhasil mempertahankan kemerdekaannya dan bahkan dari pertempuran-pertempuran yang berlangsung, wilayah Israel bertambah lebih luas lagi yaitu dari 5,700 mil²/14,763 km² menjadi 7,849.5 mil²/20,330 km² (atau 78%nya dari mandat untuk Palestina).
Tanggal 16 Juni 1948,
dilakukan rapat kabinet Israel mengenai sikap Israel terhadap pengungsi Arab Palestina apakah akan diperkenankan/tidak untuk kembali dan bagaimana menanganinya:
- Menlu Sharett (Partai Mapai//Partai Buruh cabang dari Marxist-Zionis): Ganti rugi atas tanah dan aset dipersiapkan sebagai bekal para pengungsi Arab-Palestina yang memilih untuk menetap di negara asing. Para pengungsi tidak diperbolehkan kembali karena merupakan konsekuensi kekalahan perang.
- PM dan MenHan, David Ben-Gurion (Partai Mapai, 46 kursi dari 120 kursi Parlemen/Knesset): Bukan kita yang membuat perang tapi mereka. Haifa, Jaffa, Beit Shaan melawan kita. Dan aku tidak ingin mereka memerangi kita lagi dan lagi. Itu bukan tindakan bajik yang cenderung naif. Itu tindakan tanpa pamrih dari para suciwan. Haruskah kita membawa musuh kembali agar mereka dapat memerangi kita lagi di Beit Shaan? Tidak! Mereka memerangi dan mereka kalah. Aku tidak punya tanggungjawab memelihara Beit Shaan. Mereka kalah dan pergi [..] Aku lebih suka mereka tidak akan pernah kembali lagi bahkan setelah perang selesai.
- Menteri Pertanian (Partai Mapam/Partai persatuan buruh, cabang dari Marxist-Zionis, sosialis sayap kiri, 19 kursi di parlemen): berharap bisa menjalin perdamaian dan aliansi dengan Arab di Timur tengah. Menurutnya, orientasi melarang para pengungsi Arab kembali tanpa adanya: pendekatan, penempatan, dialog, transfer penempatan di wilayah lain atau tindakan konstruktif sejenis yang dapat menumbuhkan kepercayaan, akan menjadi batu sandungan besar bagi Israel.
Partai Mapam memandang pengabaian persoalan pengungsi hanya akan menarik permusuhan dari sekeliling Israel, sehingga akan sulit untuk mempertahankan kemerdekaan. Di tanggal 22 Juli 1948, surat kabar Partai Mapam membuat tajuk editorial: Pemerintah mesti mengumumkan kepada para pengungsi bahwa harta, rumah, ladang dan hak-hak mereka dijaga baik untuk mereka, setelah perang usai, mereka yang hendak kembali, akan dibukakan pintu.
Karena tidak ingin koalisi partai di pemerintah pecah, maka di tanggal 20 Juni 1948, saat diwawancarai surat kabar New York Herald Tribune, direktur divisi Timur Tengah, kementerian Luar Negeri Israel, Eliahu Sasson menyatakan bahwa sejumlah pengungsi, yang hendak kembali mungkin diberikan secara selektif, jika ini merupakan bagian dari perjanjian damai dengan negara-negara Arab. Namun demikian, berikut ini adalah sikap resmi negara Israel yang disampaikan Menlu Israel untuk perwakilan mereka di PBB pada tanggal 22 Juli 1948:
Pengungsi tidak diijinkan kembali, karena membahayakan stabilitas negara dan bersifat anarkis, karena ini akan dijadikan pangkalan oleh musuh luar dan pembuat onar di dalam negeri namun pengecualian tertentu diberikan kepada mereka atas dasar kemanusiaan setelah melalui pemeriksaan ketat. Hak kembali dapat diberikan sebagai bagian dari kesepakatan damai dengan negara-negara Arab yang dikaitkan permasalahan hak kaum Yahudi yang disita di negara-negara tetangga dan juga masa depan mereka di sana. [“Israel and the Palestinian Refugee Issue: The Formulation of Policy, 1948-1956”, Jacob Tovy, hal.13-17]
Akibat perang ini: Berapakah jumlah Pengungsi Arab Palestina dan jumlah pengungsi Yahudi dari wilyah Israel-Palestina? Berapa jumlah Pengungsi Yahudi dari Negara-Negara Arab?
Estimasi dari Efraim Karsh tentang jumlah pengungsi Arab (hitungan perdesa sampai 30 November 1948) adalah: 583,121 – 609,071 orang. Berikut di bawah ini, beberapa versi lainnya:
- Versi Israel: Jewish National Fund (JNF, awal Juni 1948): 335.000. Dinas Intelejen Hagana (berisi rincian desa per desa, 1 Desember 1947 – 1 Juni 1948): 391,000 (239,000 dari wilayah negara Yahudi + 122.000 dari wilayah negara Arab + 30.000 dari Yerusalem). Studi lain Israel (akhir Oktober): 460.000.
- Versi Arab: Emile Ghouri (Pimpinan Palestina, pertengahan Juni 1948): 200.000. Beberapa minggu kemudiannya komentator radio Baghdad: 300.000 pengungsi.
Memo (pertengahan Agustus) dari organisasi di bawah naungan pemerintah Yordan yang dikirim ke negara-negara Arab dan SekJen Liga Arab (Azzam) menyampaikan jumlah: 700.000 (500.000nya berada di Palestina, sisanya di negara-negara Arab). Liga Arab (Oktober): 631.967, namun di akhir bulan Oktober: 740.000 dan 780.000 dan ketika bantuan PBB didirikan (UNRPR, Desember 1948) menjadi 962.643.
Sir Raphael Cilento (diplomat Inggris): laporan jumlah pengungsi dari otorisasi Arab tidak dapat diandalkan, diantara alasannya adalah jumlah pengungsi yang pindah daerah tidak dikurangi malah ditambahkan dalam laporan. Ralph Bunche (Pengganti Folke Bernadotte, diplomat Perancis): Pemerintah Suriah melaporkan ada 30.000 pengungsi di sana, padahal angka sebenarnya tidak lebih dari setengahnya. [Detail lainnya baca: “How Many Palestinian Arab Refugees Were There?“, Efraim Karsh, April 2011]
Dari progress report PBB, tanggal 16 September 1948,
hampir seluruh populasi Arab yang berada di area kontrol Yahudi, yaitu sejumlah lebih dari 400.000 sebelum pecahnya kerusuhan, telah pergi meninggalkan tanah, rumah dan kekayaan mereka. Estimasi jumlah Arab-Yahudi yang tersisa di area kontrol Yahudi adalah 50.000 orang.
Laporan per tanggal 10 September 1948, menyatakan estimasi jumlah pengungsi adalah Arab-Palestina: 330.000 s.d 360.000 orang, sedangkan pengungsi dari pihak Yahudi: 7.000 orang. Para pengungsi Yahudi tersebut berasal dari Jerusalem dan sekitarnya, mereka kabur dan berlindung di Israel dan kemudian menjadi warga negara Israel. Sementara untuk pengungsi Arab, mereka terdistribusi di area:
Negara/Area |
Jumlah |
Irak |
3,000 |
Libanon |
50,000 |
Suriah |
70,000 |
Transjordan |
50,000 |
Arab Palestina: |
|
(a) Nablus-Tulkarm-Ramalla |
80,000 |
(b) Gaza |
65,000 |
Mesir |
12,000 |
Total |
330,000 |
Berikut ini ragam estimasi jumlah pengungsi Arab-Palestina untuk tahun 1948-1949, yang diambil dari slide presentasi World Jewish Congress Executive Committee 19 Oktober 2009 :
Siapa pihak yang paling bertanggungjawab terhadap munculnya masalah pengungsian ini dan mengapa jumlah pengungsi Palestina TIDAK kunjung berkurang dan malah membesar?
Baik Israel maupun kaum Arab saling mengklaim bahwa lawannya-lah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pengungsian kaum sipil dari rumahnya. Namun demikian, Pihak pertama yang patut disalahkan justru para pemimpin negara Arab, Liga Arab dan Palestina.
Mengapa?
LBB dan PBB telah berulangkali mengeluarkan keputusan partisi wilayah dari tahun 1937 s.d 1947, Jika saja pihak Arab menerima usulan seperti yang Israel lakukan, maka perang tidak akan ada sehingga tidak akan ada urusan pengungsian.
Terungkap fakta bahwa negara-negara Liga Arab-lah yang menyerukan para Arab Palestina agar meninggalkan tanah, rumah, kekayaan mereka untuk mengungsi ke negara tetangganya, misal:
Artikel Abu Mazen (Mahmud Abbas, Presiden Palestina, anggota komite eksekutif PLO), “Apa Yang Telah Kita Pelajari Dan Apa Yang Harus Kita Lakukan”, Falastin Al-Thawra, Jurnal Resmi PLO, Beirut, Maret 1976:
 |
Tentara Arab masuk Palestina untuk melindungi orang Palestina dari tirani Zionis tetapi, sebaliknya, Tentara Arab mengabaikan orang Palestina, memaksa orang Palestina untuk pindah dan meninggalkan tanah air mereka, memberlakukan kepada orang Palestina kungkungan politik dan ideologi dan melemparkan orang Palestina ke penjara-penjara yang mirip ghetto tempat orang Yahudi dulu tinggal di Eropa Timur, seolah-olah kita telah dikutuk pindah tempat: Kaum Yahudi pindah dari ghettonya dan kami tempati yang serupa. Negara-negara Arab berhasil mencerai-beraikan rakyat Palestina dan hancurkan kesatuannya. Negara-negara Arab tidak mengakui rakyat Palestina sebagai kesatuan hingga negara-negara di dunia mengakuinya, dan ini disesalkan. Selama 17 tahun stasiun radio Arab menyiarkan niat mereka melemparkan kaum Yahudi ke laut dan mengembalikan para pengungsi ke rumah mereka. Negara Arab tidak membuang kaum Yahudi ke laut, juga tidak mengembalikan pengungsi ke rumah mereka, hingga Perang Oktober terjadi sebagai satu-satunya gemerlapnya kemenangan dalam perjuangan suram Arab-Israel. [“Politics, Lies, and Videotape: 3,000 Questions and Answers on the Mideast Crisis”, Yitschak Ben Gad, hal.305]
|
Kemudian,
diitemukan dokumen-dokumen terabaikan dari tahun 1948 di ruang bawah tanah Federasi Buruh Israel di Haifa yang memberikan gambaran lanjutan tentang eksodus. Sebagai tambahan pada selebaran bulan April 1948 yang menyerukan agar kaum Arab tetap tinggal.. [Lihat “Arab and Jewish Refugees – The Contrast“, Eli E. Hertz].
Poster dari Dewan Pekerja (Yahudi) Haifa, 28 April 1948, malah menyerukan agar para Arab jangan meninggalkan rumah dan pekerjaan mereka (hal.305):
 |
|
Seruan Dewan Pekerja Haifa
Kepada Warga Haifa,
Kepada Para Pekerja dan Pejabat
Selama bertahun-tahun kita tinggal bersama di kota Haifa kita, dalam keamanan dan saling pengertian dan rasa persaudaraan. Terima kasih untuk hal ini, kota kita maju dan berkembang untuk kemaslahatan kedua warga Yahudi dan Arab, dan dengan demikian Haifa menjadi contoh kota-kota lain di Palestina. Anasir permusuhan telah tidak bisa menyesuaikan diri di situasi ini dan anasir-anasir ini yang telah mendorong konflik dan merusak hubungan diantara kita. Namun tangan keadilan telah mengatasinya. Kota kita telah bersih dari anasir-anasir yang telah kabur menyelamatkan diri. Dengan demikian, sekali lagi ketertiban dan keamanan telah dipulihkan di kota dan telah terbuka jalan untuk perbaikan kerjasama dan persaudaraan antara pekerja Yahudi dan Arab
Pada saat ini kami percaya perlu untuk menyatakan dengan tulus: Kami adalah kaum yang cinta damai! Tidak ada alasan untuk takut seperti yang orang lain coba tanamkan pada diri anda semua. Tidak ada kebencian di hati kami atau niat jahat kami terhadap warga yang cinta damai yang, seperti kita, giat bekerja dan kreatif berusaha.
Jangan takut! Jangan hancurkan rumah anda semua dengan tangan sendiri; jangan tutup sumber mata pencaharian anda semua dan jangan sengsarakan diri dengan evakuasi yang tidak perlu dan membebani diri. Dengan keluar anda semua akan jatuh dalam kemiskinan dan penghinaan. Tapi di kota ini, Haifa kita, gerbang terbuka untuk bekerja, untuk hidup, dan untuk perdamaian, untuk Anda dan keluarga Anda.
Pekerja cinta damai dan tulus:
Dewan Pekerja Haifa dan Histadrut menyerukan pada Anda untuk kebaikan Anda sendiri untuk tetap tinggal di kota dan kembalilah bekerja seperti biasa.
Para Pekerja: Kota bersama kita, Haifa, menyerukan kepada Anda semua untuk bergabung dalam membinanya, memajukannya, membangunnya. Jangan khianati kotamu dan dirimu. Ikuti kepentingan sejatimu dan ikuti jalan baik dan tulus.
Federasi Buruh Yahudi di palestina
Dewan Pekerja Haifa |
Khaled Al-Azm, yang menjadi Perdana Menteri Suriah setelah perang tahun 1948, di Memoirs tahun 1972-nya (terbit di tahun 1973), mengatakan:
|
“Kita membawa kehancuran bagi satu juta pengungsi Arab dengan menyerukan dan meminta mereka meninggalkan tanah, rumah, pekerjaan, bisnis mereka, dan kita telah menyebabkan mereka menjadi tak produktif dan menganggur meskipun masing-masing dari mereka pernah bekerja dan memenuhi syarat dalam perdagangan untuk bisa mencari nafkah. Selain itu, kita membiasakan mereka mengemis menengadahkan tangan dan cukup dengan sedikit yang organisasi PBB dapat berikan pada mereka [“Politics, Lies, and Videotape: 3,000 Questions and Answers on the Mideast Crisis”, Yitschak Ben Gad, hal.306] “ |
Nimr el Hawari, komandan Najadah, Organisasi Pemuda Palestina, Di “Sir An-Nakbah” (Rahasia Dibalik Bencana, Nazareth, 1955), mengutip Perdana Menteri Irak, Nuri Said di tahun 1948:
“Kami akan hancurkan negara dengan senjata kami dan lenyapkan di setiap tempat di mana kaum Yahudi berlindung, orang Arab harus bawa istri dan anak mereka ke tempat aman sampai perang mereda” [lihat “Politics, Lies, and Videotape: 3,000 Questions and Answers on the Mideast Crisis”, Yitschak Ben Gad, hal.295. Juga lihat di 43 buku lainnya]
Sekjen Liga Arab Abu Issa (penerus Azzham Pasha), mengutip Azzam Pasha di surat kabar Libanon Al Hoda, tanggal 8/9 Juni 1951:
“SekJen Liga Arab, Azzam Pasha, meyakinkan orang-orang Arab bahwa pendudukan Palestina dan Tel Aviv akan sesederhana seperti militer yang sedang piknik … Ia tunjukkan bahwa mereka sudah berada di perbatasan dan bahwa jutaan Yahudi telah membelanjakan uang di lahan dan pembangunan ekonomi akan menjadi jarahan yang mudah, karenanya menjadi masalah sepele untuk membuang kaum Yahudi ke Mediterania. . . Saran persaudaraan diberikan kepada orang-orang Arab Palestina untuk meninggalkan tanah, rumah, dan kekayaan mereka dan tinggal sementara di negara-negara tetangga yang bersaudara, jangan sampai senjata tentara Arab turun menghantam mereka. [“Coercion and the State”, David A. Reidy, Walter Joram Riker, hal.39 catatan kaki no.5 dan lihat juga 30-an buku dan ragam pengarang sejak tahun 1951-2011, menyampaikan hal yang sama]
Sebuah memorandum dari Komite Tinggi Arab di Liga Arab, Kairo, 1952:
“Beberapa pemimpin Arab dan menteri mereka di ibukota Arab … menyatakan bahwa mereka menyambut imigrasi Arab Palestina ke negara-negara Arab sampai mereka selamatkan Palestina. Banyak orang Arab Palestina disesatkan pernyataan mereka …. Adalah wajar bagi orang Arab Palestina merasa terdorong untuk meninggalkan negara mereka mencari perlindungan di tanah Arab. . . dan tinggal di tempat-tempat berdekatan agar dapat memelihara kontak dengan negara mereka sehingga dapat dengan mudah kembali pada saatnya, sesuai dengan janji-janji dari banyak pihak berwenang di negara-negara Arab (janji yang diberikan sia-sia)…” [Lihat di 4 buku berbeda dari tahun 1964-1983]
Perintah agar penduduk Muslim keluar dari Palestina, yang dilakukan oleh para pemimpin negara arab dan juga laskar Arab Palestina, bukan hanya terkait strategi politik perang, namun tampaknya sangat terkait dengan perintah agama, karena di tahun 1993 (terdapat 2 tulisan dan 1 rekaman), Syeikh Naseruddin Albani berFatwa, agar muslim Palestina meninggalkan negerinya (keluar dari Palestina) dan yang ke-2 (yang bergaris bawah), rakyat tepi barat yang jika tidak mampu mengusir kafir, wajib hukumnya untuk pindah ke negara lain, berikut fatwanya:
- “إن على الفلسطينيين أن يغادروا بلادهم ويخرجوا إلى بلاد أخرى وإن كل من بقي في فلسطين منهم كافر”
(Warga muslim Palestina harus meninggalkan negerinya ke negara lain. Semua orang yang masih bertahan di Palestina adalah kafir)
- “السائل: أهل الضفة الغربية هل يجوز لهم أن يخرجوا ويهاجروا إلى بلد ثانية؟
الجواب: يجب أن يخرجوا.. يا أخي يجب أن يخرجوا من الأرض التي لم يتمكنوا من طرد الكافر منها إلى أرض يتمكنون فيها من القيام بشعائرهم الإسلامية”
(Penanya: Rakyat Tepi Barat apakah boleh bermigrasi ke negara lain?
Jawab: Wajib keluar…saudaraku dari negeri dimana mereka tidak mampu mengusir kafir, ke negeri di mana mereka dapat menjalankan syariat Islam)
Tampaknya perintah yang dikeluarkan para pemimpin negara Arab dan para pemimpin laskar Arab Palestina agar kaum Arab-Palestina segera meninggalkan rumah dan kekayaan mereka pada tahun 1948 memang terkait urusan keagamaan, karena Ulama pun memerintahkan hal serupa di tahun 1993, padahal situasi saat itu tidaklah seburuk tahun 1948.
Jadi, terjadinya ratusan ribu pengungsi Palestina adalah konsekuensi logis akibat percaya dan mengikuti perintah para ulil amri (pemimpin agama) mereka sendiri!
Disamping itu,
Karena panutan mereka telah kabur duluan dan juga pemerintah Inggris juga ikut menyuruh agar para Arab-Palestina mengungsi, maka terjadilah efek domino pengungsian yang masif:
- Howard Sachar, dalam “A History of Israel”, mencatat: “Kepergian para mukhtar (Kepala desa), hakim, dan Cadi (hakim agama) dari Haifa, Jerusalem, Jaffa, Safed, dan di tempat lain, memberikan pukulan besar pada populasi Arab. Karakter semi feodal semi masyarakat Arab..berketergantungan pada tuan tanah dan cadi, begitu para elit ini pergi, para petani Arab menjadi khawatir pada kekosongan di kelembagaan dan kebudayaan“
- Januari 1948, Hussein Khalidi, Sekretaris Komite Tinggi Arab (AHC) mengeluh kepada Mufti: “40 hari setelah deklarasi jihad …. Semua meninggalkan aku. 6 [anggota AHC] berada di Kairo, 2 berada di Damaskus – Aku tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi …. Setiap orang pergi. Semua yang punya cek atau uang … pergi ke Mesir, Libanon, ke Damaskus“
- Komisaris Tinggi Palestina Mandat Inggris, Jenderal Sir Alan Cunningham, dalam laporannya ke London di era Mandat berakhir mencatat: Runtuhnya moral kaum Arab runtuh di Palestina .. karena kecenderungan untuk meninggalkan negara oleh orang-orang yang seharusnya memimpin mereka meningkat …. di seluruh bagian negara, evakuasi besar-besaran di kelas tuan tanah semakin meningkat.
- Prof Yoav Gelber, merekam jejak disintegrasi masyarakat Arab Palestina, memperhatikan efek domino migrasi massa, yang ia tuliskan di artikel Sejarah News Network “Why Did The Palestinians Run Away in 1948?“: Ketika kerusuhan pecah, kelas menengah Palestina mengirim keluarga mereka ke negara-negara tetangga dan kemudian bergabung dengan mereka setelah situasi makin memburuk. Lainnya pindah ke daerah yang kurang terkena dampak di pedalaman Arab. Para non-Palestina kembali ke Suriah, Lebanon dan Mesir untuk menghindari kesulitan akibat perang. Generasi pertama imigran pedesaan kembali ke desa mereka. Ribuan karyawan Palestina pemerintah – dokter, perawat, pegawai negeri, pengacara, panitera, dll – pergi setelah administrasi mandat berakhir. Ini menciptakan suasana desersi yang merambah cepat ke lingkaran yang lebih luas. Di akhir 1948, 1/2 – 1/3 penghuni kota Haifa atau Jaffa telah meninggalkan rumah sebelum kaum Yahudi menyerbu kota-kota tersebut. Ketergantungan terhadap kota-kota menjadi hilang, sulitnya mempertahankan rutinitas pertanian dan rumor tentang kekejaman memperburuk kepergian massal di pedesaan. Banyak dusun telah kosong ketika Haganah mendudukinya.
- Di Tiberias, Efraim Karsh menuliskan: “..semacam sebuah penggusuran paksa, puluhan ribu Arab diperintahkan atau menggeretaknya agar meninggalkan kota Haifa … meskipun kaum Yahudi telah berupaya terus menerus meyakinkan mereka untuk tinggal …. Di Jaffa, komunitas Arab terbesar Mandat Palestina, pemerintah kota (Inggris) mengorganisir pemindahan ribuan warga lewat laut dan darat” [Lihat “Arab and Jewish Refugees – The Contrast“, Eli E. Hertz]
Tentu saja, kaum Yahudi pun punya andil dalam masalah pengungsian. Alasannya sederhana saja, kaum Yahudi, selama bertahun-tahun TELAH merasakan sendiri pahitnya diperangi dan dimusuhi secara berulang, jadi membuat kaum Arab-Palestina mengungsi adalah suatu konsekuensi logis. Di tahun 1980-an, Israel dan Inggris membuka arsip mereka untuk penyelidikan sejarawan. Dokumen yang dikeluarkan oleh Intelijen Israel (IDF) berjudul “Emigrasi Arab Palestina di Periode 1947/01/12 – 1948/01/06” tertanggal 30 Juni 1948 menyampaikan 11 rincian yang menyebabkan Eksodus, yaitu:
- Langsung, memusuhi Yahudi [Haganah/IDF] operasi dilakukan pada pemukiman Arab.
- Pengaruh operasi [Haganah / IDF] memusuhi pemukin di dekatnya [Arab] pemukiman
- Operasi [Yahudi] yang dilakukan oleh pembangkang [Irgun dan LEHI]
- Perintah dan keputusan lembaga dan laskar Arab.
- Operasi bisikan Yahudi [perang psikologis] bertujuan menakutkan penduduk Arab pergi (misalnya lewat pengeras suara bahwa desa telah dikelilingi pasukan Irgun, Lehi dst).
- Perintah pengusiran sebagai upaya akhir [oleh pasukan Yahudi]
- Takut akan [pembalasan] Yahudi karena [berlangsungnya] serangan besar Arab besar terhadap kaumYahudi.
- Kehadiran laskar [pasukan Arab yang tidak terorganisir] dan pejuang non-lokal di sekitar desa.
- Ketakutan akan invasi Arab dan konsekuensinya [terutama di dekat perbatasan].
- Desa-desa Arab yang murni terisolasi [terutama] di daerah Yahudi.
- Berbagai faktor lokal dan ketakutan umum akan masa depan.
Juga,
jumlah para pengungsi ARAB Palestina TIDAK AKAN PERNAH berkurang dan malah akan terus membesar.
Mengapa?
Karena UNRWA, di tahun 1965 dan 1982 mendefinisikan bahwa “pengungsi” adalah termasuk juga para turunan dan cucu pengungsi yang lahir di pengungsian!
Jadi,
selama para negara Arab TIDAK MAU BERTANGGUNG JAWAB atas ulah yang mereka buat di Palestina yaitu dengan menjadikan para pengungsi ini sebagai warganegara mereka, maka permasalahan pengungsian ini TIDAK AKAN PERNAH SELESAI.
Amerika kemudian merubah definisi tersebut menjadi yaitu seluruh penduduk Palestina Yahudi atau bukan antara Juni 1946 dan Mei 1948 yang mengungsi.
The Times Of Israel: “Senat Amerika Serikat Secara Dramatis Menurunkan Definisi dari Pengungsi Palestina“
PBB katakan ada 5 juta pengungsi Palestina. Senat As mengatakan itu 160x terlalu tinggi.
25 Mei 2012, 04:01
WASHINGTON – Kamis malam Senat AS menyetujui bahasa yang bisa mengecilkan jumlah pengungsi Palestina yang diakui Amerika Serikat dari 5 juta menjadi sekitar 30.000.
Amandemen RUU usulan Senator Illinois, Mark Kirkoleh dari Partai Republik, meminta Deplu AS untuk membedakan antara Palestina mengungsi akibat penciptaan Israel di tahun 1948 dan para pengungsi yang merupakan keturunan mereka…
Menurut Badan Bantuan dan Pekerja PBB (UNRWA) – badan utama yang bertugas memberikan bantuan kepada pengungsi Palestina – ada lebih dari 5 juta pengungsi saat ini. Namun, jumlah warga Palestina yang masih hidup sampai hari ini yang secara pribadi mengalami pengungsian selama Perang kemerdekaan Israel diperkirakan sekitar 30.000.
Perbedaan besar ini disebabkan keputusan UNRWA di tahun 1965 dan 1982 yang memperpanjang definisi “pengungsi” dengan memasukkan anak dan cucu para pengungsi Palestina…
..Pada hari Kamis, Komite menyetujui bahasa yang akan membedakan antara pengungsi Palestina hidup pada tahun 1948 dan keturunan mereka. ..diperkirakan menjadi sekitar 30.000, akan digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan AS tentang isu-isu pengungsi Palestina.
..sebuah studi memproyeksikan akan ada hampir 15 juta pengungsi Palestina di tahun 2050 jika UNRWA tidak mereformasikan metode menghitung…
Kantor Kirk menjelaskan, biar bagaimanapun, undang-undang tidak mengajak untuk memotong total kebutuhan dari keturunan Palestina dalam menerima bantuan dari UNRWA.
Sebaliknya, itu mengubah cara AS memandang mereka – sebagai orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan bukan sebagai pengungsi. …
Berapa nilai asset yang ditinggalkan kaum Arab Palestina?
Pada 20 November 1951 (A/1985), UNCCP (Komisi Perdamaian Palestina PBB) mengetimasikan perhitungan ganti rugi bagi pengungsi arab yang meninggalkan tanahnya dengan cara: 16,324 Km² (tidak termasuk zona demiliterisasi dan Jerusalem) adalah tanah para pengungsi dan dari tanah seluas itu, 4,574 Km² adalah tanah yang dapat dibudidayakan. Istilah “tanah” adalah barang tak bergerak; bangunan dan pohon dianggap sebagai bagian integralnya dan dihargai bersama-sama dengan itu. Kemudian dihitung sebagai berikut:
Harta tak bergerak:
Tanah Pedesaan £69.5 juta
Lahan perkotaan, tidak termasuk Yerusalem £21.5 juta
Yerusalem, tanah £9 juta
Jumlah £ (PoundSterling) 100 juta [US$ 404,546,448, Dollar tahun 1947]
Harta bergerak:
dihitung dengan 3 pendekatan, estimasi nilai adalah £20 Juta. [US$ 80,600,000 Dollar tahun 1947]
Uang poundsterling di bank Israel yang dibekukan: £4-5 juta
Jumlah total tahun 1948: £125 juta
Tahun 1967: US$100 Juta
[lihat juga variasi angka klaim lainnya: “Absorbing Returnees in a Viable: A Forward-Looking Macroeconomic Perspective”, Arie Arnon, Nu’man Kanafani, hal.4-10. “Jewish Property Claims Against Arab Countries”, Michael R. Fischbach, hal.122, 131. “The Palestinian Refugee Issue: Rhetoric vs. Reality“, Sidney Zabludoff, April 28, 2008]
Khusus untuk harta tak bergerak, hitungan ini malah melebihi dari hak yang seharusnya.
Mengapa?
Pertama, karena luas yang 16,324 Km² ini MELEBIHI partisi rencana wilayah Palestina yang hanya 11,137 km² juga karena hingga berakhirnya mandat Inggris, diketahui bersama bahwa tanah yang dapat dibudidayakan dan teregistrasi kepemilikan hanya 5,000 Km² saja dan bahkan 2000 Km²nya adalah milik kaum Yahudi (selain tanah Yahudi, terdapat bukti tertulis yang berasal dari tahun 1920 tentang kepemilikan tanah suku nomaden Badui, kebanyakan dari mereka telah menjadi warganegara Israel bahwa suku tersebut terdaftar memiliki 2600 Km² tanah di Negev, 1090 Km² nya dapat dibudidayakan)
Pun jika ada yang beralasan bahwa para pengungsi Arab ada yang berasal dari wilayah partisi Yahudi, maka dengan alasan yang sama dapat dinyatakan kaum Yahudipun ada yang berasal dari partisi Arab dan kaum Arab yang menjadi warganegara Israel tidak berarti awalnya mereka ada di partisi Yahudi.
Sementara itu,
administrasi kepemilikan tanah milik kaum Arab sendiri tidak sejelas kepemilikan tanah kaum Yahudi. Misalnya di tahun 1933, saat dilakukan pendaftaran oleh Inggris untuk para Arab yang tak punya tanah tapi mengaku pernah menjual atau pernah tinggal di tanah tersebut saat dijual, yang gunanya agar mereka dapat menerima ganti rugi (karena kehilangan tempat usaha), yaitu dari 3725 aplikasi pendaftaran kepala keluarga, 2541 klaim ditolak, 652 klaim diterima dan 532 lagi sedang diteliti, jika ini dapat dianggap mewakili populasi, maka dapat dikatakan 70% lebih kaum Arab sendiri tidak memiliki tanah atau tidak pernah menyewa/mengusahakan tanah tersebut kecuali hanya sebagai buruh pekerja saja.
Berapa banyak jumlah pengungsi Yahudi dari negara-negara Arab Muslim?
Ulah para negara-negara Arab ini,
di samping telah menciptakan pengungsian Masif para Arab-Palestina, juga menciptakan pengungsian masif para Yahudi, baik itu berasal dari area resolusi PBB no.181 maupun mereka yang tinggal di negara – negara Arab Muslim.
Foto disamping ini adalah ketika Yordania menduduki Tepi barat dan Jerusalem lama dan mengusir para Yahudi dari Tepi Barat.
Jauh bulan sebelum kejadian ini, Liga Arab telah terlebih dahulu bersiap dengan mempersiapkan draft status hukum kaum yahudi di negara-negara Arab, yang berisi akan membekukan/menyita harta dan mengusir mereka dari negara-negara Liga Arab. Persoalan ini walaupun telah disampaikan berulang kepada PBB namun tidak ditanggapi dengan baik.
Akibatnya, 650,000 Yahudi diusir dari negara-negara-negara Arab selama tahun 1948-1973, namun para pengungsi Yahudi telah diserap dengan tangan terbuka di negara Israel.
Kualitas ini yang membedakan antara kaum Yahudi vs kaum Arab. Kaum Yahudi bertanggung jawab atas tindakan mereka, sementara kaum Arab, tidak.
Ramalan mengenai kejadian pengusiran Yahudi di negara-negara Arab juga sudah diangkat surat kabar The New York Times, tanggal 16 Mei 1948, yang berjudul “JEWS IN GRAVE DANGER IN ALL MOSLEM LANDS” berisisi rincian dari 899.000 Yahudi di negara-negara Islam sebelum bulan Mei 1948 yang berada dalam bahaya terusir dan juga kehilangan harta bendanya.
Di bawah ini adalah rincian penyusutan jumlah Yahudi di negara-negara Arab muslim:
 |
Sumber: (1) American Jewish Yearbook (AJY) v.58 American Jewish Committee. (2) AJY v.68; AJY v.71. (3) AJY v.78. (4) AJY v.101. (5) AJY v.105. (6) Saad Jawad Qindeel, head of the political bureau of the Supreme Council for the Islamic Revolution in Iraq, as reported in The Jerusalem Post: July 18, 2005. (7) Time Magazine. February 27, 2007. (8) AJY v.102. (9) Roumani, The Case 2; WOJAC’S Voice Vol.1, No.1 |
Berapa perkiraan asset pengungsi Yahudi di negara-negara Arab Muslim?
Sama seperti perhitungan Palestina, terdapat variasi perkiraan perhitungan asset Yahudi di negara-negara Arab, misalnya:
Ekonom Sidney Zabludoff, mantan pegawai pemerintah Amerika: US$ 700 juta tahun 1950 (US$ 6 Miliar pada 2007). Departemen Pensiunan: £ 2 Milyar. Salah satu organisasi mengatakan USS$ 30 Milyar dan lain mengatakan USS$ 100 miliar (Irak saja) [Ynetnews: “How Arabs stole Jewish property“, 05.15.11, 15:26]
Di Irak: US$10,347,508 [“Claiming Jewish Communal Property in Iraq“, Michael R. Fischbach
Di Mesir (tahun 1957): £5,531,755,370 [640 klaim] dan £24,200,000 [2,807 klaim] [“Jewish Property Claims Against Arab Countries”, Michael R. Fischbach, hal.131]
The Jerusalem Post menyampaikan bahwa para pengungsi Yahudi meninggalkan properti mereka yang jika dijumlah luasnya adalah 5x luas negara Israel dan meninggalkan kekayaan senilai US$ 300 Milyar (menurut nilai tahun 2007), ketika mereka di usir dari negara-negara Arab:
… Sekitar 850,000 Yahudi mengungsi dari negara-negara Arab setelah berdirinya Israel di tahun 1948, meninggalkan kekayaan yang dinilai untuk ukuran saat ini adalah lebih dari US$ 300 Milyar … Properti orang Yahudi di negara-negara Arab totalnya 100,000 km². – 5x luas negara Israel. Kebanyakan properti itu ada di Irak, Mesir dan Maroko … Liga Arab mendesak pemerintahan negara-negara Arab memfasilitasi keluarnya para Yahudi dari negara Arab, dengan sebuah resolusi yang berisi serangkaian langkah-langkah hukuman dan keputusan diskriminatif sehingga tak tertahankan bagi para Yahudi untuk menetap di negara-negara tersebut. “Tak ada orang Yahudi yang ada di negara-negara Arab yang meninggalkan properti dan rumah mereka serta datang ke Israel adalah anggota Zionism” … [The Jerusalem Post: “Expelled Jews hold deeds on Arab lands“, Etgar Lefkovits, 11/16/2007 00:16]
[Lihat juga: SFGate: “Jews who fled Arab lands now press their cause / Refugees’ advocates link issue to Palestinians’ claims on Israel”, Jack Epstein, Chronicle Staff Writer. Published 4:00 am, Sunday, March 28, 2004; “The Forgotten Narrative: Jewish Refugees from Arab Countries”, Dr. Avi Beker, Oktober 21, 2005; Disertasi: “The United Nations And Middle East Refugees: The Differing Treatment of Palestinians and Jews”, Stanley A. Urman, May 2010, PDF]
Membandingkan antara dua jenis pengungsi ini,
maka negara Israel benar-benar konsisten dengan tujuan pendirian negaranya, tanpa memandang asal negara pengungsian, selama Ia Yahudi, Ia dapat menjadi warga negara terhormat Israel, sementara negara-negara Arab walaupun Ia muslim dan ras Arab sekalipun, tidaklah me
Mengenai area-area yang terletak dalam batas-batas di dalamnya Inggris bebas bertindak tanpa merusak kepentingan sekutunya, Perancis, Saya dengan kekuasaan yang diberikan Pemerintah Inggris memberikan jaminan dan membuat balasan atas surat anda sebagai berikut.
1) Berkenaan dengan perubahan di atas, Inggris bersiap mengakui dan juga membantu kemerdekaan kaum Arab di area dalam tapal batas yang diminta Sharif Mekkah.
2) Inggris akan mengakui tanah-tanah suci melawan segala agresi luar dan akan mengakuinya tanpa kompromi.
3) Ketika keadaan diakui, Inggris akan memberikan kaum Arab, saran dan bantuan untuk membangun apa yang tampaknya merupakan bentuk paling cocok bagi pemerintahan di berbagai teritorial tersebut.
4) Disamping itu, dipahami bahwa kaum Arab telah memutuskan untuk mendapat saran dan arahan hanya dari Inggris, dan semacam kepenasehatan-kepenasehatan Eropa dan pejabat-pejabat dalam posisi administrasi yang mungkin dibutuhkan adalah Orang Inggris.
5) Dalam kaitannya dengan wilayah Baghdad dan Basra, Kaum Arab akan mengakui posisi dan kepentingan Inggris yang mengharuskan dalam pengaturan administrasi khusus untuk tujuan mengamankan teritori-teritori ini dari agresi asing untuk memajukan kesejahteraan populasi lokal dan menjaga kepentingan ekonomi kita bersama.”
Note:
Dalam Arab: ‘Amma min ḥuṣūṣi wilāyatay bagdāda wa-l-baṣrati fa-‘inna l-‘araba ta’tarifu ‘anna markaza wa-maṣāliḥa barīṭāniyata l-‘uzma l-muwaṭṭadata hunāka tastalzimu ttiḥāḍa tadābīra ‘idārīyatin maḥṣūṣatin li-wiqāyati hāḍihī l-‘aqālīmi mina l-i’tidā’i l-‘ajnabīyi wa-ziyādati ḥayri sukkāni-ha wa-ḥimāyati maṣāliḥi-nā l-iqtiṣādiyati l-mutabādala
Dalam Inggris: With regard to the vilayets of Baghdad and Basra, the Arabs will recognise that the established position and interests of Great Britain necessitate special administrative arrangements in order to secure these territories from foreign aggression, to promote the welfare of the local populations and to safeguard our mutual economic interests
[Teks dalam Inggris, lihat: di sini, di sini dan di sini. Bahasa arab diambil dari: “Language as a medium of legal norms”, Lutz Edzard, Wolfgang Molte, hal.86 . Gambar Peta distrik-distrik dalam surat McMahon tanggal 24 Oktober 1915, lihat: di sini]